Fatwapedia.com – Nazar secara sederhana dapat kita fahami sebagai keinginan yang mewajibkan diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan tujuan mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Perlu kita ketahui bahwa Nadzar yang dilakukan oleh orang-orang islam -dari segi keadaan yang dinadzarkan- terbagi menjadi dua bagian:
I. Nadzar dalam ketaatan kepada Allah
Maka seseorang mengharuskan kepada dirinya sendiri baik dengan melakukan perintah yang dianjurkan oleh syariat, seperti shalat (sunnah), puasa, haji, sedekah, I’tikaf dan selainnya, atau mengharuskan kepada dirinya sendiri dengan melakukan kewajiban jika mengaitkan nadzar dengan sifat, seperti bernadzar untuk melaksanakan shalat pada awal waktunya, dan yang sejenisnya.
Adapun jika nadzar pada kewajiban seperti shalat lima waktu, puasa pada bulan ramadhan dan yang selainnya dari berbagai hal-hal yang fardhu, maka tidak berpengaruh bagi nadzarnya, karena kewajiban Allah atas hal tersebut lebih besar dari kewajibannya dengan nadzarnya.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nadzar taat ada dua gambaran: nadzar permulaan yang tidak berkaitan pada manfaat bagi yang bernadzar, nadzar mutlak ini diysariatkan bagi manusia melakukannya. Dan nadzar yang bergantung pada manfaat bagi yang bernadzar, merupakan sebagai pengeluaran yang mengeluarkan permintaan pengganti dan penghentian ibadah atas mencapai tujuan, ini yang dilarang melakukannya.
Hukum Memenuhi Nadzar dalam Ketaatan
Nadzar taat dengan kedua jenisnya: yang mutlak dan yang terkait, diwajibkan bagi yang bernadzar untuk memenuhinya, menurut Al-Qur’an dan as-sunnah serta ijma’. [Ensiklopedia Fatwa Syaikhul Islam (32/87-33/36)] Telah disebutkan sebagian dalilnya, yaitu:
Firman Allah -subhanahu wa ta`ala-
(ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ)
“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar mereka”. [Surat al Hajj, 29]
Ini adalah perintah untuk menepati nadzar yang menunjukan suatu kewajiban.
b. Allah mencela orang-orang yang bernadzar dan tidak menepati nadzarnya. Allah -subhanahu wa ta`ala- berfirman:
(وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِن فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ [٩:٧٥]فَلَمَّا آتَاهُم مِّن فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوا وَّهُم مُّعْرِضُونَ [٩:٧٦]فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَىٰ يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ [٩:٧٧])
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran) maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. [Surat at Taubah, 75-77]
c. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
(من نذر أن يطيع الله فليطعه . . .)
“Bagi siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka taatilah…
d. Dari `Umar -radhiyallahu `anhu- dia berkata kepada nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْفِ نَذْرَكَ
“Sesungguhnya aku bernadzar pada masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di masjidil haram? Lalu nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab: penuhilah nadzarmu.” [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (2042), dan Muslim (1656)]
e. Disebutkan dalam hadits `Imran bin Hushain -radhiyallahu `anhu- tentang pencelaan kaum-kaum yang akan datang setelah kurun yang dimuliakan- :
). . . ثم يجئ قوم ينذرون و لا يوفون . . .)
“Kemudian akan datang suatu kaum yang bernadzar namun tidak memenuhinya”.
Jika Bernadzar Kepada Sesuatu Di Luar Kemampuan, Atau Tidak Sanggup Untuk Memenuhinya
Jika bernadzar kepada yang dekat maka diwajibkan untuk memenuhinya -seperti yang telah dijelaskan- jika mampu, dan jika tidak mampu memenuhi atau nadzarnya merupakan sesuatu yang di luar kemampuan, maka tidak wajib atasnya memenuhinya.
