Fatwapedia.com – Dalam islam, jika ada yang meninggal dunia maka wajib dimandikan, dikafani, disholatkan dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Semua ini hukumnya fardu kifayah. Terkhusus shalat jenazah berikut ini penjelasan hukum, tata cara dan beberapa hal yang berkaitan dengan jenazah.
Hukumnya Shalat Jenazah
Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah, ketika sebagian kaum muslimin telah melakukannya maka gugurlah bagi yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengerjakannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ المُتَوَفَّى، عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ: «هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا؟»، فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى، وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»
“Bahwa seorang jenazah yang mempunyai hutang dihadapkan kepada rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bertanya, “Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya?, apabila dikatakan ada sesuatu untuk pembayar hutangnya maka beliau menshalatkannya, jika tidak maka rasul berkata, “Shalatkanlah jenazah sahabat kalian ini”
Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini:
أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ خَيْبَرَ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ» فَتَغَيَّرَ وُجُوهُ النَّاسِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: «إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
“Bahwa salah seorang sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal saat perang Khaibar lalu hal itu diceritakan kepada rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda, “Shalatkanlah sahabat kalian. Raut wajah para sahabat berubah mendengar hal itu. Lalu rasul bersabda, “Sungguh sahabat kalian telah mencuri barang ghanimah. Kemudian kami memeriksanya dan mendapatkan kalung milik orang yahudi yang nilainya tidak lebih dari dua dirham”
Keutamaan Shalat Jenazah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ»، قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟ قَالَ: «مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ»
“Siapa yang menyaksikan jenazah hingga menshalatkannya maka ia mendapatkan satu qirath, dan siapa yang menyaksikan jenazah hingga dikuburkan maka mendapatkan dua qirath”, sahabat bertanya, “Apa yang di maksud dengan dua qirath?” Nabi menjawab,” Seperti dua gunung yang besar”.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa seorang putranya meninggal di Qadid atau Usfan, ia berkata, “Wahai Kuraib, lihatlah apakah orang-orang telah berkumpul padanya?”, Kuraib berkata, “Aku pun keluar dan melihat orang-orang telah berkumpul untuk mensalatkannya, lalu aku mengkabarkan padanya”. Ibnu Abbas bertanya, “Apakah jumlah mereka empat puluh orang?”, Kuraib menjawab, Ya. Ibnu abbas berkata, “keluarkanlah jenazahnya, aku mendengar rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ، فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ
“Tidaklah seorang muslim meninggal lalu dishalatkan oleh empat puluh orang laki-laki yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun melainkan Allah menjadikan mereka sebagai syafaat baginya.”
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً، كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
“Tidaklah seorang mayit yang dishalatkan oleh kaum muslimin yang mencapai seratus orang. Seluruh mereka memintakan syafaat untuk si mayit, melainkan mereka dapat memberikan syafaat untuknya”.
Posisi Imam Ketika Shalat Jenazah
Pendapat Pertama: Posisi imam berada sejajar dengan kepala mayit laki-laki, dan bagi wanita tepat sejajar dengan pinggulnya. Pendapat ini menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan sebagian Madzhab Hanafiyah dan Imam Syaukani juga membenarkannya.
Dalil yang menguatkan pendapat tersebut diriwayatkan dari Anas bin malik radhiallahu ‘anhuma :
“Bahwa Abu Ghalib Al-Khayyat berkata: “Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalatkan jenazah seorang laki-laki, ia berdiri di sisi kepalanya (dalam riwayat lain: sisi kepala tempat tidur), ketika jenazah itu diangkat, didatangkan lagi jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Lalu dikatakan kepadanya. Wahai Abu Hamzah ini adalah jenazah fulanah binti fulan maka shalatkanlah ia. Lalu ia menshalatkannya dengan berdiri di tengahnya (dalam riwayat lain: di sisi pinggulnya dan di atasnya kerenda hijau). Dianatara kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Tatkala melihat perbedaan berdirinya terhadap jenazah laki-laki dan perempuan ia berkata, “Wahai Abu Hamzah seperti inikah rasulullah berdiri sebagaimana yang engkau lakukan?. Ia menjawab, Ya. Lalu Ala’ menoleh kepada kami dan berkata hafalkanlah itu”.
