Fatwapedia.com – Melihat lawan jenis dalam rangka untuk pengajaran atau mengambil ilmu, termasuk perkara yang diperbolehkan. Karena hal ini merupakan salah satu hajat (kebutuhan) yang dibolehkan oleh syari’at agama kita.
Perlu untuk diketahui, bahwa larangan memandang kepada lawan jenis yang bukan mahram, adalah termasuk larangan wasilah. Yaitu sebuah larangan yang akan menjadi sebab/perantara perkara lain yang dilarang. Jadi pada hakikatya hal ini tidak dilarang. Akan tetapi karena berpotensi akan menjadi sebab perkara lain yang diharamkan (zina), maka hal ini dilarang.
Al-Imam Abul Abbas Syihabud Din Ahmad bin Idris Al-Qorofi Al-Maliki –rohimahullah – (wafat : 684 H) berkata :
الأحكام على قسمين: مقاصد، ووسائل، فالمقاصد كالحج والسفر إليه وسيلة، وإعزاز الدين ونصر الكلمة مقصد، والجهاد وسيلة، ونحو ذلك من الواجبات والمحرمات والمندوبات والمكروهات والمباحات، فتحريم الزنا مقصد، لاشتماله على مفسدة اختلاط الأنساب، وتحريم الخلوة والنظر وسيلة. اهـ
“Hukum-hukum (agama itu) ada dua jenis : maqodhid (sesuatu yang dituju) dan wasail (sesuatu yang menjadi perantara kepada sesuatu yang dituju). Maka maqoshid seperti haji, sedangkan perjalanan kepadanya termasuk wasilah. Memuliakan agama dan menolong kalimat (tauhid la ilaha illalloh) termasuk maqoshid, sedangkan jihad termasuk wasilah. Dan yang semisal dengan hal ini dari berbagai kewajiban, perkara haram, perkara mandub (sunnah/mustahab), perkara makruh (dibenci), dan perkara mubah (boleh). Maka pengharaman zina termasuk maqshud karena mengandung berbagai kerusakan dan percampuran nasab. Sedangkan pengharaman khulwah (berduaan) dan melihat (wanita yang bukan mahramnya) termasuk wasilah (perantara)”.- sampai di sini perkataan beliau –[Adz-Dzakiirah : 2/129].
Perhatikan kalimat dari beliau : “Sedangkan pengharaman khulwah (berduaan) dan melihat (wanita yang bukan mahramnya) termasuk wasilah (perantara)”. Dari sini bisa kita ketahui, bahwa memandang lawan jenis muharramat tahrim wasilah. Yaitu perkara yang diharamkan karena akan menjadi perantara kepada perkara lain yang dilarang.
Jenis larangan seperti ini, dibolehkan ketika adanya kebutuhan yang dibolehkan oleh syari’at. Kalau dalam kondisi darurat, lebih dibolehkan lagi. Karena kondisi “butuh” di bawah “darurat”. Jadi sifatnya lebih ringan.
Sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh asy-syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin –rohimahullah- :
وما كان تحريمه تحريم الوسائل فإنه يجوز عند الحاجة إليه
“Dan apa saja yang pengharamannya termasuk dari pengharaman karena akan menjadi sebab kepada sesuatu yang haram, maka sesungguhnya diperbolehkan ketika hal itu dibutuhkan”. [Majmu’ Al-Fatawa wa Rosail : 12/288].
Diantara dalil bolehnya seorang wanita melihat laki-laki ajnabi (asing) dan sebalinya untuk suatu kebutuhan yang dibolehkan syari’at :
Pertama : Apa yang diriwayatkan oleh Aisyah –rodhiallohu ‘anha- beliau berkata :
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي المَسْجِدِ
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku dengan kainnya, sementara saya sedang melihat kepada orang-orang Habasyah yang sedang bermain (di masjid).”[HR. Al-Bukhari : 5236 dan Muslim : 17].
Dalam hadits ini, Aisyah –rodhiallohu ‘anha- melihat kepada para lelaki Habasyah (Etopia) yang sedang bermain di masjid dalam keadaan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarangnya. Seandainya haram, tentu beliau akan melarangnya. Karena tidak mungkin beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- membiarkan kemunkaran ada di hadapan beliau. Terlebih yang melakukan adalah istri beliau sendiri.
