Penjelasan 4 Syarat Sahnya Sholat

Penjelasan 4 Syarat Sahnya Sholat

Fikroh.com – Tulisan ini akan mengupas tentang syarat Sah Shalat. Apa itu syarat sah shalat? Syarat adalah Sesuatu yang menjadikan perkara yang disyaratkan menjadi tiada jika syarat itu tidak ada. Namun jika syarat ada, maka yang di syaratkan bisa jadi terwujud namun bisa juga tidak terwujud. Seperti bersuci, jika saja bersuci –yang merupakan syarat– tidak terpenuhi, maka akan menyebabkan tiadanya yang di syaratkan yaitu shalat, sehingga shalatnya menjadi tidak sah. Namun sebaliknya, jika seseorang telah bersuci, bukan berarti dia harus shalat (karena mungkin bersuci untuk thawaf atau ibadah lainnya).

Sedangkan syarat sah shalat yang harus dipenuhi –dalam keadaan seseorang mampu– adalah:

1. Mengetahui Bahwa Waktu Shalat Telah Masuk

Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wata’ala

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً 

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [Al-Qur`an Surat: an-Nisa: 103]

Sedangkan waktu-waktu shalat telah diperinci oleh sunnah –seperti yang telah dibahas sebelumnya–. Karena shalat merupakan ibadah yang memiliki keterlibatan dengan waktu, bahkan permulaan dan akhir shalat pun terbatas. Dengan demikian shalat tidak boleh dikerjakan sebelum waktunya –sebagaimana ditetapkan oleh ijma’– dan tidak sah dikerjakan setelah keluar waktunya kecuali karena adanya halangan, menurut pendapat yang lebih kuat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Selain itu, para ulama telah sepakat bahwa mengetahui masuknya waktu shalat itu cukup berdasarkan dengan sangkaan yang kuat. [Ibnu Abidin (1/247), ad-Dasuqi (1/181), Mugni al-Muhtaj (1/184)]

2. Suci Dari Hadas Besar Dan Kecil –Semampu Mungkin–

Suci dari dua hadats merupakan syarat sah shalat, dengan landasan dalil,

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu.” [Al-Qur`an Surat: al-Maidah ayat 6]

Firman Allah Subhanahu wata’ala:

لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُواْ

“Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”[Al-Qur`an Surat: an-Nisa ayat 43]

Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak menerima shalat kalian jika kalian mempunyai hadas, hingga kalian mengambil air wudhu.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (135) dan Muslim (225)]

Hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُورٍ
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً 

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”[An Nisa: 103, Hadits Riwayat: Muslim (224), At-Tirmidzi (1), An-Nasa`i (139), Abu Daud (59), Ibnu Majah (273)]

Sedangkan waktu-waktu shalat telah diperinci oleh sunnah –seperti yang telah dibahas sebelumnya–. Karena shalat merupakan ibadah yang memiliki keterlibatan dengan waktu, bahkan permulaan dan akhir shalat pun terbatas. Dengan demikian shalat tidak boleh dikerjakan sebelum waktunya –sebagaimana ditetapkan oleh ijma’– dan tidak sah dikerjakan setelah keluar waktunya kecuali karena adanya halangan, menurut pendapat yang lebih kuat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Selain itu, para ulama telah sepakat bahwa mengetahui masuknya waktu shalat itu cukup berdasarkan dengan sangkaan yang kuat. [Ibnu Abidin (1/247), ad-Dasuqi (1/181), Mugni al-Muhtaj (1/184), Kasyaful Qina’ (1/267)]

Kedua hal di atas, dengan jelas terbukti sebagai syarat sahnya shalat. Dan shalat menjadi tidak sah kecuali dalam keadaan suci dari hadas. Namun ada beberapa pengecualian, seperti orang yang terkena halangan syar’i sehingga ia tak mampu bersuci, seperti orang yang terkena penyakit inkontinensia (selalu keluar air kencing), dan selalu buang angin, wanita yang selalu keluar darah karena sakit (istihadhah), maka orang-orang yang terkena kasus seperti ini, mereka tetap mengerjakan shalat meskipun saat shalat keluar hadas.

