Oleh: Iman Matin, Lc., M.Pd
Fatwapedia.com – Dalam sebuah Hadits riwayat Imam Nasa’i, Rasulullah ﷺ bersabda:
“… إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ” (النسائي)
“Sebenar-benarnya ucapan adalah Kitab Allah Swt, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Semua perkara yang baru itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan itu akan masuk neraka.”
Penggalan Hadits inilah yang sering digaung-gaungkan oleh sebagian kelompok kaum Muslimin terutama di hari-hari seperti ini (mendekati hari maulid Nabi ﷺ).
Makna yang terkandung dalam penggalan Hadits di atas bukanlah hal sepele, tetapi merupakan sebuah perkara besar. Bahkan mungkin, tidak ada perkara yang lebih besar dari perkara ini bagi kaum Muslimin, karena perkara ini adalah perkara neraka dan surga. Karena bisa dipastikan semua orang yang beriman tujuan utama dalam hidupnya adalah bahagia dunia dan akhirat, sementara masuk neraka neraka berarti kesengsaraan yang abadi atau setidaknya kesengsaraan akhirat yang amat sangat panjang.
Nabi Muhammad Saw dipastikan adalah manusia tercerdas, paling bijak, dan paling fasih. Seorang yang cerdas, bijak, dan fasih tidak mungkin membicarkan perkara sebesar ini tanpa memberikan keterangan yang jelas. Apa yang yang dimaksud bid’ah dan kriterianya. Karena ini adalah urusan besar, yang menyangkut surga dan neraka, dan yang menentukan nasib akhir perjalanan manusia.
Kalaulah kita sedikit lebih teliti membaca hadits di atas, membaca lebih tenang dari awal hingga akhir, dan tidak hanya fokus pada potongan akhir dari Hadits itu saja, kita akan menemukan penjelasan langsung dari Rasulullah saw terkait apa sih bid’ah yang akan menyeret kita pada neraka itu?
Di awal Hadits tersebut, Rasulullah ﷺ sudah menjelaskan,
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ
“Sebenar-benarnya ucapan adalah Kitab Allah Swt, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ… “
Maksudnya adalah, “Sebenar-benarnya ucapan adalah Kitab Allah Swt maka ikutilah tanpa keraguan karena sudah pasti benar dan baik, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ maka ikutilah tanpa keraguan karena sudah pasti benar dan baik.”
Dengan kata lain, Nabi Muhammad sebelum memperingatkan kita tentang bid’ah dhalalah ini, Rasul Saw sudah menjelaskan terlebih dahulu kriterianya dan standarnya di permulaan Hadits tersebut. Yaitu, standarnya adalah a-Qur’an dan as-sunnah. Jika ada amalan baru dan itu tidak sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah maka itulah yang disebut bid’ah dhalalah yang akan menyeret pelakunya ke neraka.
Janganlah kita berfikir bahwa antara redakasi awal hadits dan redaksi akhir dari Hadits ini tidak ada hubungannya. Karena itu Mustahil bagi seorang Rasulullah Saw., seorang manusia tercerdas, paling bijak, paling fasih, yang tidak bericara apapun kecuali dari wahyu, mengatakan hal-hal yang tidak nyambung. Logika semacam ini adalah penghinaan terhadap kemuliaan Nabi Saw.
Contoh Hadits lain yang semisal dengan hadits di atas adalah,
«أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي، فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسَنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ»
Rasulullah Saw bersabda, “Aku mewasiatkan pada kalian untuk takwa pada Allah dan taat (pada Khalifah), meski ia adalah seorang hamba dari Habasya. Sesunguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup setelah kepergianku, ia akan mendapati banyak perselisihan. Maka kalian harus berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafa ar-rasyidin al-mahdiyyin, genggamlah era-erat sunnah-sunnah itu. Hindarilah perkara-perkara baru! Sesungguhnya setiap perkara baru itu bid’ah” (Riwayat Imam Abu Daud dan Ahmad).
Dalam Hadits ini pun, Rasulullah tidak ujuk-ujuk (tiba-tiba) membicarakan bid’ah, akan tetapi ada mukaddimahnya yang menerangkan kriteria bid’ah yang akan disampaikannya itu.