Dari Anas bin Malik -radhiyallahu `anhu-
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى شَيْخًا يُهَادَى بَيْنَ ابْنَيْهِ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟» قَالُوا: نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ، قَالَ: «إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ تَعْذِيبِ هَذَا نَفْسَهُ »، وَأَمَرَهُ أَنْ يَرْكَبَ
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melihat seorang lelaki diangkat di antara dua orang, lalu beliau bertanya: apa itu? mereka menjawab: nadzar untuk berjalan menuju ka’bah, lalu beliau bersabda: sesungguhnya Allah -`Azza Wa Jalla- kaya dari penyiksaan ini kemudian beliau memerintahkannya untuk berkendara. [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1865), dan Muslim (1642)]
b. Dari `Uqbah bin `Amir -radhiyallahu `anhu-:
(إن أخته نذرت أن تمشي إلى البيت الحرام حافية غير مختمرة, فذكر ذلك لرسول الله فقال: مر أختك فلتركب, ولتخمر, ولتصم ثلاثة أيام)
“Bahwa saudara perempuannya bernadzar berjalan kaki menuju baitul haram bertelanjang kaki tanpa memakai jilbab, lalu diadukan hal itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu beliau bersabda: perintahkan kepada saudaramu berkendaralah, dan berjilbablah, kemudian berpuasalah selama tiga hari.”[1]
Dalam suatu riwayat dari hadits Ibnu `Abbas -di dalam kisah ini-:
(فمرها فلتركب ولتكفر)
“Maka perintahkan kepadanya dan berkendaralah lalu bayarlah kafarat [2].
Dalam suatu riwayat:
(فأمرها النبي أن تركب و تهدى هديا)
“Lalu nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkannya untuk berkendara dan menyembelih kurban[3].
Dalam riwayat yang lain:
(فاتركب, ولتهد بدنة)
“Maka berkendaralah dan berkurbanlah dengan seekor unta. [Idem]
Dalam suatu riwayat: tidak menyebutkan kurban dan tidak juga kafarat. [Hadits riwayat: Abu Daud (3304), Baihaqi (10/79), Thabrani di dalam al Awsath (9380)]
c. Dari `Uqbah bin `Amir -radhiyallahu `anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
(كفارة النذر كفارة اليمين)
“Kafarat nadzar adalah kafarat sumpah. [Shahih, Hadits riwayat: Muslim (1645), dan At-Tirmidziy (1528), dan Nasaai (3832)]
Maka dengan hadits-hadits ini dan selainnya para ulama berbeda pendapat atas apa yang diharuskan dari nadzar yang di luar kemampuan jika tidak mampu memenuhinya, seperti yang bernadzar berhaji dengan berjalan kaki –dan ia tidak mampu- menjadi beberapa pendapat. [Fathul Qadir (3/173), al Majmu’ (8/494), al Mughni (10/74), al Inshaaf (11/149)]
Pertama: Tidak Dikenakan Apapun. Berdasarkan makna zhahir firman Allah Subhanahu wata’ala :
(لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Surat al Baqarah, 286]
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
(فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)
“Dan bertakwalah engkau kepada Allah berdasarkan kesanggupanmu. [Surat at Taghabun, 16]
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
(رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ)
“Ya tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup untuk kami pikul”. [Surat al Baqarah, 286:]
Sabda nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-:
(و إذا أمرتكم بشيء فائتوا منه ما استطعتم)
“Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka kerjakanlah Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (7288), dan Muslim (1337)] semampu kalian.
Ini adalah pendapat Syafi`iy dan suatu riwayat dari Ahmad dan Al-Auza`iy.
Kedua: Dikenakan Kafarat Sumpah: berdasarkan hadits `Uqbah bin `Amir di atas. Berdasarkan sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada ‘uqbah- dalam masalah saudara perempuannya:
(فمرها فلتركب, ولتكفر)
“Maka perintahkanlah kepadanya berkendaralah, dan bayarlah kafarat.
Ini adalah mazhab Ahmad, Tsauri dan juga merupakan pilihan Syaikhul Islam.
Ketiga: Wajib puasa selama tiga hari. ini adalah suatu riwayat dari Ahmad.
Keempat: Wajib membayar seekor unta yang gemuk. Ini adalah pendapat Syafi`iy.
Kelima: Wajib menyembelih hewan kurban. Inilah yang paling shahih menurut Syafi`iy, suatu riwayat dari Ahmad, pendapat Hanafiyah dan Laits serta ketiga pendapat terakhir seluruhnya bersandar kepada salah satu dari berbagai riwayat kisah saudara perempuan `Uqbah bin `Amir di atas.
