Fatwapedia.com – Diantara rukun haji yang wajib dikerjakan adalah Thawaf (Thawaf Ifadhah). Dalam tulisan ini akan dikupas secara lengkap mengenai Tata Cara Thawaf yang benar. Mengetahui hukum thawaf dan jenis-jenisnya sangat penting, terutama bagi yang hendak menunaikan ibadah haji. Hal ini agar ibadah haji yang dijalankan sah dan maqbul. Baik langsung saja kita simak penjelasan selengkapnya.
Definisi Thawaf
Thawaf secara bahasa: berkeliling disekitar sesuatu
Thawaf secara istilah: adalah berkeliling disekitar baitul haram dengan bentuk seperti yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.
Macam-Macam Thawaf
Thawaf-thawaf yang disyariatkan di dalam haji ada tiga:
Thawaf Qudum
Dinamakan thawaf wurud, dan thawaf tahiyat, karena disyariatkan bagi orang-orang yang datang dari selain Makkah untuk menghormati ka’bah, dan hal ini dibolehkan bagi orang-orang di penjuru dunia yang datang dari selain Makkah menurut mayoritas ulama -berbeda dengan Malikiyah yang mewajibkanya dan berpendapat: Siapa yang meninggalkannya maka diharuskan baginya dam -penghormatan bagi bait.
Dasar dari hal ini adalah praktik nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dalam hadits Jabir -radhiyallahu `anhu-:
حَتَّى إِذَا أَتَيْنَا الْبَيْتَ مَعَهُ، اسْتَلَمَ الرُّكْنَ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا
“Sehingga sampailah kami di ka’bah bersamanya lalu dia melaksanakan rukun dan berjalan cepat tiga kali dan berjalan empat kali”[1].
Dari `A’isyah -radhiyallahu ‘anha-:
أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ – حِينَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مكة أَنَّهُ تَوَضَّأَ، ثُمَّ طَافَ
“Hal pertama yang dimulai nabi ketika datang ke Makkah adalah beliau berwudhu’ kemudian berthawaf”[2].
Malikiyah memakai hadits tersebut sebagai dalil atas kewajiban dengan sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Contohlah aku untuk ibadah Umrah dan Haji kalian”[3].
Mayoritas ulama berkata: Bahwa konteks perkataannya telah berdiri bahwa sesungguhnya tidak wajib, karena maksudnya adalah penghormatan, dan menyamakan dengan tahiyat masjid maka menjadi sunnah. Inilah pendapat yang lebih kuat. Allah Maha Tahu.
Faedah: Siapa yang pergi sebagai permulaan ke Mina atau arafah dan tidak memasuki Makkah sebelumnya, maka tidak diutamakan bagi dirinya -dan tidak juga bagi diri orang yang berumrah sebelum haji- thawaf qudum setelah tinggal di arafah[4]. Maka thawaf qudum dilewatkan dengan wukuf di arafah.
Thawaf Ifadhah (Thawaf Rukun)
Dinamakan thawaf ziarah, ini adalah salah satu rukun dari haji menurut kesepakatan para ulama. Orang yang berhaji tidak bertahallul tanpanya kepada tahallul yang lebih besar, dan tidak digantikan dengan apapun. Rukun ini telah ditetapkan dengan al-Qur`an, as-Sunnah, dan Ijma’[5].
Allah -subhanahu wa ta`ala- berfirman:
(ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ)
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan bernadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)”[6]
Para ulama telah sepakat bahwa ayat tersebut di dalam thawaf ifadhah. Dan di dalam hadits `A’isyah -radhiyallahu ‘anha- bahwa Shafiyyah binti Hayy radhiallahu ‘anha berhaji bersama nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu dia haid, lalu rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya:
أَحَابِسَتُنَا هِيَ؟ فَقَالُوا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ، قَالَ: فَلاَ إِذًا
“Apakah dia akan menahan kita? mereka menjawab: dia telah berifadhah, Rasul bersabda: maka tidak, kalau begitu[1].
Maka dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa thawaf ifadhah adalah fardhu yang diharuskan, dan kalau bukan karena kefardhuannya maka tidak dilarang bagi orang yang belum mengerjakannya untuk pergi.
