Perang Qasr Al-Kabir, Kejatuhan Portugis dan Antagonisme Politik

Perang Qasr Al-Kabir, Kejatuhan Portugis dan Antagonisme Politik

Fatwapedia.com – Perang ini juga disebut Perang Tiga Raja  (معركة الملوك الثلاثة) melibatkan tiga raja, Sebastian dari Portugis, Abdul Malik dan Ahmed dari Dinasti Saadi.

Pasca Pertempuran Lepanto pada 1571, Ustmani bergerak ke Afrika Utara untuk melawan Spanyol. Ustmani merebut Tunis 1572, dan berturut-turut Kota tua Fez dan pusat perdagangan Tlemcen di Pinggiran Sahara dari tangan Spanyol pada 1576. 

Rupanya, manuver Ustmani ini tidak disukai penguasa Saadi, Sultan Abdullah al Ghalib. Dengan dukungan Spanyol, dia menggerakkan pasukannya ke Tlemcen untuk menyerang Ustmani.

Namun Abdullah keburu meninggal dan digantikan anaknya, Muhammed.  Muhammed hendak melanjutkan ambisi ayahnya  bekerjasama dengan Spanyol, namun ditentang keras dua pamannya, Abdul Malik dan Ahmed. Sebaliknya, mereka lebih memilih bekerjasama dengan Ustmani.

Muhammed tidak menyadari jika idenya, bekerjasama dengan Spanyol dan memusuhi Ustmani ditentang rakyatnya yang agamis. Lewat dukungan rakyat, kedua pamannya dengan mudah menggulingkan Muhammed. Abdul Malik naik tahta.

Muhammed mendatangi Raja Spanyol Phillip II untuk meminta bantuan. Namun kali ini ditolak  karena Spanyol sendiri sedang kewalahan menghadapi Ustmani di Afrika Utara, belum lagi dia menjanjikan bantuan kepada Dinasti Hapsburg di Wina yang sedang dikepung Ustmani.

Muhammed kemudian meminta bantuan kepada Raja Portugis. Padahal sebelumnya, Saadi dengan dukungan tarekat Jazuliyah berhasil mengusir Portugis di Afrika Utara, merebut benteng terbesar Santa Cruz (1541) dan dalam 3 tahun menduduki semua benteng di Maroko, kecuali Tangier dan Ceuta.

Tidak pelak, Sebastian melihat permintaan ini sebagai peluang politik untuk menghancurkan bangsa Moor (sebutan untuk semua umat Islam) selamanya dan memenangkan Perang Salib.

Untuk menyukseskan misi suci itu, Portugis mengerahkan 20 ribu pasukan terlatih dan semua jenderal terbaiknya, yang didukung persenjataan canggih mereka. 

Sebaliknya, menghadapi situasi genting ini, basis inti dinasti Saadi, tarekat Jazuliyyah mengumandangkan seruan jihad dan memobilisasi seluruh rakyat Maroko untuk membela tanah airnya. Mereka pernah mengusir Portugis dan kini bangkit menjadi garda depan dalam menghadapi kembali Portugis.

Ruh jihad menggelegak dalam jiwa rakyat Maroko. Kedua pasukan bertemu di Qasr al Kabir. Dalam bentrokan pertama, Sultan Abdul Malik syahid. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat jihad mereka dan Ahmed diangkat untuk menggantikannya.

Dalam perang yang menentukan itu,  pasukan Portugis berhasil dihancurkan dan hanya menyisakan ratusan tawanan yang selamat. Sebastian sendiri turut terbunuh. Ahmed mensyaratkan ganti rugi emas dan perak Lisbon untuk setiap tawanan perang yang dibebaskan.

Pertempuran Al Qasr al Kabir menjadi peristiwa besar dalam sejarah dunia. Pertempuran ini menandai berakhirnya Perang Salib di Afrika Barat dan kawasan Maghrib tetap berada di pelukan Islam. Seperti kutukan bagi Portugis dan Spanyol karena kejahatan sebelumnya, dua tahun kemudian, imperium Portugis runtuh dan menjadi bagian dari Imperium Spanyol selama 50 tahun dan 10 tahun kemudian angkatan laut Spanyol hancur dalam Pertempuran di Selat Inggris.  Pertempuran Qar al Kabir  juga menandai akhir kmonopoli perdagangan Iberia di Asia Barat dan India.

Namun menjadi antagonisme lain, kemenangan Saadi ternyata juga menjadi bencana bagi kawasan Afrika Barat. Ahmed yang dijuluki sang Penyelamat  berkontribusi kepada kehancuran pusat-pusat Islam di Afrika Barat, disintegrasi sosial dan politik di Afrika Barat serta kebangkitan perbudakan trans Atlantik. 

Kota-kota perdagangan dan keilmuan Islam seperti Timbaktu, Gao, Jenne, Kumbi, Tekrur, dan Dendi hancur dan tidak pernah pulih kembali. 

Lebih dari 3 abad, bangsa Afrika yang pada awalnya menjadi salah satu pusat peradaban dan trend setter dunia selanjutnya menjadi pemasok utama budak di benua Amerika. 

Ironisnya, ujung dari Perang agama adalah perbudakan atas satu benua dan pada sisi kita, menjelaskan betapa batas tipis tabiat manusia atas kekuasaan.

Sumber: Ahmad Dzakirin

Leave a Comment