Fatwapedia.com – Bagi ibu hamil dan menyusui ada beberapa ketentuan terkait dengan shaum. Kami ambil penjelasan ketentuan ini dari kitab Fiqhus Shiyam (Hal. 133), karya guru kami Syaikhuna Muhammad Hasan Hitu [Pimpinan STAI IMAM SYAFI’I Cianjur]. Dengan sedikit tambahan penjelasan.
Perlu digaris bawahi sebelumnya bahwa keadaan hamil dan menyusui tidak membuat perempuan boleh meninggalkan shaum. Selama tidak ada arahan dari dokter yang adil agar ibu hamil dan menyusui ini meninggalkan shaum, dan mereka juga dalam kondisi sehat serta tidak ada yang dikhawatirkan dari kesehatan mereka dan anak-anak mereka, maka mereka tetap wajib shaum.
Namun ada beberapa kondisi membuat ibu hamil dan menyusui harus membatalkan shaum mereka. Kondisi-kondisi itu antara lain :
(1). Jika ibu hamil dan menyusui ini khawatir dengan kondisi badan nya/merasa tubuhnya tidak akan sanggup untuk shaum, maka dia boleh berbuka dan setelah Ramadhan wajib QODHO. Dalam hal ini kondisi nya diqiyaskan dengan orang yang sakit, yang berat dalam menjalani shaum.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
“…Maka barangsiapa diantara kalian mengalami sakit atau dalam perjalanan, maka sebanyak hari yang ditinggalkan itu [gantinya] pada hari-hari yang lain…” (QS. Al-Baqoroh [2]: 184)
Ini juga dikuatkan dengan hadits :
إنَّ اللَّهَ تعالى وٙضٙعَ شطرَ الصَّلاةِ أو نصفَ الصَّلاةِ والصَّومَ عنِ المسافرِ وعنِ المرضعِ أوِ الحُبلى
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah meletakkan sebagian shalat atau setengah shalat serta shaum dari orang yang bepergian; dan dari perempuan menyusui atau hamil.” (HR. Abu Dawud No. 2408, dari Anas Ibn Malik radhiyallahu ‘anhu. Hadits Hasan)
Maknanya : Allah Ta’ala memberikan rukhshah terhadap orang yang bepergian untuk mengqashar shalat, dan tidak melaksanakan shaum. Dan bagi perempuan menyusui serta hamil yang merasakan keberatan dalam melaksanakan shaum, Allah Ta’ala memberinya rukhshah untuk tidak shaum.
(2). Jika yang dikhawatirkan adalah kondisi badannya serta kondisi anaknya [yang ada dalam kandungan/yang sedang dalam masa menyusui], maka ia boleh berbuka dan diwajibkan QODHO. Tidak wajib membayar fidyah. Kasus ini dianggap sama seperti kasus no. (1)
Maksud “mengkhawatirkan kondisi anaknya” ialah misalnya : khawatir keguguran, khawatir janin mengalami problem serius, khawatir ASI untuk anak tidak keluar karena ibunya shaum, dan sejenis itu. Maka si ibu berbuka karena khawatir kondisi dirinya dan anaknya ini. (Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh As-Syafi’i, 2/198)
(3). Jika ibu hamil dan menyusui itu memilih untuk tidak shaum hanya karena khawatir dengan kondisi janin/anak yang sedang ia susui, sedangkan kondisi tubuhnya prima dan tidak ada kekhawatiran atasnya sama sekali, maka para ulama berselisih pandangan :
Al-Imam As-Syafi’i [sebagaimana terdapat dalam madzhab Qadim dan Jadid nya] menentukan bahwa ibu hamil dan menyusui yang khawatir atas kondisi si anak, sedangkan dirinya sendiri tidak ia khawatirkan, maka ia wajib QODHO dan juga FIDYAH.
Pendapat ini juga merupakan pendapat madzhab hanbali dan salah satu riwayat dari Imam Mujahid.