Hadits yang diriwayatkan dari Samurah Bin Jundab ia berkata:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَصَلَّى عَلَى أُمِّ كَعْبٍ، مَاتَتْ وَهِيَ نُفَسَاءُ، «فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّلَاةِ عَلَيْهَا وَسَطَهَا
“Aku shalat di belakang nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang menshalatkan Ummu Ka’ab yang meninggal dalam keadaan nifas. Kemudian rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menshalatkannya pada sisi tengahnya”.
Pendapat Kedua: Berdiri tepat di sisi dada mayit, baik laki laki ataupun wanita. Menjawab atas hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa berdiri tepat di arah tengah bagi mayit wanita, untuk menutupinya karena tidak tertutup keranda. Mereka berdalil dengan tambahan redaksi yang diriwayatkan dari Abu Daud dari Anas bin Malik yang lalu, Abu Ghalib berkata:
فَسَأَلْتُ عَنْ صَنِيعِ أَنَسٍ فِي قِيَامِهِ عَلَى الْمَرْأَةِ عِنْدَ عَجِيزَتِهَا، فَحَدَّثُونِي أَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ لِأَنَّهُ لَمْ تَكُنِ النُّعُوشُ، فَكَانَ الْإِمَامُ يَقُومُ حِيَالَ عَجِيزَتِهَا يَسْتُرُهَا مِنَ الْقَوْمِ
“Aku bertanya tentang apa yang diperbuat oleh Anas, yaitu ia berdiri pada sisi tengah jenazah wanita. Lalu mereka menceritakan kepadaku bahwa ia melakukan seperti itu karena tidak ada keranda yang menutupinya. Maka imam berdiri sejajar pada bagian tengah jenazah untuk menutupinya dari pandangan orang-orang.”
Syeikh al-Albani menjawab pendapat yang dipilih Madzhab Hanafi, bahwa alasan itu di tolak dari beberapa sisi:
1. Sumber yang tidak jelas dan tidak ada dasar yang mendukung.
2. Hal ini bertentangan dengan hadits dari Anas bin Malik, bahwa berdiri di tengah mayit wanita yang ada kerandanya. Dalil itu dibatalkan dengan alasan tersebut.
Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla, “Bagi seorang imam yang menshalatkan jenazah berdiri dan menghadap kiblat dan makmum berada di belakangnya, imam berdiri tepat di posisi kepala bagi laki–laki dan tepat berada di posisi tengah jika mayitnya wanita.
Rincian Tata Cara Shalat jenazah
Dimulai dengan takbir pertama disertai dengan mengangkat kedua tangan. Mengangkat kedua tangan pada setiap takbir didasarkan pada atsar Abdullah bin Umar (HR. Al-Bukhari dalam Raf’ul Yadain 110) dan Ibnu Abbas (Talkhisul Khabir 2/147) radhiyallahu anhuma. Atsar ini memiliki hukum marfu’, karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
Setelah takbir langsung membaca surat Al Fatihah tanpa doa istiftah sebelumnya dan tanpa bacaan surat setelahnya.
ﻋَﻦْ ﻃَﻠْﺤَﺔَ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋَﻮْﻑٍ ﻗَﺎﻝَ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﻨَﺎﺯَﺓٍ ﻓَﻘَﺮَﺃَ ﺑِﻔَﺎﺗِﺤَﺔِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻴَﻌْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺳُﻨَّﺔٌ
Dari Thalhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf berkata, “Aku pernah shalat atas seorang jenazah dibelakang Ibnu ‘Abbâs, lalu dia membaca al-Fatihah. Dia (Ibnu ‘Abbâs) berkata, “Agar kalian mengetahui bahwa hal itu adalah sunnah.” [HR. Al-Bukhâri 1335].