Waktu Thawaf Ifadhah
Terkait waktu thawaf Ifadhah terbagi menjadi tiga waktu, yaitu waktu awal dan akhir dan waktu afdal.
a. Awal waktunya
Tidak dibolehkan thawaf ifadhah sebelum waktu yang di tentukan dalam syariat, yaitu pada waktu yang luas yang dimulai dari terbitnya matahari pada hari kurban menurut Hanafiyah dan Malikiyah, sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa waktunya dimulai dari setelah pertengahan malamkurban bagi yang berwukuf di arafah sebelumnya.
b. Akhir waktunya
Hanafiyah berpendapat bahwa akhir waktu untuk thawaf ifadhah adalah pada akhir hari-hari tasyriq, menurut Malikiyah: waktunya adalah pada bulan Dzulhijjah, jika mengakhirkannya maka diwajibkan dam. Adapun Syafi’iyah dan Hanabilah serta dua sahabat Abu Hanifah berkata: Asalnya tidak ada waktu dan tidak ada juga yang mewajibkan mengerjakannya pada hari kurban, tidak diharuskan denda jika mengakhirkannya setelah hari-hari kurban atau setelah bulan Dzulhijjah, tidak bisa digugurkan selamanya dan tidak cukup baginya fidyah karena merupakan rukun dan tetap haram dari perempuan selamanya hingga kembali dan berthawaf.
Penulis berkata: Pendapat yang mengatakan tidak boleh mengakhirkannya dari bulan Dzulhijjah -tanpa uzur- dianjurkan; karena di dalam bulan itulah dilaksanakannya ibadah haji, walaupun yang paling berhati-hati adalah tidak mengakhirkannya kepada setelah hari-hari kurban agar keluar dari perbedaan. Karena itu Syaikhul islam berkata di dalam “Mansakah” memasuki Makkah lalu berthawaf dengan thawaf ifadhah -jika memungkinkan hal tersebut pada harikurban- dan jika tidak maka lakukanlah setelah hari itu, akan tetapi seharusnya dikerjakan pada hari tasyriq, dan jika mengakhirkannya dari waktu tersebut ada perselisihan[2].
c. Waktu Yang Utama
Diutamakan mengerjakan thawaf ifadhah pada hari kurban (hari raya) karena merupakan perbuatan nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- seperti yang disebutkan di dalam hadits Jabir yang panjang dan yang selainnya.
Disyaratkan di dalam thawaf ifadhah secara khusus: Didahului dengan wuquf di arafah, dan jika berthawaf untuk ifadhah sebelum wukuf di arafah tidak digugurkan kefarduan dari thawafnya, secara ijma’.
Jika Perempuan Haidh Sebelum Thawaf Ifadhah
Maka jika mampu -tanpa kesulitan- menunggu hingga suci dan berthawaf, diharuskan baginya hal tersebut. Nabi bersabda kepada `A’isyah -radhiyallahu ‘anha- ketika dia sedang haid:
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
“Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berhaji selain kamu tidak boleh berthawaf di ka’bah”[1]
Syaikhul Islam berkata:[2] “Adapun yang tidak kuketahui adanya perselisihan bahwa tidak ada bagi seorang perempuan berthawaf ketika haidh jika mampu berthawaf dengan suci, dan tidak ku ketahui adanya perselisihan bahwa hal itu diharamkan baginya dan berdosa karenanya. Para ulama berselisih di dalam pencukupannya, mazhab Abu Hanifah berpendapat cukup baginya hal tersebut, ini adalah pendapat di dalam mazhab imam Ahmad.
Akan tetapi, jika tidak mampu menunggu hingga suci agar bisa berthawaf, karena terikat dengan waktu perjalanan kembali dan yang sejenisnya -dan hal ini sangat banyak ditemui pada hari ini- maka perempuan tersebut tidak terlepas dari delapan keadaan[3]:
1. Dikatakan kepadanya: Tinggallah di Makkah -walaupun para lelaki pergi hingga suci dan berthawaf?! Di dalamnya ada kerusakan dan mengisyaratkannya untuk tinggal sendirian di negara asing disertai bahaya besar yang ada di dalamnya.
