Fikroh.com – Munculnya komunisme, kenyataannya hanya menimbulkan kesengsaraan rakyat, di manapun di dunia. Revolusi yang mereka bawa selalu membawa petaka berupa pembunuhan massal, teror dan intimidasi, serta penentangan terhadap ajaran agama. Sejarah komunisme di Indonesia telah membuktikannya.
Sejarah rakyat Cina sebenarnya penuh oleh perlawanan terhadap komunisme, yang dihapuskan dari buku sejarah ketika komunis berkuasa. Mereka melegenda di kalangan penduduk Altai (Turkistan – Cina), hingga ke seluruh daratan Cina, bahkan juga di Asia Tengah bekas Uni Sovyet (Turkistan – Uni Sovyet), tetapi tentu saja tidak bagi kaum komunis. Perjuangan para pahlawan itu akan tetap dikenang, tidak hanya oleh masyarakat Cina, melainkan juga seluruh dunia Islam.
Usman Khan Batur
Usman dilahirkan pada tahun 1899 di Kuk To Gai, distrik Altai. Distrik Altai merupakan sebuah plato yang dikenal juga sebagai Dzungaria, dikelilingi oleh pegunungan Altai dan Tien (Tien Shan). Pegunungan Tien terkenal dalam tradisi lisan suku Han sebagai pusat aliran ilmu silat kuno berusia ribuan tahun yang kini telah hilang, Perguruan Tien Shan. Dataran ini dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku dari puak Turki (Tartar), di samping juga oleh orang Han.
Ayah Usman, Islam Bai, seorang Kazakh (Cossack), seorang petani sekaligus penggembala hewan ternak. Sejak usia sepuluh tahun, Usman diasuh oleh sahabat ayahnya Boko “Batur” (Boko sang pendekar – julukan orang Tartar bagi pejuang). Ia seorang veteran peperangan antara orang Kazakh melawan orang Manchu yang saat itu menjajah Cina, hingga akhirnya orang Manchu tidak berhasil menguasai wilayah tersebut. Boko mengasuh Usman selama 18 bulan. Ia mengajarnya berbagai ketrampilan bergerilya, antara lain menembak dengan senapan biasa, lalu senapan mesin, menembak sasaran bergerak, serta menembak sasaran bergerak dari atas kuda yang sedang berlari kencang. Juga keahlian khas orang Tartar dan Mongol yang juga dimiliki oleh suku Indian di Amerika; yakni berkuda tanpa pelana, meloncat turun – naik dari kuda yang sedang berlari, serta bagaimana bertahan menunggang kuda selama berjam-jam dan hanya dapat beristirahat di atas kuda tersebut. Keahlian berkuda orang Tartar memang diakui oleh berbagai bangsa di dunia. Keahlian ini pulalah yang menyebabkan nenek moyang mereka, Attila, berkuda dari Turkistan hingga sampai di Hungaria dan akhirnya berkuasa di sana (tahun 437 M).
Boko berpisah selamanya dengan Usman ketika ia gugur dalam pertempuran melawan pasukan komunis di Tibet. Usmanlah pada akhirnya yang melanjutkan perjuangan Boko. Ketika pasukan komunis Cina telah memasuki wilayah Altai, Usman pergi ke pegunungan dan menyusun kekuatan. Ia bersama kelompoknya melakukan serangan terhadap pos-pos pasukan komunis. Dalam setiap penyerangan yang dipimpinnya, Usman digambarkan selalu berkuda mendahului pasukannya. Ia membawa senapan mesin di pinggangnya, beserta sebilah pedang “schimitar” (pedang berlengkung khas bangsa Tartar). Predikat pendekar (Batur) pun disandangnya tanpa dikehendaki, oleh karena keberaniannya melawan kekejaman pasukan komunis.
Berkat usahanya, daerah Altai berhasil dibersihkan dari kaum komunis. Sehingga pada tanggal 22 Juni 1943, masyarakat Altai sepakat mengangkat Usman sebagai Khan-nya (Warlords – bangsawan atau pimpinan klan). Usman menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara di Bul Ghun, suatu tempat yang menjadi pertemuan dari tiga jalan masuk menuju Plato Altai – Dzungaria, yakni jalan dari Uni Sovyet, Mongolia dan ibukota Dzungaria, Urumchi. Rakyat mengelu-elukan Usman sebagai Khan mereka.
