Penjelasan: Tidak Beruntung Kaum Yang Menyerahkan Urusannya Pada Perempuan

Penjelasan: Tidak Beruntung Kaum Yang Menyerahkan Urusannya Pada Perempuan

Fatwapedia.com – Hadits masyhur tentang meruginya kaum yang menyerahkan urusannya pada seorang perempuan. Apa maksud dan penjelasan dari hadits ini?

Tanya:

Bagaimana derajat keshahihan Hadits, لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة (Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan), karena sebagian orang yang menyerukan emansipasi wanita membantah hadits ini dan berkata, Hadits ini bertentangan dengan Hadits: خذوا نصف دينكم عن الحميراء (Ambillah setengah agama kalian dari Humaira), yaitu ‘Aisyah?

Jawaban Al-‘Allamah Doktor Yusuf Al-Qaradhawi:

Segala puji bagi Allah. Shalawat serta Salam atas Rasulullah, dan atas keluarga, shahabat, serta pengikut beliau. Wa ba’du.

Kejahilan adalah musibah besar, jika ia berkumpul dengan hawa nafsu, maka itu bencana yang terbesar, ومن أضل ممن اتبع هواه بغير هدى من الله (Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun) (Al-Qashash [28]: 50). Karena itu, kami tidak heran -dan telah nampak kejahilan dan hawa nafsu- Hadits Shahih ditolak, sedangkan Hadits mardud dianggap shahih.

Hadits pertama adalah Hadits Shahih, yang diriwayatkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Ketika sampai informasi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة (Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan), Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmidzi, dan diterima oleh para ulama kaum muslimin di segenap penjuru dunia. Dan mereka menetapkan hukum berdasarkan Hadits ini, bahwa seorang perempuan tidak boleh memimpin laki-laki dalam kepemimpinan umum (wilayah ‘ammah).

Sedangkan Hadits satunya, yaitu خذوا نصف دينكم عن الحميراء (Ambillah setengah agama kalian dari Humaira), Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya: Saya tidak mengetahui isnad dari hadits ini, dan aku tidak melihatnya di kitab-kitab Hadits, kecuali di An-Nihayah karya Ibnul Atsir, dan ia tidak menyebutkan siapa yang mengeluarkan hadits ini. Al-Hafizh ‘Imaduddin Ibn Katsir menyatakan, bahwa Al-Mizzi dan Adz-Dzahabi ditanya tentang hadits ini, dan keduanya tidak mengetahuinya. Ini ditinjau dari sisi sanad dan rawi hadits ini.

Sedangkan jika ditinjau dari sisi matan dan topiknya, maka kita temukan bahwa hadits ini diingkari oleh akal dan ditolak oleh fakta.

(a) Bagaimana bisa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk mengambil setengah agama dari Humaira (yaitu: ‘Aisyah) saja? Lalu apa yang kita ambil dari shahabat lainnya, sedangkan jumlah mereka sangat banyak? Lalu, apa setengah bagian agama yang harus kita ambil? Dan apa setengahnya lagi yang harus kita tinggalkan?

(b) Kata “Al-Humaira” adalah bentuk tashghir dari kata “Hamra” yang merupakan ungkapan kasih sayang dan kelembutan yang wajar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan itu, khusus di depan istri-istri beliau, dan tidak layak itu beliau ungkapkan dalam konteks pengajaran dan bimbingan untuk umat secara umum, seperti yang kita bahas sekarang.

Fakta juga menunjukkan kepada kita, bahwa para ulama Islam tidak mengambil setengah agamanya hanya dari ‘Aisyah, bahkan juga tidak seperempat atau sepersepuluhnya, tidak dari aspek riwayah, juga tidak dari sisi dirayah.

Dari sisi riwayah (periwayatan), kita melihat ribuan shahabat (laki-laki dan perempuan) berkontribusi dalam menyampaikan petunjuk Rasul mereka, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan hukum, maupun taqrir. Dan ‘Aisyah adalah salah satu dari jumlah besar ini, yang meskipun riwayat beliau cukup banyak, namun tidak mencapai jumlah riwayat Abu Hurairah.

Dari sisi dirayah, fiqih, dan fatwa, akal dan fakta sejarah tidak menerima bahwa ‘Aisyah sendirian mengambil porsi setengah agama. Di mana bagian dari shahabat-shahabat utama, seperti Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan para shahabat lainnya yang segenerasi dengan mereka, kemudian shahabat generasi berikutnya (yang lebih muda), semisal Al-‘Abadilah Al-Arba’ah (empat orang shahabat ‘alim bernama ‘Abdullah), yaitu Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Amr bin ‘Ash, dan Ibn Az-Zubair, serta shahabat lainnya?

Hadits-hadits tentang fadhilah tertentu wajib diambil dengan sangat hati-hati. Al-Hafizh menetapkan bahwa yang awal-awal dibuat oleh para pemalsu hadits adalah tentang keutamaan individu-individu tertentu, terutama yang memiliki pendukung fanatik dan musuh yang melampaui batas, dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah salah satu dari individu ini.

Cukup bagi kita, ayat-ayat Al-Qur’an dalam Surah An-Nisa, serta Hadits-hadits yang Shahih dan Hasan tentang keutamaan ‘Aisyah, dan kita tidak perlu dengan hadith-hadits (palsu) yang penuh dengan sifat melampau batas dan ditolak oleh akal dan fakta. Ibnul Jauzi dalam muqaddimah kitabnya “Al-Maudhu’at” berkata: Sungguh tepat perkataan seseorang, setiap hadits yang aku lihat menyelisihi akal, bertentangan dengan pokok-pokok agama, dan tidak sesuai dengan naql, maka ketahuilah bahwa ia hadits palsu. Fatwa Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi

Diterjemahkan dari: https://www.al-qaradawi.net/node/4072

Penerjemah: Muhammad Abduh Negara

Leave a Comment