2. Dikatakan kepadanya: Gugurnya thawaf ifadhah karena kelemahan dari syaratnya?! Tidak ada ulama yang berkata demikian, karena merupakan rukun haji yang paling utama dan itulah yang dimaksud dengan kepastiannya, wukuf di arafah dan yang mengikutinya sebagai pendahuluan baginya.
3. Dikatakan kepadanya: Jika engkau khawatir datangnya haid pada waktu thawaf ifadhah dibolehkan bagimu mendahulukannya dari waktunya?! Ini juga tidak diketahui adanya pendapat yang berkata demikian dan ini adalah mendahulukan wukuf di arafah dari hari arafah.
4. Dikatakan kepadanya: Jika seorang perempuan tahu bahwa biasanya haidnya datang pada hari-hari haji, maka gugurlah fardu haji hingga menjadi seorang yang telah putus haidnya dan teputus secara keseluruhan?! Pendapat ini mengharuskan gugurnya haji bagi kebanyakan perempuan dan ini tidak tepat, kemudian jika bagi orang yang tidak diwajibkan haji walaupun betul merupakan tanggungannya lalu apa yang akan dikatakan setelah itu?!
5. Dikatakan kepadanya: Kembali kepada ihramnya -dilarang bersenggama dan menikah- hingga kembali ke baitullah dan berthawaf dalam keadaan suci dan walaupun setelah bertahun-tahun?! Hal ini ditentang oleh agama, dan apapun yang mengandung rahmat, hikmah, maslahat, tidak dipungkiri adanya kesulitan di dalamnya.
6. Dikatakan kepadanya: Bertahallul hingga bersuci seperti bertahallulnya orang yang di beri batas dengan sisa haji yang masih di dalam tanggungannya, kapanpun mampu berhaji maka diharuskan baginya, dan berthawaf dalam keadaan suci?!. Perkataan ini lemah karena pembatasan adalah hal yang bertentangan bagi orang-orang yang berhaji yang menghalanginya dari sampai ke baitullah pada waktu haji, sedangkan ini berada di baitullah, kemudian bahwa uzurnya tidak menggugurkan fardu haji atasnya dari awal maka tidak mengharuskannya bertahallul seperti orang yang terkepung.
7. Dikatakan kepadanya: Diwajibkan atasnya mencari pengganti orang yang menghajikannya seperti orang yang lumpuh yang lemah dari berhaji sendiri?!, ini juga tidak ada yang berkata demikian, kemudian bahwa orang yang lumpuh putus harapan dari penghilangan uzurnya, sedangkan ini tidak putus harapan dari penghilangan uzurnya karena bisa terputus darahnya pada waktu berputus asa atau sebelumnya, jadi tidak sama seperti orang lumpuh.
Maka ketujuh asumsi tersebut batal, dan tinggalah asumsi yang kedelapan yaitu:
8. Dikatakan kepadanya: Berthawaf di baitullah -dalam keadaan haid- karena darurat, dan inilah yang sesuai dengan ruh agama Islam yang toleran, dan untuk menghilangkan kesulitan dari umat.
Adapun yang disebutkan di dalam ucapan para imam dan fatwa-fatwa mereka di dalam pensyaratan suci dari hadas besar di dalam thawaf -adalah dalam keadaan mampu dan lapang, bukan dalam keadaan darurat dan lemah. Fatwa ini tidaklah menentang agama atau pendapat ulama’.
Ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullaah-[1] yang dikatakan di akhir tulisannya: Inilah yang cenderung bagiku di dalam masalah ini, La haula wa laquwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim, jika bukan karena daruratnya manusia dan butuhnya mereka kepadanya praktek dan ilmu maka aku tidak akan merepotkan diri berbicara, dimana tidakku temukan di dalamnya pendapat dari selainku, dan sesungguhnya ijtihad pada waktu darurat adalah bagian dari apa yang diperintahkan oleh Allah.
Penulis berkata: Jika seorang perempuan mampu meminum obat yang mencegah haid pada masa haji, maka dibolehkan baginya untuk melakukannya -jika tidak membahayakannya- agar keluar dari perbedaan.Allah Maha Tahu.