Kemudian bertakbir yang kedua lalu disusul dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam (Ini adalah pendapat mayoritas ulama). Dan shalawat yang sempurna adalah seperti shalawat yang dibaca sewaktu tasyahhud di dalam salam.
Hal ini disandarkan kepada hadits Umamah bin Sahl dari salah seorang shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam;
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻋﻠﻰ ﺍﻟْﺠِﻨَﺎﺯَﺓِ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﺒِّﺮَ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺛُﻢَّ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﺑِﻔَﺎﺗِﺤَﺔِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮَﺓِ ﺍﻟْﺄُﻭﻟَﻰ ﺳِﺮًّﺍ ﻓﻲ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺛُﻢَّ ﻳﺼﻠﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭَﻳُﺨْﻠِﺺَ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀَ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻓﻲ ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮَﺍﺕِ ﺍﻟﺜﻼﺙ
“Sunnah dalam sholat jenazah adalah Imam bertakbir kemudian membaca alFatihah tidak dikeraskan setelah takbir pertama kemudian bershalawat kepada Nabi, dan mengikhlaskan doa untuk mayit pada tiga takbir (setelahnya) (H.R asy-Syafi’i dalam al-Umm (1/270)
Namun bagi imam Asy-Syaukani dan Ibnu Hazm bahwa shalawat itu terletak setelah bacaan Al-Fatihah pada takbir yang pertama. Adapun setelah takbir kedua hingga terakhir adalah membacakan doa untuk mayit. Dan inilah yang unggul berdasarkan dzahir hadis Umamah diatas.
Kemudian bertakbir yang ketiga lalu disusul dengan doa yang ma’tsur (doa yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam). Dasarnya lihat hadis Umamah diatas.
Kemudian bertakbir yang keempat lalu disusul dengan doa yang ma’tsur. Dasarnya lihat hadis Umamah diatas.
Lalu bersalam; boleh dengan salam satu kali dan boleh dengan dua salam.
Dasar untuk satu salam adalah hadis Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata;
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺯَﺓِ ﻓَﻜَﺒَّﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺗَﺴْﻠِﻴْﻤَﺔً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً
Sesungguhnya Rasulullah dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali. (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul ‘Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah. (Ahkamul Janaiz, 128).
Sedang untuk dua salam, yaitu hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata;
ﺛَﻼَﺙُ ﺧِﻼَﻝٍ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻬُﻦَّ ﺗَﺮَﻛَﻬُﻦَّ ﺍﻟﻨَّﺎُﺱ , ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻦَّ ﺍﻟﺘَّﺴْﻠِﻴْﻢُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺯَﺓِ ﻣِﺜْﻞُ ﺍﻟﺘَّﺴْﻠِﻴْﻢِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ
“(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
Doa-doa Shahih shalat jenazah, diantaranya;
