Fikroh.com – Assalamualaikum ustadz, bagaimana cara menyikapi pertanyaan ‘dimana Allah’ Dan cara memahami ayat ‘Arrahman ‘alal arsyistawa’ (081378699xxx)
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillahirrahmanirrahim..
Pertanyaan “di mana Allah” pernah terjadi, yaitu pertanyaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada seorang wanita budak:
فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللَّهُ؟ قَالَتِ: اللَّهُ فِي السَّمَاءِ
Beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” wanita itu menjawab: “Di langit” (HR. Muslim no. 537)
Jadi, pertanyaan “di mana Allah” boleh-boleh saja sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menanyakan sebagai ujian.
Kemudian, jawaban “di langit”, adalah jawaban pertanyaan tersebut. Tapi, apa maknanya? Apakah benar-benar di atas langit sesuai bunyi zahirnya, sebagaimana pemahaman sebagian orang?
Atau bermakna Allah Maha Tinggi, agung, dan mulia, langit itu hanya menunjukkan makna simbol saja, seperti perkataan sebagian orang: gantung cita-citamu setinggi langit?
Dalam masalah ini secara garis besar ada beberapa pendapat para ulama.
Pertama. Golongan mu’aththilah (para penolak). Mereka menolak sifat-sifat Allah Ta’ala; seperti wajah, tangan, tertawa, bersemayam, dan semisalnya. Mereka anggap sifat-sifat ini adalah tasybih (penyerupaan) Allah Ta’ala dengan makhluk. Padahal Laisa kamitslihi syai’un. tidak ada suatu apa pun yang serupa dengannya. Umumnya ulama menyatakan golongan itu sebagai kelompok yang menyimpang.
Kedua. Golongan yang memahaminya secara zahirnya, mereka menetapkan (itsbat) secara apa adanya. Maka, Allah bersemayam di atas ‘Arsy, di langit, wajah, tangan, Allah datang, tertawa, dan semisalnya, dipahami sesuai teksnya secara zahir. Namun, tidak boleh menyamakan atau membayangkan sifat-sifat seperti wajah, tangan, dan lainnnya, dengan sifat makhluk. Mereka menetapkan apa adanya, tanpa menyerupakan dengan makhluk, tanpa mengingkari, tanpa mentakwilnya, dan tanpa menanyakan bagaimananya. Inilah yang anut golongan Atsariyah, atau di masa kini: salafiyah.
Ketiga. Kelompok yang memahami bahwa makna pada ayat dan hadits tentang sifat-sifat tidak ada yang tahu kecuali Allah Ta’ala, maka Tafwidhul ‘Ilmi Ilaallah kembalikan ilmunya kepadanya Allah. Mereka dikenal dengan Ahlut Tafwidh. Dasarnya adalah Ali’ Imran ayat: 7, yang berbunyi:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, *padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.”* Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (QS. Ali ‘Imran, Ayat 7)
Ini pun juga dianggap umumnya pemahaman salaf.
Imam Al Alusi berkata:
وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف في مثل ذلك تفويض المراد منه إلى الله تعالى
“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab SALAF dalam hal seperti ini adalah tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Allah Ta’ala.” (Ruhul Ma’aniy, 8/136)
Imam al Baihaqi mengatakan inilah jalan yang paling selamat. Beliau berkata – sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Hajar:
و أسلمها الايمان بلا كيف ، و السكوت عن المراد إلا أن يرد ذلك عن الصادق فيصار أليه ، و من الدليل على ذلك اتفاقهم على أن التأويل المعين غير واجب فحينئذ التفويض أسلم
Yang paling selamat adalah mengimaninya dan tidak memikirkan bagaimananya, diam terhadap apa maksudnya kecuali ada riwayat yang menjelaskannya secara benar maka ikutilah itu, dalilnya adalah mereka sepakat bahwa takwil secara spesifik bukanlah kewajiban, maka dengan demikian tafwidh adalah lebih selamat. (Fathul Bari, 3/30)
Ini juga pendapat Syaikh Hasan Al Banna dalam Al ‘Aqaid-nya:
ونحن نعتقد أن رأي السلف من السكوت وتفويض علم هذه المعاني إلى الله تبارك وتعالى أسلم وأولى بالاتباع ، حسما لمادة التأويل والتعطيل ، فإن كنت ممن أسعده الله بطمأنينة الإيمان ، وأثلج صدره ببرد اليقين ، فلا تعدل به بديلا
“Kami meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna ini kepada Allah Ta’ala adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, dengan memangkas habis takwil dan ta’thil (pengingkaran), maka jika Anda adalah termasuk orang yang telah Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun keyakinan, maka janganlah mencari gantinya (salaf).” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu Ar Rasail, Hal. 368. Al Maktabah At Taufiqiyah)
Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki, yang berkata:
فإِنَّ أحدًا لا يعرفُ كيفيةَ ما أخبر الله به عن نفسه ، ولا يقف على كنه ذاته وصفاته غيره ، وهذا هو الذي يجبُ تفويضُ العلم فيه إِلى الله عزَّ وجلَ
“Maka, sesungguhnya tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana caranya, tentang apa-apa yang Allah kabarkan tentang diriNya, dan tidak ada yang mengerti asalNya, DzatNya, SifatNya, selain diriNya, dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk menyerahkan (tafwidh) ilmunya tentang hal itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Mujmal I’tiqad A’immah As Salaf, Hal. 141)
Ada juga kalangan yang menyikapi ayat-ayat dan hadits2 sifat dengan sebagian ditafwidh dan sebagian ditakwil , sebagaimana dari Imam Malik, Ibnu Daqiq al ‘Id, dan muta’akhirin. (Fathul Bari, 3/30)
Keempat. Kelompok yang meyakini adanya ayat dan hadits tentang sifat, tapi mereka mentakwilnya, mereka tidak memahaminya secara zahir melainkan mesti dipahami sebagai bahasa kiasan. Agar terhindar dari paham antropomorfisme (mencitrakan Allah seperti manusia/antrop) yang memiliki anggota tubuh.