Upacara tersebut dihadiri oleh utusan dari Uni Sovyet dan Mongolia. Dari Mongolia adalah Marsekal Choi Bal San. Dari Uni Sovyet adalah dua orang Kazakh, sang kepala suku Qasim dan pimpinannya, Sultan Kazakhstan. Namun kedatangan mereka ternyata mengandung maksud terselubung, mereka ingin menunjukkan bahwa sebenarnya komunis di luar Cina tidak bermusuhan dengan mereka, bahkan mendukung perjuangan mereka. Niat buruk itu mulai nampak ketika Choi mengatakan bahwa Usman jangan berhenti memerangi komunis Cina, bahkan agar ia memproklamirkan berdirinya Republik Altai yang terpisah dengan Cina, sebagaimana Republik Komunis Mongolia Luar (Outer – Mongolia). Ia juga mengatakan bahwa Uni Sovyet mungkin menerima wilayah tersebut sebagai negara bagian Altai – Siberia. Choi berusaha meyakinkan Usman agar mau bergabung menjadi bagian dari Sovyet. Jika Altai merdeka dari Cina maka kekayaan alam Altai yang melimpah akan dinikmati orang Altai sendiri. Uni Sovyet, menurut Choi, tidak akan mencampuri negerinya, kecuali hanya sebagai pusat negara-negara bagian. Ia juga menjanjikan akan mendukung senjata dan bantuan lain yang dibutuhkan jika Usman bersedia menerima tawarannya.
Usman masih memikirkan lebih jauh tentang tawaran Choi, namun ia mencurigai cara Choi berbicara yang terkesan terlalu manis. Ia juga tahu bahwa Republik Mongolia lebih kuat dari wilayah Altai, secara ekonomi dan militer. Karena itulah Uni Sovyet tidak menjadikannya negara bagian. Namun jika Altai sampai menjadi negara bagiannya, bukankah sama saja dengan nasib di bawah komunis Cina? Choi tentu mendapat keuntungan tersembunyi apa yang dilakukannya ini dari pemerintah Sovyet. Kedua utusan dari Uni Sovyet yang berbangsa Kazakh itu tidak banyak berbicara dalam pertemuan tersebut, kecuali anggukan kepala terhadap apa yang dikemukakan oleh Choi.
Malam harinya Qasim mendatangi Usman secara diam-diam. Boleh jadi darah Kazakhnya menentang usaha memasukkan Usman, pahlawan suku Kazakh – Cina, ke dalam perangkap. Ia menceritakan kepada Usman bahwa ia adalah salah seorang cucu pahlawan Kazakhastan – Uni Sovyet, Ablai Khan, yang bertempur melawan Rusia pada awal abad ke-19. Qasim menceritakan kepada Usman tentang bagaimana Uni Sovyet mengingkari janji terhadap 3,5 juta rakyat Kazakh di negerinya, bahwa mereka akan menghormati agama Islam dan tidak akan menindas rakyat. Kenyataannya setelah orang Kazakh meletakkan senjata, tentara Rusia melakukan pembasmian terhadap para pejuang, pembunuhan dan pembuangan, serta perusakan terhadap masjid-masjid. Usman akhirnya berketetapan hati.
Ketika keesokan harinya Choi mendesaknya untuk memberi jawaban, Usman bersuara keras menolak. Choi beserta dua orang Kazak tersebut meninggalkan Altai. Segera setelah sampai, polisi rahasia Uni Sovyet (NKVD) menggaruk kedua orang Kazakh tersebut. Qasim yang telah berusia lanjut dihukum mati, sedangkan Sultan Kazakhstan yang masih muda dan menjadi lambang rakyat, dibebaskan kemudian.
Pada bulan November 1944, pecah pemberontakan di daerah sebelah selatan Altai, yakni di kota Kul Ja. Pemimpinnya seorang dari suku Uighur, Ali Khan Ture. Ali beserta dua puluh lima ribu tentaranya memproklamasikan kemerdekaan Kul Ja dan wilayah Tarbagatai dari Uni Sovyet. Dalam waktu beberapa bulan saja, seluruh Sinkiang berikut pegunungan Tien utara dikuasai. Ali memutuskan untuk bergabung dengan rakyat Altai di bawah Usman, ia memintanya untuk menjadi pemimpin pemberontakan terhadap Rusia yang mengancam di utara.