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻪُ ﻭَﺍﺭْﺣَﻤْﻪُ ﻭَﻋَﺎﻓِﻪِ ﻭَﺍﻋْﻒُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺃَﻛْﺮِﻡْ ﻧُﺰُﻟَﻪُ ﻭَﻭَﺳِّﻊْ ﻣُﺪْﺧَﻠَﻪُ ﻭَﺍﻏْﺴِﻠْﻪُ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟﺜَّﻠْﺞِ ﻭَﺍﻟْﺒَﺮَﺩِ ﻭَﻧَﻘِّﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻄَﺎﻳَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻧَﻘَّﻴْﺖَ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏَ ﺍﻟْﺄَﺑْﻴَﺾَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪَّﻧَﺲِ ﻭَﺃَﺑْﺪِﻟْﻪُ ﺩَﺍﺭًﺍ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺩَﺍﺭِﻩِ ﻭَﺃَﻫْﻠًﺎ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻠِﻪِ ﻭَﺯَﻭْﺟًﺎ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺯَﻭْﺟِﻪِ ﻭَﺃَﺩْﺧِﻠْﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻭَﺃَﻋِﺬْﻩُ ﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ ﻭَﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka. [HR Muslim dari ‘Auf bin Malik]
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﺤَﻴِّﻨَﺎ، ﻭَﻣَﻴِّﺘِﻨَﺎ، ﻭَﺻَﻐِﻴﺮِﻧَﺎ، ﻭَﻛَﺒِﻴﺮِﻧَﺎ، ﻭَﺫَﻛَﺮِﻧَﺎ ﻭَﺃُﻧْﺜَﺎﻧَﺎ، ﻭَﺷَﺎﻫِﺪِﻧَﺎ ﻭَﻏَﺎﺋِﺒِﻨَﺎ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﻴَﻴْﺘَﻪُ ﻣِﻨَّﺎ ﻓَﺄَﺣْﻴِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺗَﻮَﻓَّﻴْﺘَﻪُ ﻣِﻨَّﺎ ﻓَﺘَﻮَﻓَّﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﺎ ﺗَﺤْﺮِﻣْﻨَﺎ ﺃَﺟْﺮَﻩُ، ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻀِﻠَّﻨَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ
“Ya Allah, ampunilah yang masih hidup dari kami, yang telah mati, yang masih kecil, yang dewasa, yang laki-laki, yang perempuan, yang sedang bersama kami, dan yang tidak bersama kami. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkan dari kami maka hidupkanlah ia dalam keimanan, dan siapa yang Engkau matikan darikami maka matikanlah ia dalam keadaan Islam. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan jangalah Engkau sesatkan kami setelah kepergiannya”. [Shahih. HR. Abu Dawud]
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻥَّ ﻓُﻠَﺎﻥَ ﺑْﻦَ ﻓُﻠَﺎﻥٍ ﻓِﻲ ﺫِﻣَّﺘِﻚَ، ﻭَﺣَﺒْﻞِ ﺟِﻮَﺍﺭِﻙَ، ﻓَﻘِﻪِ ﻣِﻦْ ﻓِﺘْﻨَﺔِ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ، ﻭَﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟْﻮَﻓَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﺤَﻖِّ، ﻓَﺎﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻪُ ﻭَﺍﺭْﺣَﻤْﻪُ، ﺇِﻧَّﻚَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟْﻐَﻔُﻮﺭُ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ
“Ya Allah, sesungguhnya si Fulan bin Fulan (menyebutkan nama orang yang meninggal) berada dalam lindungan dan penjagaanmu, maka lindungilah ia dari cobaan kubur dan siksaan neraka. Engkaulah yang paling berhak menunaikan janji dan hak, maka ampunilah ia dan rahmatilah ia, sesungguhnya Engkau Yang Maha Pengampun dan Penyayang”. [Shahih. Sunan Ibnu Majah].
Dianjurkan Membuat Tiga Shaf Di Belakang Imam, Sekalipun Jumlahnya Sedikit
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا أَوْجَبَ
“Tidaklah seorang mayit yang meninggal kemudian dishalatkan dengan tiga shaf kaum muslimin kecuali ia berhak mendapatkan pahalanya (di surga).”
Semakin banyak jamaah yang menshalatkannya maka semakin utama bagi si mayit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً، كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
“Tidaklah mayit dishalatkan oleh umat kaum muslimin yang mencapai seratus orang, seluruh mereka memintakan syafaat kepadanya melainkan mereka dapat memberikan syafaat padanya”.
