Fatwapedia.com – Diantara bentuk musibah besar yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah hilangnya perhatian dan kepedulian dengan perintah dan larangan Allah SWT. Salah satu musibah ini adalah berkaitan dengan masalah berpakaian.
Islam telah memberikan batasan-batasan aurat laki-laki maupun perempuan secara detail. Aturan hukum dalam masalah aurat hakikatnya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Salah satunya agar selamat dari fitnah dan gangguan.
Secara sederhana aurat adalah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang jika terbuka atau tampak akan menimbulkan rasa malu, aib, serta keburukan-keburukan lainnya.
Menurut kamus Mukhtaar al-Shihaah, karya Imam al-Raziy disebutkan bahwa al-aurat adalah sau’atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu. Artinya, “aurat adalah aurat manusia dan segala hal yang menyebabkan malu.”
Maka sangat disayangkan jika seseorang sudah tidak lagi punya rasa malu membuka aurat di hadapan umum. Oleh karena itu penting dijelaskan apa saja batasan aurat laki-laki dan perempuan dan hukum melihta aurat orang lain.
Rasulullah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“…Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tak pernah menduga. Yakni sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia. Dan wanita yang berpakaian namun telanjang (berpakaian tipis/transparan/ketat), berlenggang lenggok dan berlagak, kepalanya (dihias) seperti punuk onta. Mereka tidak dapat masuk surga dan tidak mencium baunya. Padahal bau surga dapat tercium dari jarak perjalanan demikian dan demikian (relatif jauh)” (HR. Muslim no. 3971 dan no. 5098 dari Abu Hurairah ra)
Aurat dalam pandangan islam menempati perhatian serius dan telah dijelaskan rincian hukum dalam berbagai kondisi yang disebutkan oleh para ahli Fiqh yakni :
1. Aurat Wanita Terhadap Lelaki Asing (Bukan Mahram & Bukan Suami)
Mayoritas Ahli Fiqh menyatakan bahwa berkaitan dengan lelaki asing, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka dan dua telapak tangan.
Allah menyatakan dalam surat an Nûr : 31
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلاَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
.. dan janganlah mereka (wanita yg beriman) menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.
Maksud yang biasa nampak darinya (مَا ظَهَرَ مِنْهَا) bukan berarti yang biasa nampak seperti sekarang ini — yakni nampak betis, leher, dst (tdk usah dibayangkan ya), atau tergantung daerah, kalau di Jawa dada diatas ‘buah pikiran’ masih biasa nampak, di AS bahkan lebih lagi– namun maksudnya apa yang biasa nampak di kalangan wanita muslimah pada masa turunnya ayat ini, yakni wajah dan telapak tangan (ini pemahaman mayoritas, dan pendapat yang saya pilih). Sedangkan menurut riwayat yang lain, yang biasa nampak maksudnya adalah baju (الثياب) dalam riwayat lain celak dan cincin juga gelang, dan ini tidak bertentangan dengan pendapat bahwa yang biasa nampak adalah muka & telapak tangan.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan ‘sesuatu yang biasa nampak’ adalah muka dan kedua telapak tangan, ini juga pendapat Ibnu ‘Umar, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Sya’tsa, Adl Dhahhak, Ibrahim An Nakha’i dll.
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menyatakan, pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah muka dan dua telapak tangan.
Rasulullah menegaskan hal ini dalam sebuah hadits:
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ رضي الله تعالى عنهما , دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا , وَقَالَ : يَا أَسْمَاءُ إنَّ الْمَرْأَةَ إذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إلاَ هَذَا وَهَذَا , وَأَشَارَ إلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
“Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi SAW dengan menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling daripadanya dan berkata : ‘Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita telah menginjak dewasa (haid), maka tak boleh terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil beliau menunjuk muka dan telapak tangannya”. (HR. Abu Dawud, Hadits Hasan Lighairihi[3], mempunyai saksi yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dari jalan Ibnu Lahi’ah dari ‘Iyadl bin Abdillah)
Adapun tampaknya separo tangan dibolehkan menurut riwayat Qatadah sbb.
قال قَتادة: وبلغني أن النبيّ صلى الله عليه وسلم قال: “لا يحِلُّ لامْرأةٍ تُؤْمِنُ بالله واليَوْمِ الآخِرِ، أنْ تخْرجَ يَدَها إلا إلى هاهنا”. وقبض نصف الذراع.
Qatadah berkata: telah sampai kepadaku bahwa Nabi SAW berkata: “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhit untuk mengeluarkan tangannya (dari bajunya) kecuali sampai sini” dan beliau SAW menggenggam setengah hasta.