Pemerintah Cina komunis pun menyadari bahaya dari bergabungnya Ali ke dalam pasukan Usman. Pemerintah pun mengundang rakyat Turkistan Cina atau yang mereka sebut sebagai Sinkiang – Uighur (termasuk Altai) untuk mengadakan perundingan. Usman pun menunjukkan itikad baik dengan mengirimkan utusan, beserta utusan dari suku-suku Tartar muslim yang lain di wilayah tersebut. Pada tanggal 4 Juni 1946 tercapai persetujuan di mana rakyat Sinkiang diberikan otonomi yang luas. Kepala propinsi (region) tetap seorang Han (Komunis), namun staf-staf pemerintahannya dijabat oleh wakil dari suku-suku setempat bersama sejumlah kecil orang Han. Juga diadakan Dewan Daerah di mana masing-masing suku mengirimkan wakil sebagai perwujudan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tetapi hanya dua setengah bulan sejak permufakatan itu terjadi, Ali Khan Ture diculik NKVD dan selanjutnya nasibnya tidak diketahui. Ia dituduh berkhianat terhadap pemerintah Sovyet. Dua minggu kemudian tentara sekutu Uni Sovyet dan Mongolia Luar menyerbu Altai. Pemerintah komunis Cina sama sekali tidak bereaksi walaupun sebagian negeri mereka tengah dianeksasi, nampaknya mereka telah bersepakat terlebih dahulu dalam bentuk konspirasi, tentang agresi militer ini, dengan pemerintah Sovyet dan Mongolia yang sama-sama berhaluan komunis dan hanya berbeda kebijakan politik. Pada kenyataannya Usman beserta rakyat Altai mengangkat senjata, namun kali ini dalam kapasitas sebagai rakyat Cina menentang agresi militer asing (Sovyet – Mongol). Nampaklah bahwa sebenarnya orang Tartar yang muslim tidak ada keinginan untuk memisahkan diri dengan Cina, karena mereka dahulu telah hidup bersama-sama dengan orang Han, berjuang sependeritaan melawan orang Manchu, sebagai rakyat Cina. Bukti bahwa telah terjadi konspirasi antara pemerintah Cina dengan Uni Sovyet ini nampak nyata beberapa bulan kemudian, ketika terjadi perundingan yang berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan antara Sovyet – Cina di bawah Stalin dan Mao.
Menghadapi gempuran darat oleh tentara Mongolia dan udara oleh AU Sovyet, rakyat Turkistan yang hanya berkuda dan bersenjata api ringan dan senjata tradisional itupun mulai terdesak. Usman pun menyingkir bersama tentaranya ke pegunungan Baitik Bogdo. Pada tanggal 7 Desember 1947, pasukan Sovyet – Mongol menyergap Usman di dekat Ku Cheng. Ia berada di sebuah rumah di kota itu ketika sekitar seratus orang Rusia mengepungnya. Usman menembak dua orang Rusia tepat di kepalanya, sebelum mereka bergerak masuk. Di rumah tersebut Usman hanya bersama istri, anak perempuan dan seorang pelayannya. Istri Usman tertembak dan gugur seketika. Sedangkan pelayannya tertembak dan terus mengadakan perlawanan sehingga Usman dan putrinya berhasil meloloskan diri. Sementara meloloskan diri Usman berhasil membunuh sekitar selusin tentara musuh. Beberapa hari kemudian ia kembali ke rumah itu. Rumah tersebut telah menjadi reruntuhan bekas dibakar dan jenazah pelayannya yang setia tergolek di antara puing-puing.
Pasukan komunis Cina yang tidak tahu diri, pemakan bangkai hasil berburu pasukan Sovyet – Mongol, menyerbu Usman beberapa waktu kemudian. Pemimpinnya bernama Jendral Tao. Usman bertahan selama sembilan bulan di bawah kepungan tentara Cina di Bar Kul. Bahkan mereka tidak malu-malu lagi untuk meminta bantuan Uni Sovyet secara terbuka, yang kemudian mengirimkan pasukan kavaleri tank dan artileri. Di bawah tekanan berat tersebut Usman berhasil menembus kepungan. Ia membawa serta dua orang sahabatnya, Janim Khan seorang Uighur, serta Yol Bars yang merupakan orang Mongol. Mereka bertiga bersama-sama keluarga, melintasi pegunungan menuju ke Khan Ambaltau pada awal September 1950. Sebagian pengikutnya menuju ke gurun Go Bi di Mongolia.