Keenam: Tidak cukup baginya berkendara, tetapi berhaji dari awal. Lalu berjalan dimana dia berkendaraan. Berkendaraan dimana dia berjalan, dan diwajibkan menyembelih seekor kambing. Ini adalah pendapat Malik.
Pendapat yang kuat: Yang jelas bagiku setelah mempelajari sanad-sanad hadits tersebut, bahwa riwayat yang paling kuat -dari segi sanad- adalah riwayat kafaratdengan kurban (atau kambing) kemudian setelahnya riwayat puasa selama tiga hari. Dan yang paling kuat dari segi dirayah adalah dikenakan kafarat sumpah. Hal ini karena beberapa hal:
1. Karena riwayat unta dan kurban- yang paling kuat secara sanad- dicacati dengan ucapan al-Hafizh di dalam al Fath (11/589) bahwa Tirmidzi meriwayatkan dari Al-Bukhariy bahwa dia berkata: tidak shahih penyebutan kurban di dalam hadits `Uqbah bin `Amir. Seperti itulah riwayat Baihaqi (10/80).
2. Bahwa riwayat puasa tidak bertentangan dengan riwayat (kafarat) dan membayar kafarat dari sumpahnya dimana berpuasa selama tiga hari adalah salah satu bentuk kafarat sumpah seperti yang telah dijelaskan.
3. Bahwa inilah yang sesuai dengan hadits `Uqbah bin `Amir sendiri- dan dialah yang meminta fatwa untuk istrinya- dalam shahih, bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
(كفارة النذر كفارة يمين)
“Kafarat nadzar adalah kafarat sumpah.
Barangkali dia meringkasnya dari fatwa nabi di dalam keadaan saudara perempuannya.
4. Berjalan bukan merupakan kewajiban ihram, maka tidak diwajibkan dam dengan meninggalkannya.
Maka bagi siapa yang bernadzar taat kemudian tidak mampu memenuhinya, maka tidak diwajibkan memenuhinya, dan dikenakan kafarat sumpah.
5. Perkataan bahwa dikenakan kafarat sumpah adalah pengkhususan di dalam selain haji berdasarkan hadits di atas dan tidak digambarkan bahwa perkataan pada setiap orang yang bernadzar kemudian tidak mampu maka diwajibkan berkurban dengan seekor unta. Allah Maha Tahu.
Kesimpulan: Bagi siapa yang bernadzar taat kemudian tidak mampu memenuhi, maka tidak diharuskan untuk memenuhinya dan dikenakan kafarat sumpah.
Tidak Sah Nadzar Seseorang Dalam Pendekatan Diri Dengan Sesuatu Yang Tidak Dimilikinya.
Dalam hadits `Imran bin Hushain -radhiyallahu `anhu- tentang kisah seorang perempuan kaum anshar yang ditawan:
وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا، فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ، فَقَالُوا: الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللهِ، بِئْسَمَا جَزَتْهَا، نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا، لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ، وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ
“Dia bernadzar kepada Allah jika Allah membebaskannya maka dia akan menyembelih ‘adhba’ (unta yang tajam) lalu ketika telah sampai di Madinah, orang-orang melihatnya dan mereka berkata: ‘adhba’ itu adalah unta Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dia berkata: sesungguhnya dia telah bernadzar jika Allah membebaskannya dari tawanan maka dia akan menyembelihnya, lalu mereka mendatangi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan menceritakan hal itu kepadanya, lalu beliau bersabda: subhanallah, alangkah jelek balasan baginya, dia bernadzar kepada Allah jika Allah membebaskannya dari tawanan maka dia akan menyembelih ‘adhba’, tidak ada pemenuhan nadzar dalam kemaksiatan, dan juga tidak ada dalam sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang hamba. [Shahih, Hadits riwayat: Muslim (1641), dan Abu Daud (3316), dan Nasaai (7/19)]
Dari `Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
(لا نذر لابن آدم فيما لا يملك . . .)