Al-Imam Atha Ibn Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bashri, Ad-Dhohhak, An-Nakho’i, Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Auza’i, Abu Hanifah, As-Tsauri, Abu Tsaur, Abu Ubaid dan Imam Ibnul Mundzir berpendapat : Perempuan hamil dan menyusui boleh berbuka dan kemudian di bulan lain wajib QODHO. Ibu hamil dan menyusui TIDAK WAJIB FIDYAH, meski pun kondisi tubuh mereka prima [dan yang mereka khawatirkan hanya anak-anak mereka]. Kalangan ini mengqiyaskannya dengan orang yang sakit, sebagai mana kasus no. (1)
Al-Imam Malik merinci : Bagi ibu hamil boleh tidak shaum, dan yang wajib baginya hanya QODHO. Tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan ibu menyusui, wajib QODHO dan FIDYAH.
Pendapat paling rajih [kuat] menurut kami adalah pendapat yang mengatakan bahwa ibu hamil dan menyusui, jika mereka berbuka hanya karena melihat kondisi anaknya [dan bukan kondisi dirinya sendiri] wajib untuk mengqadha dan membayar fidyah. Alasannya :
Mereka pada asalnya wajib untuk melaksanakan shaum dan sanggup menunaikannya. Sebab faktor eksternal lah [bukan karena kondisi kesehatan tubuh mereka sendiri] yang membuat mereka harus membatalkan shaum.
Karena mereka sanggup untuk menunaikan qodho sebagaimana perempuan yang haidl dan nifas di bulan Ramadhan, maka diwajibkan atas mereka qodho.
Adapun wajibnya fidyah atas mereka disandarkan pada kewajiban dalam ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya [jika mereka tidak shaum] membayar fidyah, [yaitu] : memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah [2] : 184)
Ibn ‘Abbas berkata,
وَ الحُبْلٰى وَالمُرْضِع إِذَا خَافَتَا – يَعْنِي عَلَى أَوْلَادِهِمَا- أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا
“Perempuan hamil dan menyusui, jika keduanya takut -yakni terhadap kondisi anak-anak mereka- maka bagi mereka berbuka [untuk nanti qodho’] dan memberi makan [fidyah]”. (HR. Abu Dawud. Kitab Shaum, Bab tentang perkara pasti bagi Orang Tua dan Ibu Hamil. No 2317)
Penafsiran ini juga diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan tidak ada seorang sahabat pun menyelisihi mereka. (Al-Mughni, 3/150)
Kewajiban fidyah tidak berbenturan dengan kewajiban qodho, oleh sebab itu keduanya wajib atas perempuan hamil dan menyusui. (Al-Mughni, 3/150)
Syarat : “jika mereka berdua khawatir dengan kondisi anaknya” merupakan syarat yang disebutkan dalam tafsir para sahabat. Penafsiran sahabat bisa dihukumi sebagai marfu’, atau dihukumi sebagai riwayat hadits Nabi secara makna, jika mereka sepakat atas suatu penafsiran dan tidak ada perselisihan di antara mereka atas penafsiran itu. (lihat juga pembahasan ini dalam kitab I’lam Al-Muwaqqi’in, karya Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah)
Sedangkan untuk ukuran fidyahnya sendiri, maka dalam madzhab Syafi’i sebesar satu mud Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. Bila dikira-kira, ukurannya sebanyak 600 gram beras dan diberikan kepada fakir miskin. Bisa juga berupa makanan siap saji untuk makan 1 hari [dua kali makan berat]. Satu hari tidak shaum, dibayar dengan satu mud fidyah. Ini bagi mereka yang berkemampuan.
Fidyah boleh ditunaikan saat ini -di bulan Ramadhan- atau nanti setelah Ramadhan. Bebas.
Demikian penjelasan kami mengenai hal ini. Wallahu a’lam.
Muhammad Rivaldy Abdullah