Untuk lebih jelasnya, yuk kita lihat contoh-contoh di bawah ini!
Rasulullah Saw memutuskan untuk meniadakan shalat tarawih (qiyamullail) berjamaah setelah melakukannya beberapa kali, kemudian di zaman Abu Bakar RA pun tarawih berjamaah tidak dilakukan. Tapi ketika menjabat Khalifah, Umar bin Khattab RA melihat ada maslahah diniyyah (Kemaslahatan Agama) dalam shalat tawawih berjamaah tersebut. Akhirnya, Umar memutuskan untuk mengadakan tarawih berjamaah, karena memandang berjamaah akan lebih teratur, indah, dan lebih mempererat persatuan. Lantas apakah kita akan mengatakan Umar seorang ahli bid’ah dhalalah. Bahkan Sahabat Umar RA secara lugas mengatakan “ni’mal bid’atu haadzih (ini adalah bid’ah yang sangat bagus)” ketika ia mengomentari praktik teraweh jama’ah yang tengah berlangsung saat itu.
Di zaman Rasulullah ﷺ, adzan shalat Jum’at hanya dilakukan sekali, tapi di zaman kekhilafahan Utsman bin ‘Affan RA, karena banyaknya jama’ah yang terlambat tidak mendengarkan khutbah Jumat sementara mendengarkan khutbah jumat hukumnya adalah wajib maka Ustman RA menjadikannya dua kali. Lantas apakah kita akan mengatakan Utsman adalah seorang ahli bid’ah?
Dalam Hadits Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi, Sahabat Anas bin Malik menceritakan bahwa ada seorang dari kalangan Anshar yang ditunjuk menjadi Imam rawatib di Masjid. Ia diprotes oleh jamaahnya karena ia setiap kali setelah membaca al-Fatihah ia membaca surat al-Iklash kemudia ia lanjutkan dengan surat lainnya, dengan kata lain ia membaca dua surat setelah al-Fatihah dimana itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Jamaahnya menyampaikan protes tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah Saw memanggilnya dan menanyakan padanya perihal kenapa ia melakukan itu. Orang anshar itu menjawab “karena aku mencintai surat al-ikhlas”. Apakah kiranya reaksi Rasulullah Saw? Apakah ia membid’ahkan, memarahi, menyalahkan orang Anshar tersebut? TIDAK. Justru Rasulullah Saw bersabda: “Cintamu pada surat al-ikhlash akan memasukkanmu ke dalam surga”.
Dari sini menjadi jelas, bahwa apa yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi tadi: Umar, Utsman RA, Sahabat Anshar tadi, dan para pengikutnya, mereka tidak memahami makna bid’ah secara harfiahnya (saklek) saja, tapi mereka mereka memahami substansinya. Mereka melihat dalam ‘hal-hal baru’ yang mereka lakukan itu mengandung maslahah diniyyah (kemaslahatan Agama) yang tidak bertentangan dengar prinsip ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Maka fakta-fakta diatas membantah pendapat yang mengatakan bahwa semua amalan yang tidak dilakukan Rasulullah adalah bid’ah dan sesat.
Rasulullah ﷺ sendiri pun mengajarkan pada kita konsep berinovasi dalam ranah ini. Dahulu di awal-awal masa dakwah Rasulullah ﷺ, Rasulullah tidak pernah berkhutbah menggunakan (di atas) mimbar seperti yang ada di masjid-masjid kita sekarang ini. Kemudian, di akhir-akhir masa hidupnya, ketika Rasulullah Saw sudah tampak sepuh, ketika Rasulullah berpidato, ada seorang ibu-ibu berkata kepada Rasulullah ﷺ bahwa anaknya adalah seorang tukang kayu, ibu itu menawarkan untuk dibuatkan semacam tempat khutbah (mimbar) untuk Rasulullah ﷺ, kemudian Rasulullah ﷺ menyetujui itu, dan baru mulai saat itulah ada mimbar di Masjid Nabi Saw. Jadi mimbar ini, idenya bukan dari Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan bahwa “tidak semua hal benar dan baik itu telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ”, akan tetapi statemen yang lebih tepat adalah adalah “semua yang dilakukan Rasulullah ﷺ adalah pasti benar dan baik.”