Bercampurnya Jenazah Laki–Laki Dan Wanita
Jika ada mayit laki-laki maupun wanita, bagi imam cukup menshalatkan mereka sekali secara bersamaan. Diriwayatkan dari Nafi’:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، صَلَّى عَلَى تِسْعِ جَنَائِزَ جَمِيعَا، فَجَعَلَ الرِّجَالَ يَلُونَ الْإِمَامَ، وَالنِّسَاءَ يَلُونَ الْقِبْلَةَ، فَصَفَّهُنَّ صَفًّا، وَوُضِعَتْ جِنَازَةُ أُمِّ كُلْثُومِ ابْنَةِ عَلِيٍّ امْرَأَةُ عُمَرَ بْنِ الْخطَّابِ وَابْنٍ لَهَا يُقَالُ لَهُ: زَيْدٌ، وُضِعَا جَمِيعًا، وَالْإِمَامُ يَوْمَئِذٍ سَعِيدُ بْنُ الْعَاصِ، وَفِي النَّاسِ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَأَبُو سَعِيدٍ، وَأَبُو قَتَادَةَ، فَوَضَعَ الْغُلَامَ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ، قَالَ رَجُلٌ: فَأَنْكَرْتُ ذَلِكَ فَنَظَرْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي قَتَادَةَ فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: هِيَ السُّنَّةُ
“Bahwa Ibnu Umar menshalatkan sembilan jenazah sekaligus, ia meletakan jenazah laki-laki dekat dengan imam, dan meletakan jenazah wanita di dekat kiblat dan meletakan mereka satu baris. Dan jenazah Ummu Kultsum binti Ali, istri Umar bin Khatthab dan putranya bernama Zaid diletakan sekaligus. Imam shalat pada waktu itu Sa’id bin Ash, dan diantaranya ada ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id, Abu Qatadah. Lalu jenazah anak itu diletakan di depan imam, seseorang berkata, aku mengingkari hal ini. Aku (nafi’) memandang kepada ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu aku berkata, apa ini?, Mereka menjawab, “ini adalah sunnah.”
Wanita Boleh Menshalatkan Jenazah
Dibolehkan bagi wanita untuk menshalatkan jenazah, selama tidak ikut mengantarkan jenazah ke pemakaman.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhuma :
أَنَّ عَائِشَةَ، أَمَرَتْ أَنْ يَمُرَّ بِجَنَازَةِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَتُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَأَنْكَرَ النَّاسُ ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَقَالَتْ: مَا أَسْرَعَ مَا نَسِيَ النَّاسُ، «مَا صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ ابْنِ الْبَيْضَاءِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ»
“Bahwa Aisyah memerintahkan melewatkan jenazah Sa’ad bin Abi Waqash di masjid agar ia dapat menshalatkannya. Orang-orang mengingkari hal itu, lalu ia berkata, “Alangkah cepatnya manusia melupakan. Tidaklah rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menshalatkan Suhail bin al-Baidha’ melainkan di masjid”
Catatan tambahan: Dalam hadits ini dibolehkan shalat jenazah di dalam masjid, yang lebih utama shalat jenazah dilakukan di luar masjid, pada suatu tempat yang sudah dipersiapkan untuk shalat jenazah, hal ini adalah sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan itu yang sering dilakukan beliau.
Apakah dishalatkan sebagian dari anggota tubuh mayit?
Banyak atsar dhaif maupun mursal dari sebagian sahabat yang menshalatkan potongan tubuh mayit :
Diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan bahwa Abu Ubaidah menshalatkan potongan kepala di Syam.
Hadits Abu Ayyub bahwa beliau menshalatkan potongan kaki.
Hadits Umar bahwa beliau menshalatkan tulang belulang di Syam.
Ada tiga pendapat Ulama tentang masalah ini :
1. Bahwa menshalatkan sebagian anggota tubuh sama halnya menshalatkannya secara utuh. Ini pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan dipilih oleh Ibnu Hazm.
2. Apabila ditemukan lebih dari separuh maka dimandikan dan dishalatkan, namun apabila hanya ditemukan kurang dari separuh maka tidak dimandikan dan dishalatkan. Ini pendapat Abu Hanifah.
Sedangkan Imam malik berpendapat bahwa tidak menshalatkannya. Dengan alasan untuk mempermudah.
3. Tidak dishalatkan secara mutlak. Ini pendapat Daud.
Penulis berkata: Jika mayit sudah dishalatkan dan kemudian ditemukan potongan tubuhnya, maka tidak perlu lagi dishalatkan, namun cukup dimandikan dan kemudian dikuburkan. Wallahu A’lam.