Beberapa pengikut Usman mengusulkan agar mereka meninggalkan Turkistan dan bergabung dengan orang-orang nasionalis di Formosa (Taiwan). Tetapi Usman memilih tetap tinggal di sana, karena mengira orang-orang komunis tidak akan mengejar mereka, yang telah berada jauh di pegunungan. Juga agar mereka bisa memulihkan kekuatan untuk kemudian merebut kembali wilayah Turkistan dari pasukan Cina komunis yang tega memukul bangsanya sendiri dari belakang.
Namun kenyataannya tentara komunis Cina tetap menginginkan kematian Usman. Mereka menyerangnya dari segala penjuru secara tiba-tiba pada tanggal 1 Februari 1951. Usman disertai oleh seorang putrinya yang baru saja berusia 17 tahun, yang tidak sempat merasakan manisnya masa remaja akibat teror kaum komunis terhadap rakyat Tartar, ia bernama Az-Apay. Ayah dan anak itupun bertempur bersama-sama untuk terakhir kalinya. Karena luka-lukanya mereka pun dapat ditangkap. Sebagaimana pahlawan Umar Mochtar dari Libya, Usman dihukum mati di hadapan rakyatnya. Putrinya kemudian dikirim ke kamp kerja paksa, yang oleh kaum komunis disebut “sekolah kebangsaan”.
Ma Ying
Ma Ying adalah seorang muslim dari suku Han, atau yang lebih dikenal sebagai orang “Hui”, yakni sebutan orang Han bagi muslim, dari suku manapun di Cina. Ia berdinas dalam angkatan bersenjata Cina nasionalis dan mendapat reputasi yang cukup baik selama peperangan Cina – Jepang. Ia seorang muslim yang tidak dapat mentolerir kekuasaan anti agama kaum komunis. Ia mengorganisir gerakan massa rakyat dengan kekuatan sebesar dua puluh ribu orang dan menjadikan Shui Hsia, empat puluh lima mil dari Hsi Ning, sebagai markas besarnya. Sebagai garnisun pasukannya adalah Ch’iao T’ou, dua puluh tiga mil di barat Hsi Ning.
Ia melancarkan serangan-serangan kepada pasukan komunis di Hsi Ning. Pertempuran berlangsung tiga hari tiga malam dan akhirnya berhasil mengusir pasukan komunis dan merebut T’ung Chi Ch’iao dan Hsiao Ch’iao di bagian barat kota kuno berusia ribuan tahun itu. Pasukan komunis terpukul, namun mereka mendapat bantuan pasukan, sementara pasukan Ma kehabisan amunisi. Ia terpaksa mundur ke markasnya di Shui Hsia. Pasukan komunis yang telah mendapat bantuan pun mengejar mereka. Dengan berpura-pura telah dikalahkan, pasukan Ma mundur dan membawa pasukan komunis ke sebuah tempat yang akan dfigunakan sebagai perangkap di dekat markas mereka. Secara tiba-tiba pasukan Ma mengepung pasukan komunis dan membinasakan ribuan tentara komunis.
Jumlah korban yang tidak sedikit itu memaksa pemerintah komunis untuk menawarkan perundingan damai (taktik ini selalu muncul berulang kali di tiap masa pergerakan menentang penjajahan). Mereka membentuk sebuah delegasi yang dikirim ke Shui Hsia, diketuai oleh Wakil Gubernur Propinsi Ching Hai dan Wakil magistrat Huang Chung. Mereka telah diberitahu sebelum keberangkatan mereka bahwa mereka harus menerima semua persyaratan yang diajukan Ma, kecuali penentangan terhadap ajaran komunis. Namun Ma tetap berkeras menentang paham komunisme berikut kebijakan politik mereka, sehingga Ma kembali bertempur.
Ketika tentara komunis memulai serangannya, Ma yang telah mengatur formasi pasukannya secara militer, melancarkan sergapan. Sejumlah pasukannya memancing komunis ke Shui Hsia, yang lain kembali menyerang pusat kota Hsi Ning dan kelompok ketiga yang merupakan pasukan kavaleri berkuda, menyerang lapangan parade di bagian timur kota Hsi Ning. Pasukan kelompok ketiga ini berjumlah besar dan menyergap musuh dari arah pegunungan Nan (Nan Shan). Pasukan komunis yang terpancing untuk bergerak menuju ke Sui Hsia terkepung dan akhirnya mundur kembali ke Hsi Ning untuk menyelamatkan kota, sebanyak empat ribu orang komunis terbunuh. Sementara itu mereka baru menyadari bahwa kuda dan keledai mereka di Ta Chiao Ch’ng telah dibawa lari oleh pasukan kavaleri Ma. Sehingga kerugian di pihak komunis tidak hanya korban jiwa melainkan juga kendaraan utama mereka di pegunungan, kuda dan keledai.