3. Thawaf Wada’
Dinamakan thawaf shadar, dan thawaf akhirul ‘ahd. Ini merupakan salah satu dari kewajiban haji menurut mayoritas ulama’ -berbeda dengan Malikiyah yang menurutnya sunnah- hadits Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu- berkata:
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ
“Manusia diperintahkan untuk menjadikan akhir masanya di baitullah, kecuali bahwa dia diringankan bagi perempuan yang haid”[1].
Dalam suatu lafazh:
كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ
“Pada waktu itu manusia beranjak di setiap tempat lalu nabi bersabda: janganlah siapapun pergi hingga menjadikan akhir masanya di baitullah”[2].
Ini adalah dalil atas wajibnya thawaf wada’, bagi perempuan jika haid setelah berthawaf ifadhah maka tidak diharuskan baginya sisanya hingga suci dan berthawaf wada’, diringankan baginya dalam meninggalkan thawaf wada’ lalu kembali ke negaranya dan tidak diharuskan baginya dam. Dalil atas hal tersebut hadits yang telah disebutkan bahwa Shafiyah ketika haid lalu nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata:
أَحَابِسَتُنَا هِيَ؟» قَالُوا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ، قَالَ: فَلْتَنْفِرْ إِذًا
“Apakah dia menahan kita? mereka menjawab: dia telah berthawaf ifadhah, berkata rasul : maka bergegaslah kalau begitu”[3].
Penulis berkata: Malikiyah telah mengabaikan perintah nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada thawaf wada’ dengan keringanan bagi orang yang haid dalam meninggalkannya tanpa fidyah?! Menunjukan perintah rasul tersebut bukan wajib hukumnya tetapi sunnah.
Pendapat ini tidak bisa diterima, karena kewajiban ini gugur dari orang-orang yang berhalangan dan tidak gugur bagi selainnya, seperti shalat gugur bagi orang yang haid dan diwajibkan bagi selainnya, bahkan pengkhususan haid dengan gugurnya hal ini darinya merupakan dalil atas kewajibnya bagi selainnya. Allah Maha Tahu.
Catatan penting: Jika seorang perempuan bersuci sebelum kembali ke negaranya maka wajib baginya berthawaf wada’ jika belum keluar dari rumah Makkah, jika ia bersuci dan masih berada di rumah Makkah maka diharuskan baginya berthawaf dengan thawaf wada’[4].
Orang-Orang Makkah Tidak Ada Wada’ Baginya
Thawaf wada’ tidak diwajibkan kecuali bagi para haji dari penduduk penjuru dunia, dan adapun orang-orang Makkah maka tidak ada wada’ baginya menurut Hanafiyah, Hanabilah -dan Hanafiyah mengikutkan dengan orang-orang Makkah orang-orang yang bertempat tinggal di dalam daerah-daerah miqat- karena thawaf wajib sebagai perpisahan dengan baitullah, artinya tidak untuk penduduk Makkah karena mereka di dalam Negaranya.
Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah diminta thawaf wada’ bagi siapapun yang bermaksud untuk bepergian dari Makkah, sekalipun orang Makkah bermaksud hendak bepergian yang dibolehkan mengqashar shalat, karena umumnya perintah dengan menjadikannya sebagai akhir masanya di Baitullah[1].
Syarat-Syarat Thawaf
1. Suci
Apakah Disyaratkan Suci Di Dalam Thawaf?
Mayoritas ulama berpendapat -berbeda dengan Hanafiyah, riwayat dari Ahmad dan Ibnu Hazm- bahwa suci dari berbagai hadas dan najis adalah syarat sahnya thawaf, maka jika berthawaf hilang salah satu di antara keduanya maka thawafnya batal tidak dianggap. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu- dari nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ إلَّا أَنَّ اللَّهَ أَبَاحَ فِيهِ الْكَلَامَ
“Thawaf di baitullah adalah shalat kecuali bahwa Allah membolehkan di dalamnya berbicara”[2]
Hadits ini berbeda dalam mauqufnya dan yang benar adalah mauquf.