Al-Imam Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi’i Al Mishri –rohimahullah- (wafat : 804 H) berkata :
وفيه: أنه لا بأس بنظر المرأة إلى الرجل من غير ريبة. ألا ترى ما اتفق العلماء من الشهادة عليها أن ذلك لا يكون إلا بالنظر إلى وجهها، ومعلوم أنها تنظر إليه حينئذ كما ينظر إليها
“Di dalamnya (hadits Aisyah di atas) terdapat dalil, sesungguhnya tidak mengapa (boleh) bagi seorang wanita untuk melihat kepada seorang laki-laki tanpa ada keraguan. Bukankah kamu mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ulama’ dari persaksian terhadapnya (seorang wanita), sesungguhnya hal itu tidak terjadi kecuali dengan melihat kepada wajahnya. Dan dimaklumi, sesungguhnya dia (wanita tersebut) juga melihat kepadanya (laki-laki yang bersaksi untuknya) ketika itu, sebagaimana dia (laki-laki tersebut) melihat kepadanya.” [ At-Taudhih Li Syarh Al-Jami’ Ash-Shohih : 25/140 ].
Al-Imam Ash-shon’ani –rohimahullah- berkata :
وَأَمَّا نَظَرُ عَائِشَةَ إلَيْهِمْ وَهُمْ يَلْعَبُونَ وَهِيَ أَجْنَبِيَّةٌ فَفِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ نَظَرِ الْمَرْأَةِ إلَى جُمْلَةِ النَّاسِ مِنْ دُونِ تَفْصِيلٍ لِأَفْرَادِهِمْ كَمَا تَنْظُرُهُمْ إذَا خَرَجَتْ لِلصَّلَاةِ فِي الْمَسْجِدِ وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ فِي الطَّرَقَاتِ
“Adapun melihatnya Aisyah kepada mereka (para lelaki Habasyah) dalam kondisi mereka sedang bermain (di masjid) padahal dia (Aisyah) adalah ajnabiyyah (wanita asing bagi mereka), di dalamnya terdapat dalil akan bolehnya wanita melihat kepada sekumpulan laki-laki tanpa perincian setiap personal mereka, sebagaimana dia (wanita) juga boleh melihat kepada mereka apabila keluar untuk sholat di masjid dan ketika bertemu di jalan.” [Subulus Salam : 2/52].
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam –rohimahullah- berkata :
في الحديث دليلٌ على أنَّ المرأة تنظر إلى الرجال الأجانب، إذا لم يكن ذلك نظر شهوة
“Di dalam hadits tersebut terdapat dalil, sesungguhnya seorang wanita (boleh) untuk melihat kepada para lelaki ajnabi (asing) apabila hal itu bukan pandangan syahwat.” [Taudhihul Ahkam : 2/131].
Maka orang-orang yang melarang secara mutlak wanita memandang kepada laki-laki atau sebaliknya, telah terbantah dengan hadits di atas. Hal ini telah dijelaskan juga oleh para ulama’ salaf.
Al-Imam Syarafud Din Al-Husain bin Abdullah Ath-Thiibi –rohimahullah- (wafat : 743 H) berkata :
الحديث بظاهره يدل علي أنه ليس للمرأة النظر إلي الأجانب مطلقا كما ليس لهم أن ينظروا إليها. ومنهم من خصص التحريم بحال خاف فيه الفتنة؛ توفيقا بينه وبين ما روي عن عائشة رضي الله عنها في حديثها المشهور
“Hadits tersebut, sekilas menunjukkan sesungguhnya wanita tidak boleh melihat kepada laki-laki asing (ajnabi) secara mutlak sebagaimana mereka (para lelaki) tidak boleh melihat para wanita. Diantara mereka ada yang mengkhususkan pengharaman dalam keadaan khawatir akan terjadi fitnah di dalamnya. Sebagai bentuk kompromi antara ia dan apa yang diriwayatkan dari Aisyah dalam haditsnya yang masyhur.”[Al-Kasyif ‘An Haqoiqis Sunan : 7/2275].
Hadits yang dimaksud oleh Al-Imam Ath-Thiibi –rohimahullah- dalam ucapannya di atas, adalah hadits Ummu Salamah : “Sesungguhnya beliau bersama Maimunah di sisi Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang. Maka nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada keduanya : “Berhijablah kalian berdua darinya !”. Mereka berdua berkata : “Wahai Rosulullah ! Bukankah dia seorang laki- laki buta yang tidak bisa melihat kami ?”. Maka nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : “Apa kalian berdua juga buta ? bukankah kalian berdua bisa melihatnya ?”. [HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud].