Potongan Tubuh Orang Yang Masih Hidup Tidak Dishalatkan
Tidak ada penukilan yang berasal dari Rasulullah ataupun para sahabat, bahwa mereka melakukan shalat atas anggota badan yang terpisah ketika masih hidup. Dan telah menjadi berita mutawatir bahwa hudud (hukuman) yang dilaksanakan pada masa nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan masa sahabat setelah beliau meninggal, seperti potong tangan, tidak ada disebutkan bahwa mereka mencuci dan menshalatkannya. Wallahu a’lam.
Menshalatkan Janin Yang Gugur Dan Anak-Anak
Anak-anak yaitu yang belum baligh (mimpi junub) dan di syariatkan untuk dishalatkan.
Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata, dibawa kepada Rasulullah jenazah anak-anak dari kaum anshar, kemudian rasulullah menshlatkannya. kemudian Aisyah berkata, beruntunglah anak ini, ia menjadi burung dari burung-burung surga. Ia tidak melakukan keburukan dan belum mengetahuinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَوَ لَا تَدْرِينَ أَنَّ اللهَ خَلَقَ الْجَنَّةَ وَخَلَقَ النَّارَ، فَخَلَقَ لِهَذِهِ أَهْلًا وَلِهَذِهِ أَهْلًا
“Apakah engkau tidak mengetahui, bahwa Allah menciptakan surga dan neraka, kemudian Ia menciptakan masing-masing penghuninya”.
Menshalatkan bayi yang meninggal
Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini, bahwa bayi, ketika ia sudah bisa menangis atau bersin maka harus dishalatkan.
Ibnul Mundzir berkata, “Ulama sepakat apabila seorang anak sudah diketahui ia hidup dan sudah menangis maka dishalatkan”.
Terhadap Bayi Yang Belum Menangis – ada perbedaan pendapat
Tidak dishalatkan. Ini pendapat Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas, Az-zuhri, ats-Tsauri, Awzai, Malik dan Syafi’i. Dalil yang memperkuat atas pendapat ini dari Jabir bin Abdullah:
لَا يَرِثُ الصَّبِيُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا
“Seorang bayi tidak mendapatkan warisan hingga ia menjerit (ketika lahir)”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ وُرِّثَ
“Apabila seorang bayi yang dilahirkan menjerit maka ia mendapatkan warisan.”
Pendapat lain mengatakan bahwa anak tersebut wajib dishalatkan. Ini pendapat Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Sirrin , Ibnu Musayab dan dipilih oleh Ahmad dan Ishak.
Adapaun dalilnya dari hadits Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhuma ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السِّقْطُ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
“Bayi gugur dishalatkan dan kedua orang tuanya didoakan agar mendapat ampunan dan rahmat”.
Ishaq menjawab atas dalil yang pertama : “Bahwa syarat mendapatkan warisan adalah bayi yang sudah menangis, adapaun shalat tidak disyaratkan seperti itu, karena ia adalah jiwa yang telah ditetapkan penderitaan dan kebahagiaannya.
Al-Khitabi menukilkan dari Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih keduanya mengatakan bahwa setiap jiwa yang telah ditiupkan ruh dan sempurna empat bulan sepuluh hari maka ia dishalatkan.
Imam Nawawi berkata, “Zahirnya bahwa bayi yang meninggal apabila sudah ditiupkan ruhnya dan sudah sempurna empat bulan, maka wajib dishalatkan, apabila kurang dari itu tidak dishalatkan, karena bukanlah mayit.
Berdasarkan hadits marfu’ dari Abdullah bin Masud radhiallahu ‘anhuma :
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا … ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّ
“Sesungguhnya penciptaan diantara kalian dikumpulkan di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah selama masa itu juga, kemudian menjadi segumpal daging selama masa itu juga, kemudian diutuslah malaikat…kemudian ditiupkan ruh”.