Demikian juga orang yang tidak menemukan air maupun debu untuk bersuci, seperti tahanan dalam penjara. Maka mereka harus tetap mengerjakan shalat dalam keadaan apa adanya. Wallahu A’lam.

Apakah Disyaratkan Ketika Shalat Untuk Suci Pakaian, Badan Dan Tempat?

Suci badan, adalah syarat wajib yang harus dipenuhi ketika shalat, dengan landasan dalil sebagai berikut:

Firman Allah Subhanahu wata’ala:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan pakaianmu bersihkanlah” [Al-Qur`an Surat: al-Mudatsir ayat 4]

Maka jika pakaian saja wajib dibersihkan, tentu saja badan lebih wajib untuk dibersihkan atau disucikan.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan Istinja’ dan Istijmar sebagaimana yang telah dibahas dalam Bab Thaharah, yang semuanya menunjukkan kepada wajibnya mensucikan badan dari najis.

Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membasuh dan mensucikan dzakar dari air madzi

Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersuci setelah kencing. Dan adanya khabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dua orang yang sedang di adzab dalam kubur, yang salah satunya disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya.

Seluruh dalil-dalil di atas telah dibahas dalam Bab Thaharah.

3. Suci Pakaian

Wajib juga mensucikan pakaian dan menjauhkan najis dengan dalil sebagai berikut:

Firman Allah Subhanahu wata’ala:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan pakaianmu bersihkanlah”[Al-Qur`an Surat: al-Mudatsir ayat 4]

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pakaian yang terkena darah haid,

تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ 

“Keriklah noda darah tersebut, kemudian dikucek dengan air, lalu cucilah, setelah itu pakailah untuk shalat”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (227) dan Muslim (291)]

Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melepas kedua sandal beliau ketika shalat, sebagaimana diberitakan oleh malaikat Jibril bahwa pada sandal tersebut terdapat kotoran. [Hadits Shahih] Tindakan Rasul ini menjadi dalil kewajiban suci pakaian ketika shalat.

4. Suci tempat

Diwajibkan juga sucinya tempat shalat berdasarkan dalil-dalil berikut:

Firman Allah Subhanahu wata’ala:

وَعَهِدْنَآ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [Al-Qur`an Surat: al-Baqarah ayat 55]

Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyiramkan air ke atas tempat yang dikencingi oleh seorang Arab Badui di dalam masjid.

Penulis Berkata: Bahwa ulama dalam menyikapi dalil-dalil di atas memiliki dua tinjauan berbeda:

Pertama: Bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan kewajiban untuk menghindari najis dalam tubuh, pakaian dan tempat shalat. Dan jika seseorang shalat dalam keadaan najis, membawa najis, atau terkena najis, maka dia berdosa meskipun hukum shalatnya tetap sah. Karena dalam dalil-dalil tersebut tidak terdapat keterangan yang menyatakan gugurnya esensi shalat atau tidak sahnya shalat tersebut. Berbeda halnya dengan Thaharah (bersuci dari dua hadats, seperti wudhu’ dan mandi). Oleh karena itu, sesuatu yang wajib belum tentu menjadi syarat. [Lihat: al-Sail al-Jarrar karangan Imam Syaukani (1/157-158)]

Kedua: Bahwa dalil-dalil di atas terdapat perintah untuk menghindari najis dalam shalat. Dan perintah untuk melakukan sesuatu merupakan larangan untuk melakukan hal sebaliknya. Sedangkan larangan dalam ibadah menyebabkan kepada kerusakan ibadah tersebut. Oleh karena itu, perkara yang wajib ini menjadi syarat sahnya suatu ibadah. Dan inilah pendapat mayoritas ulama. [Al-Badai’ (1/114), Hasyiyah Ad-Dasuqi (1/200), Mughni al-Muhtaj (1/188) dan Kasyaf al-Qanna` (1/288)]

Namun menurut penulis, pendapat pertama lebih tepat. Walaupun pendapat kedua menyatakan bahwa perkara yang wajib haruslah menjadi syarat sahnya suatu ibadah dengan alasan bahwa shalat merupakan perintah, dan setiap perintah terdapat larangan untuk melakukan kebalikannya, karena kebalikan shalat jika dikerjakan bisa menimbulkan kerusakan yang dapat membatalkan shalat. Ini benar jika yang dilarang tersebut adalah perkara yang menjadi bagian tak terpisah dari shalat itu sendiri. Namun dalam kasus ini, najis –yang merupakan lawan kata dari suci yang wajib dipenuhi ketika shalat– adalah perkara di luar shalat dan bukan bagian dari shalat itu sendiri. Wallahu a’lam.