Ada riwayat bahwa Abu Hanifah membolehkan menampakkan dua telapak kaki, sebaliknya Ibnu ‘Abidin menyatakan bahwa punggung tangan termasuk aurat.
Riwayat dari Abu Yusuf bolehnya menampakkan kedua siku.
Madzhab Imam Ahmad: segala sesuatu dari wanita berkaitan dengan lelaki asing adalah aurat termasuk kukunya. Al Qadli yang bermadzhab Hanbali mengatakan: diharamkan lelaki asing memandang wanita asing selain wajah dan telapak tangan, boleh (makruh) memandang dua anggota ini (wajah dan telapak tangan) jika aman dari fitnah. Yang dijadikan dasar adalah hadits:
يا علي لا تتبع النظرة النظرة فإن لك الأولى وليست لك الآخرة
Wahai Ali, jangan engkau ikuti pandangan dengan pandangan berikutnya, karena bagi engkau adalah pandangan yang pertama, dan bukan hak engkau pandangan berikutnya. (HR. At Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan gharib, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Al Baihaqi dan Al Hakim).
أَنَّ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما كَانَ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْحَجِّ فَجَاءَتْهُ الْخَثْعَمِيَّةُ تَسْتَفْتِيهِ , فَأَخَذَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إلَيْهَا وَتَنْظُرُ هِيَ إلَيْهِ , فَصَرَفَ عليه الصلاة والسلام وَجْهَ الْفَضْلِ عَنْهَا
Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW pada saat haji, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain. (HR. al-Bukhârî dari Ibn Abbas)
Hadits ini tidak melarang untuk menampakkan muka, justru menjadi dalil bahwa muka bukanlah aurat (karena Rasul tidak memerintahkan wanita tersebut untuk menutup mukanya). Namun walaupun bukan aurat, memandang muka dengan syahwat termasuk diharamkan sebagaimana sabda Rasul yang diriwayatkan oleh ‘Alî ibn Abî Thâlib RA yang menambahkan:
Al-‘Abbâs RA kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher sepupumu?” Rasulullah SAW menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”
Sedangkan berkaitan dengan apa harus menutup auratnya, As Syarbiniy Al Khatib menyatakan: Syarat penutup aurat adalah menghalangi terlihatnya warna kulit, bukan besar kecilnya tubuh (hajm), sehingga tidak cukup dengan pakaian tipis.
Suara wanita bukanlah aurat menurut ulama madzhab Syafi’i, jika aman dari fitnah.
2. Aurat Wanita Terhadap Wanita Non Muslim
Mayoritas ahli Fiqh (Madzhab Hanafi, Maliki, dan yg lebih shahih menurut Syafi’i) bahwa wanita non muslim dianggap seperti lelaki asing, sehingga tidak boleh nampak badannya kecuali yang boleh nampak pada lelaki asing pada pembahasan no. 1. Karena Firman Allah SWT:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (An Nûr : 31).
Seandainya boleh memperlihatkan aurat kepada wanita non muslim, niscaya takhsis (pengkhususan) dalam ayat tersebut (yang bergaris bawah) tidak ada gunanya. Juga diriwayatkan secara sahih dari Umar r.a bahwa beliau melarang wanita ahli kitab untuk masuk hammâm (pemandian) bersama para muslimat.
Namun ada pendapat sebaliknya di kalangan Syafi’iyyah bahwa boleh menampakkan aurat kepada wanita non muslim sebatas yang biasa nampak pada pakaian kerja didalam rumah (mihnah), yakni kepala, dua tangan dan dua kaki. Ada juga pendapat lain bahwa boleh kelihatan auratnya sebagaimana muslimah terhadap muslimah (poin 3).
3. Aurat Wanita Terhadap Wanita Muslimah
Para ahli Fiqh berpendapat bahwa aurat wanita berkaitan dg wanita muslimah adalah seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusat dan lutut.
4. Aurat Wanita Terhadap Lelaki Mahram
Yang dimaksud mahram dalam hal ini adalah yang haram dinikahinya secara permanen, baik karena nasab, perkawinan (misalnya mertua) ataupun karena penyusuan.
Madzhab Maliki & Hanbali: aurat wanita di depan mahramnya adalah selain wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki, sehingga tetap haram membuka dada, punggung, perut dst. Dan diharamkan bagi mahramnya untuk melihat auratnya walaupun tanpa syahwat.
Sedangkan al Qadhi dari madzhab Hanbali menyatakan aurat wanita terhadap mahramnya seperti aurat lelaki terhadap lelaki.
