Fatwapedia.com – Di sekitar kita ada sebagian orang yang dengan santainya berjalan melewati orang yang sedang shalat. Padahal hal tersebut sangat dilarang dalam islam. Lalu adakah hadits yang mengatur tentang melewati orang yang sedang shalat ? Shalat sendiri merupakan sebuah bentuk ibadah kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Shalat yang benar benar ditegakkan akan mencegah pelakunya untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar. Agar shalat benar benar bisa ditegakkan, maka tidak ada salahnya kita mengetahui adab dalam shalat. Salah satunya adab mengenai melewati orang yang shalat dan sutrah bagi orang yang melaksanakan shalat. Oleh karena itu khusus pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai hukum melewati orang yang sedang shalat dan ditambah dengan sutrah dalam shalat.
Hadits larangan melewati orang yang sedang shalat
Lebih baik menunggu 40 tahun daripada melewati orang yang sedang shalat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang lewat di depan orang yang shalat.
Berdasarkan hadits dari Abu Juhaim Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
“Seandainya seseorang yang lewat di hadapan orang yang sholat mengetahui (dosa) apa yang ditimpakan kepadanya, pasti dia berdiri/ menunggu selama empat puluh (hari) akan lebih baik ketimbang dia lewat di hadapan orang yang sedang sholat.”
Abu al Nadlr (salah satu perawi hadits ini) berkata: “Aku tidak mengetahui, apakah Rasulullah mengatakan empat puluh hari, empat puluh bulan ataukah empat puluh tahun.” (HR. al Bukhari dalah shahihnya (I/584) nomor 510 dan Muslim dalam shahihnya (I/363) nomor 507)
Maksud hadits tersebut ialah seandainya ia (orang yang akan lewat di depan orang yang sedang shalat) mengetahui dosa apa yang akan diterima, maka ia akan lebih memilih untuk berdiri selama 40 (hari/tahun) daripada harus menerima dosa tersebut.
Orang yang tidak mau dicegah saat akan melewati orang yang sedang shalat sesungguhnya dia adalah setan.
Cegah orang yang akan melewati saat shalat
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إذا كان أحدُكم يصلِّى فلا يدعُ أحدًا يمرُّ بين يدَيه . وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه . فإنما هو شيطانٌ
“Jika seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia, karena sesungguhnya itu setan” (HR. Muslim 505. 506)
Mengenai makna فإنما هو شيطانٌ (sesungguhnya orang yang lewat di depan orang shalat adalah setan), ada dua tafsiran dari para ulama:
1. Orang tersebut disertai dan ditemani setan yang setan ini memerintahkan dia untuk melewati orang shalat. Ini pendapat yang dikuatkan Abu Hatim. Sebagaimana dalam sebagian riwayat dikatakan:
فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“karena bersamanya ada qarin (setan)”
2. Perbuatan melewati orang shalat adalah perbuatan setan, sehingga orang ini adalah setan berbentuk manusia. Ini adalah pendapat Al Jurjani. (Lihat Fathul Baari Libni Rajab, 4/88)
Cara menahan orang yang ingin lewat saat sedang shalat
Para ulama juga bersepakat bahwa cara yang digunakan untuk menahan orang yang melewati orang sedang shalat itu bertahap, dimulai dari yang paling ringan dan lembut setelah itu jika berusaha lewat lagi maka mulai agak keras dan seterusnya. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/187)
Contoh metode yang ringan menahan orang yang ingin lewat saat shalat: menjulurkan tangan di depan orang yang mau lewat sebelum ia mendekat sehingga dia sadar bahwa ada orang yang shalat di hadapannya yang tidak mau ia melintas di hadapannya.
Jika orang tersebut tidak mau berhenti, maka boleh dengan cara yang lebih keras atau bahkan memeranginya.
Seorang sahabat Nabi, Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:
بينما أنا مع أبي سعيدٍ يصلي يومَ الجمعةِ إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ, إذ جاء رجلٌ شابٌ من بني أبي مُعْيطٍ, أراد أن يجتازَ بين يديه , فدَفَعَ في نحرِه , فنظر فلم يجد مساغًا إلا بين يديْ أبي سعيدٍ, فعاد فدَفَعَ في نحرِه أشدَّ من الدفعةِ الأولى , فمثلَ قائمًا, فنال من أبي سعيدٍ , ثم زاحم الناسَ ، فخرج فدخل على مرْوانَ , فشكا إليه ما لقي قال ودخل أبو سعيدٍ على مرْوانَ , فقال له مرْوانُ: ما لك ولابنِ أخيك ؟ جاء يشكوك , فقال أبو سعيدٍ: سمعتُ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقولُ : إذا صلى أحدُكم إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ، فأراد أحدٌ أن يجتازَ بين يديه, فلْيدْفعْ في نحرِه, فإن أبى فليقاتِلْه , فإنما هو شيطانٌ
“aku (Abu Shalih; perawi hadits) ketika itu bersama yang Abu Sa’id sedang shalat pada hari Jum’at dengan menghadap sutrah. Kemudian datang seorang pemuda dari Bani Abi Mu’yath hendak lewat di depan beliau. Kemudian beliau pun menahannya di lehernya. Lalu pemuda itu melihat-lihat sekeliling, namun ia tidak melihat celah lain selain melewati Abu Sa’id. Sehingga pemuda itu pun berusaha lewat lagi untuk kedua kalinya. Abu Sa’id lalu menahannya lagi pada lehernya namun lebih sungguh-sungguh dari yang pertama. Akhirnya pemuda itu berdiri sambil mencela Abu Said. Setelah itu dia memilih untuk membelah kerumunan manusia. Pemuda tadi pergi ke rumah Marwan (gubernur Madinah saat itu). Ia menyampaikan keluhannya kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Marwan bertanya kepadanya: ‘Apa yang telah kau lakukan kepada anak saudaramu sampai-sampai ia datang mengeluh padaku?’ Lalu Abu Sa’id berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah di lehernya. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan’” (HR. Muslim 505)
dalam riwayat lain:
عن أبي سعيد، أنه كان يصلي ومر بين يديه ابن لمروان، فضربه، فقال مروان: ضربت ابن أخيك؟ فقال: ما ضربت إلا شيطانا
“dari Abu Sa’id, ia pernah shalat lalu anaknya Marwan lewat di depannya, ia pun memukulnya. Marwan setelah kejadian itu bertanya kepada Abu Sa’id: ‘Apakah engkau memukul anak saudaramu?’. Abu Sa’id berkata: ‘Tidak, aku tidak memukulnya. Yang aku pukul adalah setan’”.
Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat
Shlat seseorang bisa batal jika dilewati oleh keledai, anjing dan wanita. Hal ini sebagaimana hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim 511)
mu’khiratur rahl adalah sandaran pelana yang biasanya ada di belakang penunggang hewan. Yaitu sekitar 2/3 hasta
Anjing yang dimaksud adalah anjing hitam sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:
إذا صلَّى الرَّجلُ وليسَ بينَ يدَيهِ كآخرةِ الرَّحلِ أو كواسطةِ الرَّحلِ قطعَ صلاتَه الكلبُ الأسودُ والمرأةُ والحمارُ
“Jika salah seorang dari kalian shalat, dan ia tidak menghadap sesuatu yang tingginya setinggi ujung pelana atau bagian tengah pelana, maka shalatnya bisa dibatalkan oleh anjing hitam, wanita, dan keledai” (HR. Tirmidzi)
Hendaknya shalat menggunakan sutrah (pembatas)
Sutrah dalam shalat
Menurut mayoritas ulama, jika seseorang shalat sendirian atau sebagai imam disunnahkan baginya shalat menghadap sutroh supaya dapat menghalangi orang lain yang akan lewat di hadapannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutroh dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud no. 698). An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Khulashoh (1/518). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Shohihul Jaami’ (651).
Sutrah dan tingginya
Yang dijadikan sutroh bisa tembok, pohon, tas, meja kecil, anak panah, kotak amal, pohon, tongkat yang ditancapkan atau tiang. Boleh pula orang di hadapannya dijadikan sebagai sutroh. Sedangkan untuk tinggi sutrah adalah satu hasta. Untuk lebih lengkapnya silahkan simak mengenai Benda yang Bisa Menjadi Sutrah.
Satu hasta adalah ukuran panjang dari siku sampai ke ujung jari tengah (kisaran 45-56 centimeter)
Imam Ahmad ditanya mengenai tinggi pelana yang dijadikan patokan sebagai tinggi sutroh. Beliau menjawab, “Satu hasta.” Demikian pula ‘Atho’ mengatakan bahwa tingginya satu hasta. Hal ini juga dikatakan oleh Ats Tsauri dan Ash-habur ro’yi. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, tingginya seukuran satu hasta. Demikian pula pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah menjelaskan bahwa sebenarnya ukuran tadi adalah ukuran pendekatan dan bukan ukuran pastinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan tinggi pelana. Padahal tinggi pelana itu macam-macam, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada pula yang tingginya satu hasta, bahkan ada pula yang kurang dari satu hasta. Jadi jika mendekati satu hasta, itu sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai sutroh.
Jarak sutrah dengan tempat berdirinya orang yang shalat
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Saad berkata, “Jarak antara tempat berdiri Rasulullah shallohu ‘alaihi wasallam dengan dinding adalah selebar jalan bagi domba untuk lewat.” Dalam kitab al-Muhadzdzab disebutkan, kurang lebih tiga hasta.
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiallahu’anhu, beliau berkata:
كان بين مُصلَّى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وبين الجدارِ ممرُّ الشاةِ
“Biasanya antara tempat shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dinding ada jarak yang cukup untuk domba lewat” (HR. Al Bukhari 496)
An Nawawi mengomentari hadits ini: “yaitu jarak dari tempat sujud” (Syarah Shahih Muslim, 4/225)
Hadits Bilal bin Rabbah radhiallahu’anhu yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6060),
قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ: مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ هُوَ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ، وَبِلَالٌ ، وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ: ” مَاذَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ: جَعَلَ عَمُودًا عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودَيْنِ عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ ، وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ، ثُمَّ صَلَّى وَجَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ نَحْوًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ
“Aku membaca dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Malik menuturkan padaku, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke dalam Ka’bah bersama Usamah bin Zaid, Bilal, Utsman bin Thalhah Al Hajabi kemudian menutup pintunya. Lalu Abdullah bin Umar bertanya kepada Bilal ketika keluar: “apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ?”. Bilal menjawab: “Beliau memasang satu tiang di sebelah kirinya, dua tiang di sebelah kanannya, dan tiga tiang dibelakangnya. Sehingga Ka’bah saat ini memiliki enam tiang. Kemudian beliau shalat dan menjadikan jarak antara beliau dengan tembok sejauh tiga hasta” (HR. Ahmad 6060, hadits ini shahih, semua perawinya tsiqah tanpa keraguan)
Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها
“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya”
(HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Semoga penjelasan mengenai hadits melewati orang yang shalat, sutrah dan ukurannya bermanfaat untuk para pembaca. Jika ada kesalahan dalam penulisan, hadits atau pengumpulan sumber.