Pasukan komunis kemudian menempuh cara lain, mereka hendak menyergap pasukan Ma ketika mereka telah berhadap-hadapan, atau dalam jarak yang cukup dekat sehingga pasukan kavaleri Ma tidak dapat berbuat banyak. Selama ini mereka, pasukan komunis, selalu kocar-kacir formasinya oleh pasukan kavaleri Ma. Jadi mereka menyamar dengan mengenakan seragam tentara nasionalis, lalu berbaris menuju ke Shui Hsia. Namun intelijen Ma telah melaporkan siasat tersebut, sehingga Ma telah mempersiapkan pasukan sebelum kedatangan mereka. Ia mengirimkan pasukan untuk menyambut “bala bantuan” tersebut dan beramah-ramah untuk menghindari kesan curiga. Setibanya di dekat basis di Shui Hsia, kelompok penyergap pasukan Ma menyapu bersih mereka. Pada saat yang bersamaan, dua ribu orang di bawah pimpinan Ma Lu, yang berjalan dengan pincang akibat luka yang dideritanya dalam pertempuran terdahulu, menyerang dan menduduki ibukota kabupaten Huang Chung. Pasukannya bertahan selama tujuh hari di dalam kota, kemudian kembali ke Shui Hsia. Sejak saat itu, gerakan Ma merupakan kekuatan perlawanan anti komunis terkuat di bagian barat laut Cina. Wilayah kekuasaan mereka meluas hingga mencapai perbukitan Hsun Hua, Hua Hung, Ta T’ung, Huang Chung dan Kwei Te. Pasukannya berhasil merampas amunisi pasukan komunis dan mempergunakannya terhadap untuk memukul balik mereka.
Namun takdir Allah Swt. menentukan lain. Di antara indahnya bunga yang sedang mekar pada musim semi di tahun 1950, Ma dan pasukannya disergap oleh pasukan komunis dengan kekuatan seratus lima puluh ribu orang, di kabupaten Huang Chung. Ma Ying gugur dalam pertempuran ini beserta rekan-rekannya. Perlawanan gerakan rakyat anti komunis itu tidak berhenti dengan wafatnya pimpinan mereka, perjuangan harus diteruskan. Maka dipilihlah Ma Lu sebagai rekan yang paling dituakan setelah Ma Ying, untuk meneruskan memimpin gerakan mereka. Ma Lu menolak karena dirinya cacat dan ia tidak mampu berlari cepat sebagaimana rekan-rekannya. Namun keseluruhan anggota kelompok itu telah mempercayakan amanah itu terhadapnya. Walau Ma Lu cacat, ia berpikiran cemerlang dan masih muda. Ia pun menguasai bela diri, dengan segala keterbatasan fisiknya. Keahliannya berkuda pun tidak diragukan.
Dengan demikian gerakan rakyat bersenjata menentang komunisme itupun hidup terus. Mereka tetap aktif sampai musim semi tiga tahun berikutnya. Hingga akhirnya mereka terpaksa bergerak di bawah tanah.
Ma Hu Shan
Ma Hu Shan adalah seorang muslim dari suku Han sebagaimana Ma Ying. Ia berasal dari Lien Hsia, propinsi Kan Su, Cina Utara. Ia dikenal karena menjadi veteran perang melawan Rusia di Sinkiang ketika ia masih menjadi wakil komandan Divisi 36 tentara nasionalis.
Setelah perlawanan orang-orang Tartar di Cina Barat (Turkistan) dipatahkan oleh komunis, dibentuklah mobilisasi umum untuk mencegah potensi pemuda muslim memberontak kembali. Wadah itu bernama “Pusat Latihan Pemuda Suku Bangsa Minoritas”, berpusat di kota Hsi Ning, Lan Chou dan Lien Hsia. Di sana mereka diindoktrinasi tentang ajaran Marxisme-Leninisme. Ma yang menyadari bahaya dari program itu bagi masa depan Islam di negerinya, menyerukan kepada seluruh umat Islam dari berbagai suku di Cina untuk menentang program tersebut dan kembali berjuang menentang komunis sebagaimana pendahulu mereka yang telah syahid.