Menurut madzhab Hanafiy & Syafi’iy: auratnya antara pusat dan lutut, sehingga boleh melihatnya jika aman dari fitnah (syahwat).
Al Hanabilah (ulama madzhab Hanbali): lelaki non muslim yg merupakan mahrom bagi wanita muslimah juga tetap dianggap mahrom, sebagaimana Abu Sufyan sebelum masuk Islam terhadap Ummu Habibah istri Rasulullah.
5. Aurat Lelaki Terhadap Lelaki
Aurat lelaki terhadap lelaki, baik muslim atau tidak adalah antara pusat dan lutut
اذا زوج احدكم عبده او اماته او اجيره فلا ينظر الى شيئ من عورته فانما تحت السرة الى الركبة عورة
“Jika salah seorang diantara kamu menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan melihat sesuatu yang termasuk aurat. Adapun apa-apa yang ada dibawah pusar hingga lutut adalah aurat”. (HR. Ahmad, Abi Dawud, Daruquthni, dan Baihaqi, di hasankan oleh Al Albani).
Hanafiyyah : pusat bukan aurat, lutut termasuk aurat, menurut hadits dari ‘Uqbah bin Al qamah:
الرُّكْبَةُ مِنْ الْعَوْرَةِ
Lutut termasuk aurat (namun ‘Uqbah di dlo’ifkan oleh abu Hatim Ar Razi)
Syafi’iyyah & Hanabilah : pusat dan lutut bukan aurat, aurat adalah antara pusat dan lutut saja.
Paha termasuk aurat menurut pendapat yang masyhur, Rasulullah SAW bersabda :
الفخذ عورة
“Paha adalah aurat”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Thurmudzi)
Muhammad bin Jahsy meriwayatkan bahwa “Rasulullah SAW lewat kepada Ma’mar, sedangkan kedua pahanya terbuka. Maka Rasulullah SAW menegur : ‘Hai Ma’mar tutuplah pahamu, sebab kedua paha itu adalah aurat”. (HR. Bukhari, Hakim dan Ahmad).
Adapun riwayat Aisyah r.a. dan Anas bin Malik r.a.: “Dari Aisyah r.a. menerangkan : ‘Bahwasanya Rasulullah SAW duduk pada suatu hari dengan membuka pahanya. Abu Bakar meminta izin masuk, Rasul mengizinkan, sedangkan pahanya masih terbuka. Sesudah itu datang Umar, meminta izin masuk dan Rasul mengizinkannya. Sedangkan paha beliau masih terbuka. Sesudah itu datanglah Utsman, maka barulah Nabi menutupi pahanya. Ketika mereka telah pulang, aku (Aisyah) bertanya : ‘Wahai Rasulullah, di kala Abu Bakar dan Umar masuk, paha tuan tetap terbuka, tetapi di kala Utsman masuk, tuan menurunkan kain. Maka Nabi menjawab : ‘Wahai Aisyah, tiadakah aku merasa malu dari seseorang, yang demi Allah, malaikat pun merasa malu darinya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
“Bahwa Nabi SAW waktu perang Khaibar menyingsingkan kain dari pahanya, hingga kelihatan olehku paha yang putih itu”. (HR. Ahmad dan Bukhari).
Ada yg memahaminya makruh, namun yg lebih tepat itu adalah kekhususan Rasulullah SAW.
6. Aurat Lelaki Terhadap Wanita Asing
Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan yg rajih dari Hanabilah: aurat nya antara pusat dan lutut
Hanabilah : seperti aurat wanita terhadap mahramnya, yakni selain muka, kepala, kedua kaki dan tangan.
7. Aurat Anak -Anak
Hanafiyyah: tidak ada aurat bagi anak-anak, dan yg mereka maksud anak-anak adalah yg berumur 4 tahun kebawah. Ibnu ‘Abidin: yg dianggap anak-anak adalah 7 tahun kebawah.
Malikiyyah : anak lelaki dibawah 8 tahun tidak ada auratnya, anak perempuan sampai 2 tahun 8 bulan tidak ada auratnya.
Syafi’iyyah (pendapat yg ter sahih dari Syafi’iyyah—krn ada beberapa pendapat dalam madzhab Syafi’i): boleh memandang anak-anak selain kemaluannya. Pendapat lainnya: auratnya seperti aurat org baligh terhadap mahramnya.
8. Aurat Suami Terhadap Istrinya dan Sebaliknya
Tidak ada perbedaan diantara ahli fiqh bahwa tidak ada aurat antara suami istri, dengan atau tanpa syahwat.