Jika Seseorang Melaksanakan Shalat Dalam Keadaan Terdapat Najis Di Badan Tanpa Disadarinya, Dan Mengetahuinya Setelah Selesai Melaksanakan Shalat, Apakah Ia Harus Mengulangi Shalatnya?

Permasalahan ini muncul dari pendapat Jumhur ulama yang menyatakan bahwa “suci dari najis merupakan syarat sahnya shalat”. Namun jika mengikuti apa yang kita rajihkan (pendapat yang lebih kuat) bahwa “suci dari najis merupakan hal wajib yang tidak termasuk syarat sahnya shalat”, maka permasalahan ini tidaklah perlu dibahas sebagaimana yang telah diketahui.

Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat dalam tiga mazhab:

Pertama: Bahwa shalat tersebut hukumnya batal, dan harus diulangi jika diketahui adanya najis apabila saat itu belum keluar waktu shalat. Namun jika sudah keluar waktu shalat, maka tidak perlu diulangi lagi shalatnya. Pendapat ini merupakan madzhab Rabi’ah, Imam Malik dan Imam Hasan. [Al-Mudawwanah (1/21,22), al-Ausath (2/164)]

Kedua: Bahwa shalat tersebut hukumnya batal, dan harus diulangi shalatnya meskipun sudah di luar waktunya. Pendapat ini merupakan madzhab Imam Syafi’i dan riwayat Imam Ahmad. [Al Umm (1/55), al-Mughni (2/65), al-Ausath (2/164)]

Ketiga: Hukum shalatnya sah dan tidak perlu diulangi lagi. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Atha’, Ibnu Musayyab, Mujahid, Abu Tsur, Ishaq, Sya’bi, Nakh’i, Auza’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan ini juga pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir. [Al Ausath (2/163), al-Mughni (2/65), al-Majmu’ (3/163)] Landasan pendapat ini adalah:

Orang yang bersangkutan dalam keadaan tidak tahu jika dia membawa najis ketika shalat. Sedangkan Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”[Al-Qur`an Surat: al-Baqarah ayat 286]

Dan dalam hadits Shahih, bahwa Allah Berfirman,

قَدْ فَعَلْتُ 

“Telah Kukabulkan”[HR Muslim: 125)

Hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melepaskan sandal ketika shalat, yaitu saat beliau diberi tahu oleh malaikat

Jibril bahwa pada sandal tersebut terdapat kotoran. Pada kasus tersebut Rasulullah tidaklah menyadari jika pada sandal beliau terdapat kotoran, namun beliau tetap menyampurnakan shalat. Seandainya saja shalat beliau dihukumi tidak sah (batal) –karena membawa kotoran tanpa disadari– tentu saja Rasulullah akan mengulangi kembali shalatnya.

Penulis Berkata: Seandainya kita anggap bahwa menghindari najis merupakan syarat sahnya shalat, maka seharusnya shalat tersebut batal. Karena jika tidak batal, itu sama halnya dengan seseorang yang shalat dalam keadaan lupa belum wudhu’ maka tidak wajib baginya untuk mengulangi shalat. Dan tentu saja tidak ada yang mengatakan hal seperti ini. Karena ini akan melanggar kaidah bahwa “Syarat dan rukun suatu ibadah tidak dapat ditinggalkan meskipun karena lupa”.

Sedangkan hadits Rasulullah yang melepas sandal beliau ketika shalat, ini merupakan dalil pendukung kami (madzhab ketiga) bahwa menghindari najis ketika shalat adalah perkara wajib namun tidaklah ia menjadi syarat sahnya shalat.Wallahu A’lam.

Leave a Comment