Seruan Ma tidak sia-sia, di kota Lien T’an, sekitar lima puluh ribu muslimin mengorganisir gerakan massa menentang program tersebut sekaligus juga komunisme. Dengan didukung oleh seorang tua yang cukup berpengaruh bernama Min, yang memiliki massa rakyat setempat sejumlah lima ratus ribu orang. Mereka memusatkan gerakan di pegunungan Tao Chou. Dalam kurun waktu tiga tahun saja, komunis kehilangan hampir tujuh puluh ribu orang tentaranya. Dalam setiap operasi, gerilyawan muslim mempergunakan taktik menarik atau memancing musuh ke lembah dan menyergapnya. Dengan cara ini mereka berhasil menghancurkan kekuatan utama komunis. Akhirnya pihak pemerintah Cina komunis menempuh cara lain. Mereka hendak melakukan politik belah bambu yang pernah dipergunakan para kolonialis Eropa di Asia.
Mula-mula komunis mencoba mendekati keluarga Ma dan para pemimpin pergerakan tersebut, menawarkan bantuan ekonomi. Beberapa dari mereka yang lemah pun terbujuk untuk mencoba meyakinkan Min bahwa sia-sia saja melanjutkan perjuangan karena pemerintah telah berubah kebijakannya. Mereka tidak lagi menindas rakyat. Min pun akan dihadiahi sebidang tanah dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan daerah, antara lain jabatan Ketua Distrik Swa Tantra (otonom) dari daerah yang membawahi Ku Yuan, Hai Yuan dan Ching Yuan di Propinsi Kan Su. Sekaligus ia akan termasuk sebagai magistrat kabupaten Hai Yuan dan anggota Komite Konferensi Majelis Politik Rakyat. Akan tetapi ini semua ditolak Min.
Tetapi pemerintah komunis tidak berputus asa. Mereka justru mencoba mengintensifkan bujukan mereka dengan tawaran yang lebih tinggi dan bernilai. Ia diberi bermacam-macam hadiah, termasuk sebuah mobil yang pada saat itu menunjukkan betapa tinggi status sosial seseorang. Hanya pejabat teras partai saja yang memiliki mobil pribadi. Akhirnya tekad orang tua itupun goyah. Ia merasa terlalu tua dan hanya ingin hidup tentram menikmati akhir usia, tanpa harus dibebani lagi oleh permasalahan rakyat yang menderita di bawah komunisme. Ia akhirnya menerima semua tawaran pemerintah berikut hadiah-hadiahnya, serta berjanji akan bekerja sama. Kemudian ia pergi ke ibukota Peking, di mana ia disambut langsung oleh Perdana Menteri Chou En Lai. Ia kemudian diangkat sebagai magistrat Kabupaten Hai Yuan merangkap Ketua Distrik Swa Tantra Ku Yuan, hai Yuan dan Chin Yuan Propinsi Kan Su.
Walaupun Min menyerah, para pengikutnya tetap memilih tidak. Apabila pemimpin lalai ia tidak lagi dipatuhi, ini merupakan ajaran Islam. Sehingga ratusan ribu pengikutnya di wilayah Kan Su memilih untuk tetap berjuang bersama Ma Hu Shan dan kelompoknya. Hal ini kembali mengkhawatirkan pemerintah, sehingga mereka mencoba mendekati Ma sebagaimana mereka lakukan dulunya terhadap Min. Ma ditawari kedudukan jendral dalam angkatan bersenjata komunis dan berbagai bantuan lain. Namun para utusan pemerintah tidak berani menjumpai Ma secara langsung, karena watak Ma yang keras dan tegas sebagaimana Umar Bin Khottob Ra. Mereka hanya berani mengirimkan surat berisi penawaran-penawaran tersebut. Ma tentu saja menolak semuanya.
Pada tahun 1954, pemerintah kembali melancarkan “ofensif perdamaian” secara besar-besaran. Mereka mengangkat lima orang pejabat tinggi pemerintah dari kalangan muslim serta beberapa tokoh muslim di daerah untuk mengadakan perundingan dengan Ma. Anggota-anggota delegasi perdamaian tersebut, yang kesemuanya muslim, dulunya adalah tokoh masyarakat yang amat dihormati oleh Ma Hu Shan. Namun sebenarnya alasan utama mereka adalah karena keluarga telah ditangkapi dan dijadikan sandera. Mereka harus bersumpah dengan Al-Qur’an di hadapan Ma bahwa pemerintah akan benar-benar menepati janji terhadap Ma dan seluruh umat Islam, sehingga Ma mau menyerah.