Syafi’iyyah dan Hanabilah: makruh memandang kemaluan.
Hanafiyyah : merupakan adab adalah tidak memandang kemaluan istri/suaminya.
Adapun hadits :
إَذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ، فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ اْلعَمَى
Jika salah seorang di antara kamu menyetubuhi isteri atau budaknya, maka janganlah ia memandang/melihat farji (kemaluan)-nya, sebab hal itu dapat menyebabkan kebutaan. Adalah hadits maudhu’ (palsu), dikeluarkan oleh Ibn al-Jauzi di dalam al-Maudhu’at (II/1).
9. Aurat Banci (Khuntsa)
As Syafi’iyyah : berkaitan dengan lelaki ia dianggap perempuan, berkaitan dengan perempuan ia dianggap laki-laki. Sehingga lelaki dilarang berkhalwat (berduaan) dengannya, begitu juga perempuan dilarang berkhalwat dengannya.
Hanabilah : aurat banci dianggap seperti aurat lelaki.
10. Aurat Dalam Shalat
Wajib menutup aurat bagi laki laki maupun perempuan, aurat laki-laki yg wajib di tutup adalah antara pusat dan lutut, bagi wanita semua tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
11. Aurat Wanita Saat Ihram
Menurut para ahli fiqh, wanita saat ihram tidak boleh menutup wajahnya dan tidak boleh mengenakan sarung tangan. Adapun warna pakaian boleh apa saja, walaupun lebih utama warna putih.
Janganlah wanita bercadar, dan janganlah dia memakai kaos tangan” [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]
12. Aurat Mayat
Aurat mayat sama seperti aurat saat masih hidup menurut para ahli fiqh. Rasul bersabda:
لاَ تَنْظُرْ إلَى فَخِذِ حَيٍّ وَلاَ مَيِّتٍ فإن الفخذ عورة
Janganlah engkau melihat paha orang hidup atau orang mati karena paha adalah aurat. (Riwayat Ibnu ‘Asyâkir dari Ali kw)[9].
Adapun berkaitan tentang memandikan mayat, adalah persoalan lain.
13. Memandang Aurat Untuk Kesaksian
Diperbolehkan memandang ‘aurat untuk kesaksian sebatas yang diperlukan dalam kesaksian tersebut, semisal memandang kemaluan untuk kesaksian tentang zina, mengetahui sudah baligh/belum dll.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي الله تعالى عنه أَنَّهُ أُتِيَ بِغُلاَمٍ قَدْ سَرَقَ فَقَالَ : اُنْظُرُوا إلَى مُؤْتَزَرِهِ , فَنَظَرُوا وَلَمْ يَجِدُوهُ أَنْبَتَ الشَّعْرَ فَلَمْ يَقْطَعْهُ
Diriwayatkan dari ‘Utsmân ibn ‘Affân bahwa pernah dihadapkan kepadanya seorang anak yang telah melakukan pencurian (sampai nishab). Ia berkata, ‘Periksalah kain penutup tubuhnya’. Orang-orang mendapati anak itu belum tumbuh rambut (pada kemaluannya). Maka Utsman tidak memotong tangannya. (HR al-Bayhaqî). Apa yang dilakukan ‘Utsmân ini dilihat dan didengar oleh para sahabat dan tidak seorang pun di antara mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ‘ijma dikalangan sahabat.
14. Membuka Aurat Untuk Keperluan Mendesak (Al Hâjat Al Mulji’ah)
Jumhur ‘ulama berpendapat boleh membuka aurat untuk keperluan mendesak, semisal melahirkan, boleh bagi dokter laki-laki (jika tidak ada dokter perempuan) untuk mengobati wanita (tentang khalwat baca di pembahasan khalwat).
15. Membuka Aurat Saat Mandi
Boleh membuka aurat saat mandi jika mandi sendirian (atau bersama istri) dan ditempat yang tidak dilihat orang lain, berdasarkan hadits:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى سَوْأَةِ بَعْضٍ وَكَانَ مُوسَى – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ
Adalah Bani Israil mandi telanjang, mereka saling melihat (aurat) antara satu dg yg lain, dan adalah Musa a.s mandi sendirian… (HR Bukhari dan Muslim)
16. Salam Kepada yang Membuka Aurat
Makruh hukumnya mengucapkan salam kepada orang yg membuka aurat walaupun membukanya dalam kondisi darurat.