Penetapan Dalil Ini Ditolak Karena Beberapa Hal
a. Hadits tersebut tidak benar mauqufnya, dan yang benar adalah mauquf dari ucapan Ibnu Abbas, seperti yang telah di kuatkan oleh Tirmidzi, Baihaqi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar dan syaikh kita Mushthafa Al-`Adawiy.
b. Atas fardu shahihnya, maka tidak di haruskan bahwa thawaf disamakan dengan shalat di segala hal hingga disyaratkan untuknya apa yang disyaratkan untuk shalat?![3].
c. Bahwa sejumlah muslimin -tidak ada yang menghitung mereka kecuali Allah-berthawaf pada masa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak disebutkan dari siapapun bahwa beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan mereka dengan wudhu’ untuk thawafnya dengan kemungkinan batalnya wudhu’ kebanyakan dan masuknya kebanyakan dari mereka kepada thawaf tanpa wudhu’, terutama dengan penuhnya orang di dalam thawaf qudum dan thawaf ifadhah[4].
Karena itu Syaikhul Islam berkata di dalam al Fataawa (6/198): Telah jelas bahwa bersuci dari hadas bukanlah syarat di dalam thawaf dan tidak diwajibkan di dalamnya tanpa ragu-ragu, akan tetapi lebih diutamakan di dalamnya berwudhu’ maka sesungguhnya dalil-dalil syar’i menunjukkan bahwa tidak adanya kewajiban di dalamnya, dan tidak ada dalam agama yang menunjukkan kepada wajibnya berwudhu’ di dalamnya. Ibnu Hazm berkata (7/179): Thawaf di baitullah tanpa bersuci boleh. Inilah yang dipilih oleh al ‘allaamah Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- di dalam al Mumti’ (7/300).
Penulis berkata: Dengan penguatan kami kepada bolehnya thawaf tanpa wudhu, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu lebih diutamakan dari hadits `A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
أَوَّلُ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِينَ قَدِمَ النَّبِيَّ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ، ثُمَّ طَافَ
“Hal pertama yang dimulai oleh nabi ketika mendatangi Makkah adalah berwudhu’ kemudian berthawaf”[1].
Karena umumnya dalil keutamaan penyebutan bersuci. Akan tetapi kita tidak bisa mengharuskan seseorang yang batal wudhu’nya untuk pergi berwudhu’ terutama disaat penuh dan berdesakan dengan tanpa dalil yang jelas. Allah Maha Tahu.
Ini semuanya dalam bersuci dari hadas kecil, dan adapun hadas besar seperti haid, nifas dan junub, maka yang jelas bahwa wajib bersuci darinya untuk berthawaf. Sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada `A’isyah -yang sedang haid-:
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
“Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang haji kecuali janganlah engkau berthawaf di baitullah”[2]
Maka siapa yang berthawaf dalam keadaan berhadas besar -tanpa halangan- kemudian keluar ke negaranya, Malik dan Syafi`iy berpendapat: Hukumnya adalah hukum orang yang memang tidak berthawaf. Abu Hanifah berpendapat: Mengirimkan dam dan dicukupkan kepadanya[3].
2. Menutupi Aurat
Tidak boleh bagi siapapun berthawaf di baitullah dengan bertelanjang, dan jika melakukannya tidak sah menurut mayoritas ulama. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
(يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ)
“Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap masuk masjid”[1]
Hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ بعثه فِي الحَجَّةِ التي أمر عليها رسول الله قبل حجة الوداع يوم النحر في رهط يؤذن في الناس : أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
“Bahwa Abu Bakar -radhiyallahu `anhu- diutus pada waktu haji yang telah dipercayakan oleh Rasulullah sebelum haji wada’ pada hari kurban di dalam kelompok mengumumkan kepada mereka: setelah tahun ini orang musyrik tidak boleh berhaji dan orang yang telanjang tidak boleh berthawaf di ka’bah”[2].
Hanafiyah berkata: Menutupi aurat itu wajib di dalam thawaf dan bukan merupakan syarat sahnya thawaf, maka siapa yang thawaf bertelanjang batal thawafnya menurut mayoritas ulama dan sah menurut hanafiyah tetapi diharuskan dam.