Begitu juga dengan peringatan Maulid, tidak boleh hanya karena hal ini tidak pernah ada di zaman Nabi atau para Sahabat lantas langsung dihukumi haram atau dikategorikan bid’ah yang sesat. Kita harus lihat dulu kontennya, karena konten itulah yang menentukan apa hukumnya. Jika kontennya adalah kegiatan dan acara yang baik, yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah maka itu tidak termasuk bid’ah. Misalkan isi acaranya adalah pembacaan shalawat, ceramah tentang sirah Nabi dan kemuliaannya, mengumpulkan infak shadaqah, maka mana yang bid’ah? Justru kesemuanya itu dianjurkan oleh Agama.
Maka jika ada yang bertanya, apa hukum mengadakan peringatan maulid, maka tidak bisa dijawab langsung halal atau haram. Bagaimana dulu cara memperingatinya? Karena memang, juga tidak bisa dipungkiri ada praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam yang dilakukan oleh sebagian orang sementara mereka mengklaim bahwa itu adalah perayaan maulid.
Maulid Nabi yang benar adalah yang acaranya mengingatkan kita pada perjuangan Nabi yang mulia, akhlaknya, ajaran-ajarannya yang harus kita ikuti, dan insannya yang harus kita cintai. Itu semua untuk kembali menyegarkan semangat Jihad Dakwah Islam, dan semangat menerapkan Islam secara kaffah di dalam masyarakat.
Itulah memang tujuan dari pada Maulid sejak pertama kalinya diperingati secara besar-besaran oleh Raja Mudzaffar atau Shalahuddin al-Ayyubi.
Allah pun berfirman dalam surat Hud, bahwa cerita tentang perjuangan para Nabi itu penting untuk menguatkan hati dan jiwa para pengikutnya.
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (هود: 120)
“Dan semua khabar berita tentang para Nabi dan Rasul yang kami ceritakan padamu (Muhammad) adalah akan menguatkan hatimu… “ (Hud: 120)
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan Mualid ini bukanlah ibadah mahdlah, dan bukan sebuah kewajiban, tapi Maulid ini adalah adat atau tradisi. Dan Tradisi dalam Islam hukumnya adalah netral atau relatif tergantung kandungan nilai dan kegiatan dalam tradisi tersebut. Jika tradisi tersebut berisikan perbuatan-perbuatan yang haram (dosa) maka tradisi tersebut hukumnya haram, jika isinya adalah hal-hal yang baik, dianjurkan dalam Agama maka tradisi tersebut akan bernilai ibadah alias mendapat pahala, dan jika isi kandungannya hal-hal yang mubah maka hukumnya menjadi mubah. Rasulullah Saw sendiri secara terang-terangan membuka peluang adanya tradisi atau kebiasaan baru dalam Islam, dimana Rasulullah bersabda:
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم
Artinya: “Siapa saja yang membuat kebiaasaan baik dalam Islam lalu kebiasaan baik tersebut setelahnya dikerjakan oleh orang lain maka ia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang melakukan kebaikan tersebut tanpa harus mengurangi pahala mereka. Dan siapa saja yang membuat kebiaasaan buruk dalam Islam lalu kebiasaan tersebut dikerjakan setelahnya oleh orang lain, maka ia akan mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang melakukan keburukan tersebut tanpa harus mengurangi dosa mereka sama sekali.”
Dalam Hadits di atas dikatakan “Siapa saja yang membuat kebiaasaan baik”, berarti tidak harus Rasulullah Saw yang menjadi pionir dalam setiap macam kebaikan, dengan kata lain, tidak harus Rasulullah Saw yang mebuat kebiasaan tersebut secara spesifik, akan tetapi Rasulullah Saw yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan tersebut secara global kepada kita, lalu turunannya kita bisa berinovasi dan berlomba-lomba membuat kebiasaan yang baik, dan kebiasaan yang baik adalah kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Waallahu a’lam.
*Catatan penulis: Bacalah apa kata para Ulama ahlus sunnah tentang Maulid! Sebarkanlah! Jika tulisan ini dianggap bermanfaat.