Fatwapedia.com – Doa adalah ibadah. Alloh mewajibkan kepada orang beriman agar berdoa memohon pertolongan-Nya. Manusia yang lemah tidak mampu menjalankan kehidupan tanpa pertolongan Alloh. Maka berdoa sangat penting sebagai penopang dan kekuatan bagi seorang hamba. Diantara doa yang diajarkan oleh Rasulullah untuk kita amalkan adalah doa memohon keteguhan dalam menghadapi segala urusan hidup.
Dari Syadad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika manusia menyimpan emas dan perak, maka simpanlah doa-doa di bawah ini,
‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam segala perkara, dan kemauan kuat untuk berbuat sesuatu yang benar, aku memohon kepada-Mu rasa syukur atas nikmat-Mu dan ibadah dengan baik kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu hati yang bersih dan lisan yang jujur. Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau mengetahuinya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau mengetahuinya. Dan aku memohon ampunan-Mu atas (dosa-dosaku) yang Engkau mengetahuinya, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui yang ghaib’.”
(Hadits Hasan. HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Hibban. Lafadh dari Ahmad)
Hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
Pertama: doa di atas termasuk harta simpanan di Akhirat kelak, dan ini lebih baik dari simpanan emas dan perak (riwayat Ahmad).
Kedua: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa ini di dalam shalatnya (riwayat an-Nasai)
Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengajarkan doa ini kepada para sahabatnya (riwayat at-Tirmidzi).
Adapun keterangan dari isi doa di atas adalah sebagai berikut:
Pelajaran Pertama: Teguh Dalam Semua Perkara
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam segala urusan.”
Lafadh “al-Amr” pada hadist di atas menunjukkan keumuman, sehingga doa tersebut bisa diartikan memohon keteguhan dalam segala urusan dunia, agama dan Akhirat.
Sedangkan keteguhan di sini diartikan dalam tiga makna, yaitu: (1) mendapatkan taufik dan hidayah dari Allah dalam setiap urusan, (2) bisa menjalankan urusan tersebut secara terus menerus dan istiqamah, (3) ditunjukkan pada yang benar dalam setiap urusan.
Dan yang paling penting adalah memohon keteguhan di dalam memegang agama dan taat terhadap ajaran-Nya selama hidup hingga akhir hayat, khususnya ketika menghadapi sakaratul maut. Allah berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan Akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)
Yang dimaksud dengan “ucapan teguh di dunia” adalah ketika sakaratul maut, dan yang dimaksud “ucapan teguh di Akhirat” adalah ketika berada di alam kubur, tepatnya ketika ditanya Malaikat Munkar dan Nakir.
Pelajaran Kedua: Kemauan Kuat
وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ
“Aku memohon kepada-Mu kemauan kuat untuk berbuat sesuatu yang benar.”
Doa ini mirip dengan doa yang diucapkan oleh Ashabul Kahfi, ketika mereka masuk dalam gua untuk menyelamatkan aqidah mereka. Allah berfirman,
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“Ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu dan sediakan untuk kami petunjuk yang benar dalam segala urusan kami’.” (Qs. al-Kahfi: 10)
Lafadz (al-‘Azimah) artinya kemauan kuat dan tekad bulat untuk mengerjakan sesuatu. Allah berfirman,
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka jika engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkalah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (Qs. Ali Imran: 159)
Lafadz (ar-Rusydu) mempunyai tiga arti:
Pertama; (ar-Rusydu) artinya baik, benar dan beres.
Sebagian orang mengetahui sesuatu yang baik dan benar, tetapi tidak mampu mengerjakannya. Oleh karenanya, kita meminta pertolongan Allah untuk bisa melaksanakan kebaikan tersebut. Hal ini mirip dengan firman Allah,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan.” (Qs. al-Fatihah: 5)
Kedua; (ar-Rusydu) juga berarti ketaatan kepada Allah dan Rasul.
Allah berfirman,
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Qs. al-Hujurat: 7)
Ketiga; (ar-Rusydu) berarti juga lawan dari sesat dan lengah.
Sebagaimana firman Allah,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 256)
Kemauan kuat terdapat dalam dua keadaan:
(1) Kemauan kuat untuk memulai pekerjaan dan amalan yang baru, sebagaimana orang kafir yang berkemauan kuat untuk masuk Islam dan mulai melaksanakan segala perintah Allah. Seperti juga orang yang bermaksiat yang ingin berhijrah dan meninggalkan maksiat dan memulai taubat.
(2) Kemauan kuat untuk terus melanjutkan pekerjaan yang sudah dilakukan. Seperti orang muallaf yang sudah masuk Islam dan mempunyai kemauan kuat untuk berada di dalam ajaran Islam serta mengamalkannya secara sungguh-sungguh hingga akhir hayatnya.
Pelajaran Ketiga: Bersyukur Terhadap Nikmat
وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ ، وَحُسْنَ عِبَادَتِكَ
“Aku memohon kepada-Mu rasa syukur atas nikmat-Mu dan ibadah yang optimal kepada-Mu”
Bersyukur dan beribadah perlu pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala, tidak bisa dilakukan sendiri. Ini sesuai dengan hadits Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ : لَا تَدَعَنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ أَنْ تَقُولُ : اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Muadz! Saya berwasiat kepadamu, Jangan sekali-kali engkau tinggalkan untuk membaca di setiap akhir shalat: ‘Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu bisa berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu’.” (Hadist Shahih. HR. Ahmad, Abu Daud dan an-Nasai)
Pelajaran Keempat: Lisan Yang Jujur Dan Hati Yang Bersih
وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا
“Aku memohon kepada-Mu hati yang bersih dan lisan yang jujur”
Hati yang bersih akan menyebabkan seseorang untuk selalu berkata jujur, sebaliknya lisan yang jujur menunjukkan kebersihan hati seseorang.