Menshalatkan Ahli Bid’ah, Pelaku Dosa Besar Dan Kemaksiatan
Sebagaimana perkataan ulama bahwa wajib dishalatkan atas setiap muslim, meski ia melakukan dosa besar, fasik, atau ahli bid’ah, selama bid’ahnya tidak melampaui kekafiran. Apabila tokoh agama ataupun orang yang punya peranan penting di wilayah tersebut meninggalkan menshalatkannya karena sebagai bentuk pengingkaran atau penghinaan atas kelakuan yang telah dilakukannya maka hal ini dibolehkan dan baik, seperti halnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menshalatkan orang yang mati bunuh diri dan nabi berkata kepada sahabat, “Shalatkanlah oleh kalian”. Ini pendapat Malik, Ahmad dan para imam lainnya.
Menshalatkan Jenazah Yang Mempunyai Hutang
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ المُتَوَفَّى، عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ: «هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا؟»، فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى، وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الفُتُوحَ، قَالَ: «أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنَ المُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا، فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ»
“Bahwa seorang jenazah laki-laki yang mempunyai hutang dibawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertanya, “Apakah ia mempunyai sesuatu untuk melunasi hutangnya?, apabila dikatakan ada untuk melunaskan hutangnya, maka beliau shalatkan, jika dikatakan tidak maka beliau berkata kepada kaum muslimin, “Shalatkanlah sahabat kalian ini”. Ketika Allah membukakan kemenangan kepada beliau, beliau bersabda, “Aku lebih utama terhadap orang yang beriman daripada diri mereka, maka siapa diantara orang beriman yang meninggal dan mempunyai hutang maka aku yang menanggung pelunasannya, dan siapa yang meninggalkan warisan maka untuk ahli warisnya”.
Imam an-Nawawi berkata[36], “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menshalatkan jenazah yang meninggalkan hutang, karena sebagai dorongan untuk melunasi hutang semasa hidupnya. Tatkala Allah Subhanahu wata’ala telah memberikan kemenangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menshalatkan dan melunasi hutang mereka apabila tidak ada sesuatu untuk melunasinya.
Atas hal ini maka tidak semestinya bagi siapapun dari kaum muslimin untuk tidak menshalatkan terhadap orang yang masih mempunyai hutang. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin
Menshalatkan Pelaku Bunuh Diri
Ada tiga pendapat ulama :
Pertama: Tidak wajib dishalatkan. Ini pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Auza’i dalil dari keduanya adalah riwayat Jabir bin Samurah :
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
“Didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mayit seorang laki–laki yang mati bunuh diri menggunakan anak panah dan beliau tidak menshalatkannya”.
Kedua: Wajib dishalatkan. Ini pendapat Hasan, an-Nakhai , Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan jumhur ulama. Mereka menjawab atas hadits dari Jabir yang lalu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menshalatkan mayit yang bunuh diri, sebagai peringatan bagi manusia atas perbuatan itu. Sedangkan para sahabat menshalatkannya dan hal ini juga terjadi ketika Rasulullah meninggalkan shalat bagi orang yang mati meninggalkan hutang sebagai peringatan bagi mereka yang bersikap toleran dari pinjaman dan ceroboh dalam pelunasan. Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menshalatkannya,“Shalatkanlah sahabat kalian ini”
Qadhi berkata, “Seluruh mazhab ulama berpendapat bahwa menshalatkan setiap muslim, yang mati karena dikenai hukuman, yang dirajam, bunuh diri dan anak zina.
Ketiga: Orang-orang shalih yang mempunyai keutamaan di tengah-tengah masyarakat agar tidak menshalatkan mereka. Ini pendapat Malik dan lainnya. Ini adalah pendapat yang paling jelas.
Ibnu Taimiyah memilih pendapat boleh bagi umat islam secara umum untuk menshalatkannya. Adapun tokoh agama yang menjadi panutan, apabila ia meninggalkan menshalatkan jenazah tersebut maka sebagai peringatan kepada yang lain dan mengikuti Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini adalah benar. Wallahu A’lam.