3. Thawaf Di Luar Ka’bah
Allah -subhanahu wa ta`ala- berfirman
(وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ)
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah tua itu (baitullah)”[3]
Jika berthawaf di dalam hijr[4] maka thawafnya tidak sah. Sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
(الحجرمن البيت)
“Hijr adalah bagian dari ka’bah”[5]
Orang Quraisy meninggalkannya karena kesulitan ekonomi dan memagarinya dengan tembok. Disyaratkan untuk sahnya thawaf yaitu di luar hijr, jika tidak maka batal menurut mayoritas, menurut Hanafiyah wajib mengulanginya selama masih di Makkah dan jika telah kembali ke nagaranya maka diharuskan baginya mengirimkan hewan kurban ke Makkah.
4-5. Memulai Thawafnya Dari Hajar Aswad Dan Berakhir Kepadanya, Menjadikan Ka’bah Di Sebelah Kirinya
Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu :
(لمل قدم رسول الله مكة أتي الحجر الأسود فاستلمه ثم مشي عن يمينه, فرمل ثلاثا و مشي أربعا)
“Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatangi Makkah beliau mendatangi hajar aswad dan menyalaminya kemudian berjalan dari sebelah kanannya, dan berjalan cepat tiga kali dan empat kali”[1]
Ini adalah syarat thawaf menurut mayoritas, karena ketekunan nabi, karena dialah penjelas bagi ringkasan al-Qur`an dengan hal thawaf maka merupakan bagian dari kebenarannya, dan sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang melakukan suatu pekerjaan yang tidak dari perintah kami maka itu ditolak”[2].
6. Sempurna Tujuh Kali Putaran
Karena nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukannya sebagai penjelas atas kemampuan mengamalkan firman Allah (وَلْيَطَّوَّفُوا) “dan hendaklah mereka melakukan thawaf”, maka menjadi fardhu dan ini adalah mazhab mayoritas, maka jika meninggalkan satu langkah dari putaran yang manapun maka tidak diambil putaran tersebut. Adapun Hanafiyah maka mereka menjadikan rukunnya: mendirikan dengan lebih banyak dari tujuh, yang lebih sedikit yang tersisa merupakan kewajiban dan bukan rukun. Pendapat ini ditolak bahwa ukuran ibadah tidak diketahui dengan pendapat ataupun ijtihad, akan tetapi dengan perhentian dan dalil, seperti siapa yang mengurangi rakaat shalat maka tidak sah. Karena itu Kamal ibnul Humam – bagian dari Hanafiyah- berbeda dengan mazhabnya dan berkata: Yang kami yakini adalah bahwa dia tidak dibagi kurang dari tujuh, dan tidak bisa diperbaiki sebagiannya dengan apapun[3].
Bagaimana Jika Ragu Di Dalam Jumlah Putaran?
Siapa yang ragu di dalam jumlah putaran dan dia sedang berthawaf maka yang menjadi pegangan adalah yang ia yakini, yaitu yang paling sedikit, menurut mayoritas ahli fiqih (Syafi`iy dan Hanabilah) dan diriwayat dari Ibnul Mundzir ijma’ atas hal tersebut[4].
Penulis berkata: Akan tetapi jika lebih kuat baginya yang lebih banyak maka itulah yang ia pegang. Allah Maha Tahu.
7. Berturut-Turut Di Antara Putaran-Putarannya
Maksudnya adalah tidak adanya jeda panjang di antara putaran-putaran tersebut, ini adalah syarat thawaf menurut Maliki dan Hanabilah, dalam suatu perkataan menurut Syafi`iy bahwa hal ini wajib, menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah hal ini sunnah. Dan bagi yang memotong thawafnya karena uzur seperti membuang hajat atau wudhu’ -bagi yang menganggapnya sebagai syarat- atau mendirikan shalat fardhu atau untuk beristirahat dari kelelahan dan yang sejenisnya maka thawafnya didasari atas yang telah dilakukan, dan jika memotong thawafnya dengan sia-sia karena tanpa uzur maka batal thawafnya[1]. Wallahu a’lam
Sunnah-sunnah Thawaf
Penjelasan mengenai masalah ini bisa anda baca dengan mengklik link ini 13 Sunnah-Sunnah Thawaf
Demikian penjelasan lengkap seputar tata cara pelaksanaan thawaf semoga bermanfaat.