Ma Hu Shan terharu sewaktu menerima mereka, yang begitu dihormatinya. Ketika tiga dari lima orang utusan tersebut benar-benar bersumpah dengan Al-Qur’an untuk meyakinkan Ma, salah seorang yang bernama Mullah Chang Pa, memperingatkan Ma bahwa mereka sebenarnya dipaksa untuk melakukan ini semua. Ia tidak bersedia ikut bersumpah. Ia juga berkata bahwa jika Ma mau menyerah ia tidak ikut bertanggung jawab atas nasib Ma selanjutnya. Mullah Chang Pa lebih takut akan azab Allah Swt. daripada siksaan kejam komunis sehingga ia berani menyatakan kebenaran. Sedangkan seorang lain yang cukup berani adalah Ma Hu Chih, walau ia hanya sebatas diam dan tidak mau ikut bersumpah tanpa memberikan pernyataan apa pun.
Ma Hu Shan percaya bahwa seorang muslim tidak akan dengan enteng mengangkat sumpah dengan Al-Qur’an. Ia sebenarnya ragu-ragu setelah mendengar pernyataan Mullah Chang Pa. Namun akhirnya ia memilih untuk tetap menyerah, bukan karena sumpah para utusan tersebut, melainkan karena memikirkan keluarga para utusan itu yang terancam. Ia bersedia menerima tawaran mereka untuk turun gunung dan masuk dalam angkatan bersenjata. Ma Hu Shan akhirnya meninggalkan pasukannya di markas mereka. Ia hanya seorang diri, disertai oleh kelima utusan tersebut, menuju ke ibukota negara Peking. Namun sebelum sampai di ibukota, yakni di kota Lan Chou, Ma ditangkap dan dihukum mati saat itu juga. Mullah Chang Pa yang pemberani menghilang, demikian juga Ma Hu Chih, sedangkan ketiga utusan lain kembali ke keluarganya dan memperoleh kedudukan setelah namanya direhabilitasi pemerintah dari daftar orang-orang yang harus disingkirkan karena dianggap “kontra revolusi”. Ini adalah contoh kecil bagaimana komunis menghormati janji, tak lain hanya menjadi penjilat ludah sendiri.
Ma Chung I (Ma Zhong Ying)
Ma Chung I, juga seorang Han, berdinas sebagai tentara dalam angkatan bersenjata nasionalis sebagaimana Ma Ying dan Ma Hu Shan. Ketika perang Cina – Jepang usai, ia tinggal di kampung halamannya di bagian timur kota Hsi Ning. Istrinya telah lama meninggal dan meninggalkan seorang anak perempuan yang dikenal ayu dan cerdas, serta mahir silat. Ma Chung I memulai bergerilya di daerah Hua Lung, Hsun Hua dan Min Ho. Ia sering menyerang depot-depot perbekalan pasukan komunis. Makin lama kekuatannya bertambah. Walau ia telah berumur lebih dari enam puluh tahun, ia masih tetap kuat dan berani. Ia berwatak peramah dan amat dihormati karena kealimannya.
Ma Chung I gugur dalam sebuah pertempuran di Hu Chu, dengan demikian terkabullah keinginannya untuk gugur sebagai syuhada’ sebagaimana Hamzah paman Rasulullah Muhammad Saw. Dalam pertempuran besar itu putrinya juga gugur. Namun nama kedua ayah dan anak itu akan tetap dikenang oleh rakyat sebagaimana Usman dan putrinya Az-Apay. Perjuangan mereka, juga para syuhada’ yang lain, menunjukkan bahwa sampai kapanpun umat Islam tidak akan membiarkan kelaliman dan penindasan terhadap sesama manusia terjadi di muka bumi. Berbaju apapun itu: komunisme, kapitalisme, atau yang lain. Usaha ini tidak akan berhenti, hingga tercapai kemuliaan Islam beserta umatnya, serta menjadikannya rahmat bagi seluruh alam (dunia). Izzul Islam Wal Muslimin.
Sumber : Khan, M. Rafiq, “Islam di Tiongkok”,, terjemahan oleh Sulaimansjah, S.H, (Jakarta, Tintamas, 1967).