“Tidak ada nadzar bagi Bani Adam atas sesuatu yang tidak dimiliki”. [Hasan, Hadits riwayat: At-Tirmidziy (1181), Abu Daud (2190), Ibnu majah (2047)]
Apakah dikenakan kafarat? Ada dua pendapat, yang paling jelas: tidak dikenakan baginya. Allah Maha Tahu.
Siapa Yang Bernadzar Untuk Menyedekahkan Seluruh Hartanya
Bagi siapa yang bernadzar pada seluruh hartanya karena Allah untuk digunakan di jalan Allah, menurut ulama di dalam penepatan nadzar ini ada sepuluh mazhab, kebanyakannya tidak didukung dengan dalil, dan yang didukung dengan dalil ada tiga pendapat [Al Mughni (10/72), Kassyaful Qina’ (6/279)]:
Pertama: Diharuskan Menyedekahkan Seluruh Hartanya. Ini diriwayatkan dari Syafi`iy, Nakh`iy, dan Abu Hanifah (jika merupakan harta berkembang). Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya atas kewajiban menepati nadzar ta’at seperti sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
(من نذر أن يطيع الله, فليطعه)
“Bagi siapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah, maka taatilah.
Dengan kandungan yang telah ditetapkan bahwa Abu Bakar -radhiyallahu `anhu- bersedekah dengan seluruh hartanya dan diterima oleh nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” [Shahih, Hadits riwayat: Abu Daud (1678), At-Tirmidziy (3675), Darimi (1660)]
Kedua: Cukup Dengan Menyedekahkan Sepertiga Hartanya. Ini adalah mazhab Malik dan Ahmad -dalam riwayat yang terkenal-, Laits dan Zuhri. Dalil mereka:
Hadits Ka’b bin Malik -radhiyallahu `anhu- tentang kisah taubatnya tiga orang yang tertinggal (dari perang tabuk) ia berkata di akhir perkataannya:
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي صَدَقَةً إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمْسِكْ بَعْضَ مَالِكَ، فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya dari taubatku aku akan melepaskan seluruh dari hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: tahan untukmu sebagian hartamu maka itu lebih baik bagimu. [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (2758), Muslim (2769)]
Dalam suatu riwayat:
إن من توبتي أن أخرج من مالي كله لله و لرسوله صدقة, قال: لا قلت: فنصفه؟ قال: لا قلت: فثلثه؟ قال: نعم, قلت: فاني أمسك سهمي الذي بخيبر)
“Sesungguhnya dari taubatku aku akan mengeluarkan dari hartaku seluruhnya karena Allah dan Rasul-Nya sebagai sedekah, beliau menjawab: tidak, aku berkata: maka setengahnya? Beliau menjawab: tidak, lalu aku berkata lagi: lalu sepertiganya? Beliau menjawab: iya, aku berkata: maka aku tahan bagianku yang aku dapat di khaibar. [Sanadnya hasan, Hadits riwayat: Abu Daud (3331)]
Mereka berkata: zhahir hadits ini bahwa Ka’ab datang hendak melepaskan seluruh hartanya karena bernadzar dan taubat, belum meminta nasihat, maka nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkannya untuk menahan sebagian hartanya dan menjelaskan bahwa hal tersebut lebih baik.
Menyanggah Atas Pendalilan Tersebut
Bahwa lafazh yang didatangkan oleh Ka’ab bin Malik bukan merupakan pelaksanaan sedekah, hingga jatuh di dalam tempat pertentangan, adapun merupakan lafazh tentang niat maksud melakukan keterkaitannya, dan masih belum terjadi, maka nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengisyaratkan agar tidak melakukan hal itu, dan agar memegang sebagian hartanya. Hal tersebut sebelum jatuhnya sesuatu yang diazamkan, inilah makna zhahir lafazhnya atau ini merupakan kemungkinan baginya. Bagaimanapun keadaannya menjadikan dalil dalam masalah yang dipertentangkan adalah dalil yang lemah.
Mereka Menjawab: Bahwa makna zhahirnya adalah jelas tanpa meminta nasehat, karena lafazh yang dimulai dengan kalimat yang berupa khabar yang dikuatkan dengan huruf taukid, yaitu inna dengan kasrah di dalam kalimat (إن من توبتي). Dan lafazh yang demikian sifatnya tidak mungkin mengandung pemberhentian dan permintaan petunjuk atau nasehat.