Hadits ini sekilas melarang secara mutlak sehingga bertentangan dengan hadits Aisyah yang membolehkan. Maka dalam ilmu ushul fiqh, kondisi seperti ini ditempuh thariqotul jam’i (metode mengkompromikan hadits-hadits yang sekilas bertentangan).
Bagaimana jalan komprominya? kita katakan, bahwa hadits-hadis yang melarang memandang lawan jenis, kita bawa kepada makna pandangan syahwat dan hawa nafsu, atau dikhawatirkan akan terjadi fitnah di dalamnya, atau karena wara’ (ingin menjaga diri). Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan, adalah pandangan yang dibutuhkan tanpa diiringi untuk melampiaskan syahwat.
Ibnu Hajar –rohimahullah- mengkompromikan antara hadits Aisyah dan Ummu Salamah, sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaukani –rohimahullah- :
وَجَمَعَ فِي الْفَتْحِ بِأَنَّ الْأَمْرَ بِالِاحْتِجَابِ مِنْ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ لَعَلَّهُ لِكَوْنِ الْأَعْمَى مَظِنَّةً أَنْ يَنْكَشِفَ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَا يَشْعُرُ بِهِ فَلَا يَسْتَلْزِمُ عَدَمُ الْجَوَازِ النَّظَرَ مُطْلَقًا قَالَ: وَيُؤَيِّدُ الْجَوَازَ اسْتِمْرَارُ الْعَمَلِ عَلَى جَوَازِ خُرُوجِ النِّسَاءِ إلَى الْمَسَاجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَالْأَسْفَارِ مُنْتَقِبَاتٍ لِئَلَّا يَرَاهُنَّ الرِّجَالُ، وَلَمْ يُؤْمَرْ الرِّجَالُ قَطُّ بِالِانْتِقَابِ لِئَلَّا يَرَاهُمْ النِّسَاءُ
“Beliau (Ibnu Hajar) dalam “Al-Fath” (maksudnya Fathul Bari), sesungguhnya perintah untuk berhijab dari Ibnu Ummi Maktum (dalam hadits Ummu Salamah), karena seorang yang buta berpotensi untuk tersingkap sesuatu darinya dalam kondisi dia tidak tahu. Maka hal ini tidaklah mengharuskan tidak bolehnya untuk melihat secara mutlak. kemudian beliau lanjutkan : bolehnya hal ini (memandang lawan jenis dalam hajat yang dibutuhkan) dikuatkan oleh amalaiah yang terus berlangsung akan bolehnya wanita keluar rumah menuju masjid, pasar, safar dalam kondisi berniqob (penutup wajah) agar tidak dilihat oleh para lelaki. Tidak pernah para lelaki diperintah untuk menutup wajahnya agar para wanita tidak melihat mereka.” [Nailul Author : 6/141].
Al-Imam Al-Mubarokfuri –rohimahullah- (wafat:1353) berkata :
وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يَجُوزُ نَظَرُ الْمَرْأَةِ إِلَى الرَّجُلِ فِيمَا فَوْقَ السُّرَّةِ وَتَحْتَ الرُّكْبَةِ بِلَا شَهْوَةٍ وَهَذَا الْحَدِيثُ مَحْمُولٌ عَلَى الْوَرَعِ وَالتَّقْوَى
“Yang paling benar dalam masalah ini, sesungguhnya boleh bagi wanita untuk melihat kepada laki-laki dalam apa-apa yang di atas pusar dan di bawah lutut tanpa syahwat. Dan hadits ini (hadits Ummu Salamah) dibawa kepada kemungkinan wara’(ingin menjaga diri/hati-hati).” [Tuhfatul Ahwadzi : 8/51].
Kedua : Hadits tentang kisah Fathimah bin Qois –rodhiallohu ‘anha- yang ditalak/dicerai suaminya dalam keadaan tidak diberi tempat tinggal dan nafkah. Maka dalam riwayat tersebut disebutkan :
فأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تعتد في بيت بن أم مكتوم وكان رجلا مكفوف البصر
“Maka Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan Fathimah binti Qois untuk beriddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum. Dan dia seorang laki-laki yang buta.” [HR. Ibnu Hibban : 4252, Al-Baihaqi : 7/431, An-Nasai : 4252, Ahmad : 6/415 dan selainnya. Dan sanadnya shohih].
Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa Fathimah binti Qois diperintah oleh nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menyelesaikan masa iddahnya di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, dan beliau ini laki-laki ajnabi baginya. Namanya satu rumah, tentunya akan terjadi pandang memandang di antara keduanya. Walaupun Ibnu Ummi Maktum buta, tapi Fathimah binti Qois tidak buta. Seandainya hal ini dilarang, maka tentu nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak akan memerintahkannya.
Ketiga : Para wanita di zaman nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- ikut sholat lima waktu berjama’ah di masjid. Bahkan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita untuk mencegahnya jika mereka ingin pergi ke masjid. Dalam kondisi seperti ini, tentu akan terjadi saling pandang memandang antara laki-laki dan perempuan dalam perkara yang memang dibutuhkan.
Al-Imam Syarafud Din Al-Husain bin Abdullah Ath-Thiibi –rohimahullah- (wafat : 743 H) berkata :
والفتوى علي أنه يجوز للمرأة النظر إلي الرجل الأجنبي فيما فوق السرة وتحت الركبة، بدليل أنهن كن يحضرن الصلاة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد، ولابد أن يقع نظرهن إلي الرجال، فلو لم يجز لم يؤمرن بحضور المسجد والمصلي؛ ولأنه أمرت النساء بالحجاب عن الرجال ولم يؤمر الرجال بالحجاب، وهذا إذا لم بكن النظر عن الشهوة، فأما نظرها بالشهوة إلي الرجل فحرام.
“Dan fatwa itu, sesungguhnya dibolehkan bagi seorang wanita untuk melihat kepada laki-laki ajnabi di dalam apa yang di atas pusar dan di bahwah lutut. Dengan dalil, sesungguhnya mereka (para wanita di zaman nabi) hadir dalam sholat berjama’ah bersama Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- di masjid. Hal ini mengharuskan terjadinya pandangan mereka (para wanita) kepada pada lelaki. Seandainya tidak boleh, tentu nabi tidak memerintahkan mereka untuk hadir sholat berjama’ah di masjid dan mushola (tanah lapang).” [Al-Kasyif ‘An Haqoiqis Sunan : 7/2275].
Keempat :
Hadits Jabir bin Abdillah –rodhiallohu ‘anhu-, dimana beliau berkata :
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ، فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ، وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ، وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ، فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: «تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ»، فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ، فَقَالَتْ: لِمَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ»، قَالَ: فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
“Aku telah mengikuti shalat hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memulainya dengan shalat sebelum menyampaikan khutbah, tanpa disertai adzan dan Iqamah. Setelah itu beliau berdiri sambil bersandar pada tangan Bilal. Kemudian beliau memerintahkan untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan memberikan anjuran untuk selalu mentaati-nya. Beliau juga memberikan nasehat kepada manusia dan mengingatkan mereka. Setelah itu, beliau berlalu hingga sampai di tempat kaum wanita. Beliau pun memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka. Beliau bersabda: “Bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian akan menjadi bahan bakar neraka jahannam.” Maka berdirilah seorang wanita terbaik di antara mereka dengan wajah pucat seraya bertanya, “Kenapa ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Karena kalian lebih banyak mengadu (mengeluh) dan mengingkari kelebihan dan kebaikan suami.” Akhirnya mereka pun menyedekahkan perhiasan yang mereka miliki dengan melemparkannya ke dalam kain yang dihamparkan Bilal, termasuk cincin dan kalung-kalung mereka.” [HR. Muslim : 885].
Dari hadits di atas terdapat beberapa sisi pendalilan, diantaranya : dzohir kisah ini menunjukkan tidak ada sitar atau hijab (pembatas) berupa kain atau yang semisalnya antara jama’ah laki-laki dan perempuan. Kedua, saat Bilal membentangkan kainnya, kemudian para wanita melemparkan perhiasaannya sebagai sedekah. Kedua hal ini tentunya terjadi saling memandang diantara mereka. Karena tidak mungkin para wanita bisa melemparkan perhiasan mereka ke kain Bilal, kecuali melihatnya.
Demikialah beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya wanita melihat kepada laki-laki atau sebaliknya dalam perkara yang dibutuhkan dan dibolehkan oleh syari’at. Sebenarnya masih ada dalil-dalil lain. Akan tetapi kami cukupkan dengan apa yang telah kami sebutkan saja agar pembahasan lebih ringkas.