أَنَّ رَجُلًا مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
Sesungguhnya seorang lelaki melewati Nabi Saw saat beliau buang hajat, lelaki tsb mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau tidak menjawab salamnya. (HR. Jama’ah kecuali Bukhariy)
17. Pengingkaran Atas Orang Yang Membuka Aurat
Berkata Ibnu ‘Abidin: jika seseorang melihat orang lain membuka lututnnya maka hendaklah ia mengingkari dengan halus dan tidak bertengakar jika ia ngeyel. Jika membuka paha maka pengingkarannya dengan keras jika ia mampu, dan tidak boleh memukulnya jika ia membangkang, sedangkan kalau membuka kemaluan maka hendaklah diberi pelajaran jika ia membangkang. Intinya wajib mengingkari orang yang membuka aurat karena itu termasuk amar makruf nahyi munkar, bukan malah menikmatinya (semoga Allah menolong kita dalam hal ini).
18. Aurat Wanita Terhadap Peminang/Pelamarnya
Siapa saja yang ingin menikahi seorang wanita, ia boleh melihat wanita tersebut dengan tidak berkhalwat dengannya. Rasulullah bersabda:
إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi wanita itu, hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Ibnu Hajar)
Jâbir (perowi hadits) berkata,
فخطبت امرأةً فكنت أتخبأ لها حتى رأيت منها ما دعاني إلى نكاحها فتزوجتها
“Aku melamar seorang wanita. Aku pun bersembunyi untuk melihat wanita itu hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya. Lalu aku pun menikahinya” (HR al-Hâkim dan beliau berkata, ”Hadits ini sahih menurut syarat Imam Muslim).
Seorang pria boleh melihat wanita yang hendak dinikahinya, baik seizin wanita itu atau pun tidak. Hal itu karena Nabi SAW telah memerintahkan kepada kita untuk melihat secara mutlak. Di dalam hadits Jâbir di atas terdapat lafal yang maknanya, “Maka aku bersembunyi untuk melihat wanita itu.” Hanya saja, tidak diperbolehkan berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang akan /telah dilamar. Hal itu karena NabiSAW telah bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali dia disertai mahramnya, karena yang ketiga di antara keduanya adalah setan.” (HR Muslim, dari jalur Ibnu ‘Abbâs).Hadits tersebut bersifat umum, mencakup pelamar.
Adapun dalam masalah melihat, Ia boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, juga selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab, kebolehan melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita, bersifat umum baik bagi pelamar atau pun bukan. Maka pengecualian bagi pelamar tidak memiliki makna selain bahwa pengecualian itu diarahkan kepada selain wajah dan kedua telapak tangan.
Sedangkan frasa “Maka aku bersembunyi untuk melihat wanita itu”, menunjukkan bahwa cara melihatnya adalah tanpa sepengetahuan wanita tersebut, dan yang dilihat boleh lebih dari muka dan telapak tangan.
Adapun wanita yang dilamar tetap tidak boleh membuka auratnya dengan sengaja didepan yang bukan mahramnya, termasuk pelamarnya, karena hadits tentang wajibnya menutup aurat didepan yg bukan mahram berlaku umum, tidak ada pengkhususan untuk pelamar.
Penutup
Jelas bahwa menutup aurat adalah kewajiban, semua ahli fiqh sepakat bahwa bagi wanita haram membuka leher, rambut, telinga, bahu, ketiak.. . Yang diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar (menutup muka) itu wajib atau tidak, apakah tapak kaki merupakan aurat atau bukan, apakah tangan sampai siku aurat atau bukan.
Adapun yang membolehkan membuka kepala, tidak kami temukan sandarannya baik dari Al Qur’an, Al Hadits, perkataan sahabat, tabi’in, maupun ‘ulama yang mu’tabar, semisal pemikiran seorang pemikir liberal Mesir, Muhammad Asymawi yang banyak di copy-paste orang yang mengatakan aurat itu menurut adat dan kondisi.
Pernyataan ini bertentangan dengan apa yang dilakukan Rasulullah ketika melakukan futuhat, yang meliputi 7 negara saat ini yakni ARAB SAUDI, YAMAN UTARA/SELATAN, UNI EMIRAT ARAB, QATAR, OMAN dan BAHRAIN (Luasnya lebih luas dari 4 kali luas gabungan Jerman dan Perancis) mereka mempunyai adat, kebiasaan dan budaya berbeda namun Rasulullah tidak membedakan syari’at yang diberlakukan atas mereka. Allahu A’lam. -–diterjemahkan, diringkas dan di edit dari Mausu’ah Al Fiqhiyyah dan literatur lain. [M. Taufik N.T]