Mereka berkata: hal ini dikuatkan juga dengan ketika Allah menerima taubatnya Lubabah:
يا رسول الله إِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ أَهْجُرَ دَارَ قَوْمِي و أساكنك وَأَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي كُلِّهِ صَدَقَةً؟ قَالَ: يُجْزِئُ عَنْكَ الثُّلُثُ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya dari taubatku aku akan meninggalkan rumah kaumku dan tinggal denganmu dan aku akan melepaskan dari hartaku sebagai sedekah karena Allah -`Azza wa Jalla- dan karena Rasul-Nya, lalu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: tidak, cukup darimu sepertiganya. (Ada perbedaan di dalam sanadnya: Hadits riwayat: Abu Daud (3319), Ahmad (3/452-502), Malik (1039), Thabrani (5/33), Darimi (1658), Baihaqi (10/68), Hakim (3/7333) dan di dalam sanadnya terdapat perbedaan yang kuat atas Zuhri)
Ketiga: Tidak diwajibkan apapun: Ini adalah riwayat dari Abu Hanifah (selain harta yang dizakati), juga mazhab Abu Muhammad bin Hazm (jika menjadikannya sumpah) bersandar kepada bahwa sedekah dengan seluruh harta tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan:
Firman Allah -subhanahu wa ta`ala-
(وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا)
“Dan berikanlah haknya pada keluarga-keluarga yang dekat, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (Surat al Isra’, 26)
b. Firman Allah -subhanahu wa ta`ala-
(وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ)
“Dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah engkau berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Surat al An’am, 141)
Allah mencela dan tidak menyukai orang yang bersedekah dengan seluruh harta yang dimilikinya.
c. Hadits Jabir bin ‘abdulah berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ بِمِثْلِ بَيْضَةٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَصَبْتُ هَذِهِ مِنْ مَعْدِنٍ، فَخُذْهَا فَهِيَ صَدَقَةٌ، مَا أَمْلِكُ غَيْرَهَا، فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عنه مرارا, وهو يردد كلامه هذا ثُمَّ أَخَذَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَذَفَهُ بِهَا، فَلَوْ أَصَابَتْهُ لَأَوْجَعَتْهُ، أَوْ لَعَقَرَتْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَأْتِي أَحَدُكُمْ بِمَا يَمْلِكُ، فَيَقُولُ: هَذِهِ صَدَقَةٌ، ثُمَّ يَقْعُدُ يَسْتَكِفُّ النَّاسَ، خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“Kami berada di tempat Rasulullah ketika datang kepadanya seorang lelaki membawa kepadanya telur dari emas lalu berkata: wahai Rasulullah, aku telah mendapatkan ini dari penambangan, ambillah dan ini adalah sedekah. Aku tidak memiliki selainnya. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menolaknya berkali-kali, dan dia mengulangi kalimatnya itu, kamudian nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengambilnya dan melempar orang itu dengannya, dan jika mengenainya maka pasti membuatnya sakit atau melukainya. Beliau bersabda: datang seseorang dari kalian dengan sesuatu yang dimilikinya lalu ia berkata ini adalah sedekah, kemudian ia duduk dan meminta-minta pada orang-orang. Sedekah yang paling baik adalah diberikan dari orang yang mampu. (Sanadnya layyin, Hadits riwayat: Abu Daud (1673), Darimi (1659), ‘abdu bin Hamid (1121)
Berkata: jika berdalil dengan firman Allah -subhanahu wa ta`ala-
(وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ)
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”. (Surat al Hasyr, 4)
Tidak ada dalam firman Allah bahwa mereka tidak menetapkan bagi diri mereka kebutuhan mereka. Adapun di dalam ayat bahwa mereka menyedikitkan dan mengutamakan kaum muhajirin dibanding kebutuhan mereka.