Sedang lisan yang jujur akan menyebabkan seseorang masuk surga. Ini sesuai dengan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaknya kalian berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan dan sesungguhnya ketakwaan kebajikan mengantarkan kepada surga. Dan seseorang yang senantiasa berlaku jujur, sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiiqan (orang yang selalu berperilaku jujur). Dan hendaknya kalian menjauhi kedustaan. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta, sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang kadzdzaban (suka berdusta).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hati yang bersih adalah cita-cita setiap muslim, karena Allah tidak akan menerima harta dan anak seseorang, kecuali yang datang kepada-Nya dengan hati yang bersih sebagaimana di dalam firman-Nya,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Qs. asy-Syu’ara: 88-89)
Hati yang bersih pada ayat di atas diartikan bersih dari segala bentuk kotoran hati, seperti hasad, dengki, iri, dendam. Begitu juga bersih dari kesyirikan, karena syirik adalah kotoran hati yang paling besar.
Di sana terdapat istilah lain yang mirip dengan lafadh “Lisanan Shadiqan” yaitu lafadh “Lisana Shidqin”, tetapi maknanya agak berbeda walaupun merujuk kepada akar kata yang sama “kejujuran”.
Lafadh tersebut terdapat di dalam firman Allah, dan merupakan doa Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam,
وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ (84) وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85)
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan.” (Qs. asy-Syu’ara’: 84-85)
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa arti “lisana shidqin fii al-akhirin” adalah nama harum yang disebut setelah kematiannya, dan menjadi teladan kebaikan bagi orang yang sesudahnya.
Al-Qurthubi di dalam tafsirnya meriwayatkan perkataan dari Imam Malik bahwa tidak apa-apa seseorang ingin dipuji sebagai orang yang shalih serta dimasukkan ke dalam golongan orang-orang shalih, jika hal itu diniatkan karena Allah. Karena sesungguhnya pujian kebaikan (setelah meninggalnya seseorang) merupakan kehidupan kedua. Di dalam sebuah pepatah dikatakan,
مات قوم وهم في الناس أحياء
“Suatu kaum memang sudah punah, tetapi sebenarnya mereka hidup di tengah-tengah manusia.”
Ini bisa terwujud karena mereka meninggalkan amalan-amalan shalih yang bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Doa Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam ini mirip dengan doa memohon menjadi Imam bagi orang-orang bertaqwa sebagaimana di dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Qs. al-Furqan: 74)
Pelajaran Kelima: Kebaikan Yang Diketahui
وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ،
“Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau mengetahuinya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau mengetahuinya. Dan aku memohon ampunan-Mu atas (dosa-dosaku) yang Engkau mengetahuinya”
Banyak kebaikan yang kita tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Kadang kita meremehkan suatu perbuatan, padahal bagi Allah itu suatu kebaikan. Sebagai contoh, senyum ketika bertemu dengan saudara sesama muslim. Ini sesuai dengan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Janganlah engkau meremehkan suatu kebaikan, walaupun sekedar bermuka manis ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim)
Sebaliknya juga banyak dosa yang kita tidak mengetahuinya, atau kita anggap remeh padahal di sisi Allah sangat besar, sebagaimana firman Allah,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (Qs. an-Nur: 15)
Selanjutnya, kita diperintahkan untuk meminta ampun atas dosa-dosa yang kita tidak mengetahuinya kalau itu dosa, atau kadang kita mengerjakan dosa-dosa tersebut tanpa kita sadari. Bahkan kadang kita sudah berusaha menghindari dosa tersebut, atau sudah memohon kepada Allah agar dihindarkan dosa tersebut, tetapi tetap saja kita terjerumus pada dosa tersebut, dengan sadar atau tanpa kita sadari. Sebagai contoh, ketika melakukan transaksi jual beli, walaupun sudah berusaha untuk jujur, tetapi kadang tanpa disadari, terdapat beberapa barang yang terdapat cacatnya ikut terjual sehingga merugikan penjual, atau dalam pergaulan sehari-hari, ketika berbicara dengan orang lain, sering ada kata-kata yang tidak kita sadari, membuat sakit orang lain.
Pelajaran Keenam: Allah Mengetahui Yang Ghaib
إِنَّكَ أنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ
“Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui yang ghaib.”
Ini mirip dengan doa istikharah, ketika seseorang menghadapi suatu masalah, dia memohon kepada Allah jalan yang benar dan meminta pilihan yang tepat, karena dia tidak tahu sedangkan Allah Maha Mengetahui yang ghaib.
Bahkan kadang suatu hal, kita anggap itu baik dan kita cintai, tetapi ternyata di sisi Allah hal tersebut membawa madharat. Sebaliknya ada suatu hal yang kita anggap buruk dan kita benci, ternyata hal itu bagi Allah merupakan suatu kebaikan dan membawa mashlahat. Karena Allah Maha Tahu dan Mengetahui yang ghaib. Ini sesuai dengan firman-Nya,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 216)
Wallahu A’lam.
Oleh: DR. Ahmad Zain An-Najah, MA.