Adapun dalil-dalil yang melarang untuk melihat lawan jenis dan perintah menundukkan pandangan, adalah keadaan yang tidak dibutuhkan, atau pandangan dengan syahwat, atau khawatir akan menimbulkan fitnah, atau sebagai sikap wara’ (kehati-hatian saja).
Sebagai pelengkap, di sini akan kami bawakan fatwa dari sebagian ulama’ kibar di abad ini agar lebih memperkuat dari pembahasan yang telah kami susun di atas. Atau jangan sampai ada yang menuduh kami tidak bersama ulama’ kibar.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rohimahullah- berkata :
أما قوله فيما يتعلق بنظر المرأة إلى الرجال من غير شهوة ومن غير تلذذ فيما فوق السرة ودون الركبة فهذا لا حرج فيه؛ لأن الرسول – صلى الله عليه وسلم – أذن لعائشة في النظر إلى الحبشة ، ولأن الناس مازالوا يخرجون إلى الأسواق الرجال والنساء ، وهكذا في المساجد تصلي المرأة مع الرجال وتنظر إليهم كل هذا لا حرج فيه إلا إذا كان نظراً خاصاً قد يفضي إلى فتنة أو تلذذ أو شهوة هذا هو الممنوع
“Adapun pernyataannya yang berkaitan dengan melihatnya seorang wanita kepada para lelaki tanpa ada syahwat dan tanpa dinikmati di dalam apa-apa yang di atas pusar dan di bawah lutut, maka tidak ada kesempitan baginya (boleh). Karena Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengijinkan Aisyah untuk melihat kepada para lelaki Habasyah. Karena manusia, laki-laki dan perempuan, senantiasa keluar ke pasar. Demikian pula ke masjid, wanita sholat bersama laki-laki, para wanita melihat kepada para lelaki. Ini tidak ada kesempitan (boleh). kecuali apabila pandangan khusus yang menghantarkan kepada fitnah, atau berlezat diri, atau syahwat, maka ini tidak boleh.” [Majmu Fatwa].
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin –rohimahullah- pernah ditanya :
سوأل : ما حكم نظر المرأة للرجل من خلال التليفزيون أو النظرة الطبيعية في الشارع؟
فأجاب: نظر المرأة للرجل لا يخلو من حالين سواء كان في التلفزيون أو غيره.
1- نظر شهوة وتمتع فهذا محرم لما فيه من المفسدة والفتنة.
2- نظرة مجردة لا شهوة فيها ولا تمتع فهذه لا شيء فيها على الصحيح من أقوال أهل العلم،
Soal : Apa hukum seorang wanita melihat kepada seorang laki-laki saat menonton televisi atau pandangan biasa ketika di jalan?
Jawab : Pandangan wanita kepada lelaki tidak akan lepas dari dua keadaan baik di TV atau selainnya :
1). Pandangan syahwat dan kenikmatan. Maka ini diharamkan, baik di TV atau selainnya.
2). Pandangan yang tidak disertai dengan syahwat di dalamnya dan tidak dinikmati. Maka ini boleh menurut pendapat yang paling benar dari pendapat-pendapat para ulama’.[Fatwa Mar’ah Muslimah : 2/973].
Jika ada yang berkata: bahwa terjadi beberapa kasus bahwa seorang wanita terfitnah dengan ustadznya. Maka jawabnya : itu kasus personal. Kasus personal tidak bisa jadi hukum universal (umum). Itu haram hanya bagi wanita itu. Adapun yang lain, maka tidak. Seperti halnya seorang yang bunuh diri dengan menggunakan pisau dapur. Ini tidak bisa menjadi sebab haramnya menggunakan pisau dapur. Karena fungsi pisau dapur itu untuk memasak, bukan untuk bunuh diri. Haram hanya mereka yang menggunakan untuk bunuh diri.
Kesimpulan :
1). Wanita memandang laki-laki atau laki-laki memandang perempuan, dibolehkan jika memang ada kebutuhan di dalamnya seperti untuk mengambil ilmu, atau persaksian, atau untuk dinikahi (nadzor), atau jual beli dan yang lainnya.
2). Adapun pandangan yang disertai syahwat, atau untuk dinikmati atau, akan menimbulkan fitnah, maka hal ini dilarang.
3). Larangan memandang lawan jenis itu, termasuk muharammat tahrim wasail (sesuatu yang diharamkan karena akan menjadi sebab terjadinya perkara lain yang diharamkan). Jenis seperti ini, boleh dilakukan ketika dibutuhkan.