Pendapat Yang kuat:
Yang tampak jelas adalah bahwa memutlakan pendapat terakhir adalah lemah. Bersedekah dengan seluruh harta adalah disyariatkan. Disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Abu Bakar -radhiyallahu `anhu- datang dengan seluruh hartanya lalu menyerahkannya kepada nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- beliau menerima dan memujinya atas kebaikan. Begitu juga `Umar bersedekah dengan separuh hartanya –lebih dari sepertiga!- dan beliau menerimanya. Zhahir dalil adalah bahwa siapa yang bernadzar pada keseluruhan hartanya -tidak merugikan diri dan keluarganya atas hal tersebut- maka diharuskan untuk bersedekah dengan seluruh hartanya.
Jika di dalam hal itu terdapat kerugian atasnya atau keluarganya, maka pada waktu itu diharuskan baginya untuk menyedekahkan dengan yang tidak membahayakan baik itu sepertiga, kurang atau lebih dari itu. Berdasarkan firman Allah -subhanahu wa ta`ala-
(وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ)
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan, katakanlah: yang lebih dari keperluan. (Al Baqarah, 219)
Sabda nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-:
(لا ضرر و لا ضرار)
“Tidak ada bahaya dan tidak membahayakan. (Shahih dengan kumpulan sanad: dan lihat al Irwaa (896)
Dengan keadaan inilah kandungan dalil-dalil yang digunakan sebagai dalil oleh kedua mazhab terakhir, ini adalah pendapat Sahnun dari Malikiyah. Allah Maha Tahu.
Siapa Yang Bernadzar Shalat Di Baitul Maqdis, Maka Cukup Baginya Shalat Di Masjidil Haram
Dari Jabir bin `abdillah -radhiyallahu `anhu-:
أَنَّ رَجُلًا، قَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ لِلَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ، أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ رَكْعَتَيْنِ، قَالَ: «صَلِّ هَاهُنَا»، ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «صَلِّ هَاهُنَا»، ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «شَأْنُكَ إِذَنْ»
“Seorang lelaki berdiri pada hari penaklukan makkah dan berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar jika Allah membuka atasmu kota Makkah maka aku akan melaksanakan shalat di baitul maqdis dua rakaat, beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: shalatlah di sini kemudian dia mengulanginya dan beliau menjawab: shalatlah di sini kemudian dia mengulanginya lagi lalu beliau bersabda: kalau begitu terserah kamu.” (Shahih, Hadits riwayat: Abu Daud (3305), Ahmad (3/363), Darimi (2339) dan selain mereka)
Catatan: Jika bernadzar bepergian ke selain masjidil haram atau masjid nabawi atau Baitul Maqdis, maka ia tidak dibolehkan memenuhinya karena merupakan nadzar maksiat dan dikenakan kafarat sumpah seperti yang telah dijelaskan. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هذا، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
Demikian penjelasan lengkap pembagian nazar dalam islam serta konsekuensi hukum yang menyertainya. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Footnote:
[1] Sanadnya layyin, Hadits riwayat: At-Tirmidziy (1544), Nasaai (3815), Ibnu Majah (2134), Darimi (2334), Ahmad (16668, 16709, 16735) dari jalan `Abdullah bin Malik dari `Uqbah bin `Amir dan dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidillah bin Zahar yang terdapat di dalam dirinya kelemahan, dan Hadits riwayat: Thabrani. (17/324) dari Abi Tamim al Jaisyani dari ‘Uqbah dan sanadnya dha`if.
[2] Sanadnya tidak bagus, Hadits riwayat: Abu Daud (3295), Ahmad (2685), Ibnu Khuzaimah (3046-3047), dan Ibnu Hibban (4348) dari jalan Syarik dari Muhammad bin `Abdurrahman dari Kuraib dari Ibnu `Abbas, dan terdapat di sebagiannya: (kafarat dari sumpahnya).
[3] Sanadnya shahih, Hadits riwayat: Abu Daud (3296-3303), Darimi (2335), Ahmad (2027-2032-2165-2691-17125), Ibnu Khuzaimah (3045), Baihaqi (10/79), dan Thabrani (11/308) dari berbagai jalan yang saling menguatkan dari `Ikrimah dari Ibnu `Abbas, tetapi al-Hafizh menyebutkan di dalam al Fath (11/589) dari Al-Bukhariy bahwa beliau berkata: tidak shahih ada kurban di dalamnya!!.