Apalagi ketika Islam masuk ke negeri-negeri yang tidak berbahasa Arab, maka jika ayat dan hadits tentang sifat dipahami secara harfiyah khawatir disalahpahami oleh mereka. Maka, adanya takwil adalah koridor agar tidak penyimpangan dalam memahami ayat dan hadits sifat-sifat Allah Ta’ala. Inilah yang dianut Asy’ariyah umumnya. Bagi mereka jika dipahami secara zhahir, bahwa Allah Ta’ala benar-benar di langit maka akan bertentangan dengan ayat Al Quran yang menyebut Allah Ta’ala lebih dekat dengan urat leher hambaNya, atau Allah Ta’ala bersama hambaNya di mana pun berada, atau hadits hati hamba di antara jari jemari Allah Ta’ala. Jika ini semua dimaknai secara harfiyah zhahiriyah (apa adanya) tentu akan bertentangan dengan hadits Allah Ta’ala berada di atas langit. Itulah kenapa mesti ditakwil dgn takwil yang layak bagiNya.
Kelompok dua, tiga, dan empat, masing masing mengklaim sebagai pemahaman salaf, pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebab, jika kita buka dalam banyak literatur kenyataannya memang kaum salaf ada pada tiga pemahaman itu.
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah, mengutip dari Ibnu Munayyar:
وَلِأَهْلِ الْكَلَام فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة ، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى
Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:
Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan (itsbat) oleh pendengaran (wahyu) dan tidak mampu bagi akal untuk mengetahuinya.
Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud.
Ketiga, melewatinya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala. (Fathul Bari, 13/390)
“Allah Di langit”, apa artinya?
Kita lihat penjelasan para imam terdahulu yang memberikan syarah pada hadits ini.
1. Imam Ibnu Furak Rahimahullah (w. 406 H)
Beliau mengatakan:
إِن معنى قَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَيْن الله استعلام لمنزلته وَقدره عِنْدهَا وَفِي قَلبهَا وأشارت إِلَى السَّمَاء ودلت بإشارتها على أَنه فِي السَّمَاء عِنْدهَا على قَول الْقَائِل إِذا أَرَادَ أَن يخبر عَن رفْعَة وعلو منزلَة فلَان فِي السَّمَاء أَي هُوَ رفيع الشَّأْن عَظِيم الْمِقْدَار كَذَلِك قَوْلهَا فِي السَّمَاء على طَرِيق الْإِشَارَة إِلَيْهَا تَنْبِيها عَن مَحَله فِي قَلبهَا
Makna sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam “Di mana Allah” adalah upaya mengorek informasi tentang kedudukan Allah dan kemahakuasaaNya menurut wanita itu dan di hatinya. Jawaban dia dengan mengisyaratkan kedudukan Allah ke langit menunjukan seperti perkataan orang jika hendak mengabarkan tentang ketinggian kedudukan seseorang dengan mengatakan “Fulan di langit” artinya dia itu posisinya tinggi dan agung. Demikian pula ucapan wanita tersebut “di langit” merupakan isyarat bahwa seperti itulah kedudukan Allah dihatinya. (Musykilul Hadits wa Bayanuhu, Hal. 159)
2. Imam Al Mazari (w. 536H) Rahimahullah
Beliau berkata:
وإشارتها إلى السماء إخبار عن جلالته تعالى في نفسها والسماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين فكما لم يدلّ استقبال الكعبة على أن الله جلت قدرته فيها لم يدل التوجه إلى السماء، والإِشارة على أن الله سبحانه حالٌّ فيها
Isyaratnya ke langit mengabarkan tentang keagungan pada diriNya. Langit adalah kiblatnya orang berdoa, sebagaimana ka’bah kiblatnya orang shalat. Maka, sebagaimana menghadap ka’bah saat shalat bukan berarti Allah ada di dalamnya, begitu pula saat berdoa mengisyaratkan ke arah langit bukan berarti Allah ada di atasnya. (Al Mu’lim bifawaid Muslim, 1/412)
3. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah (w. 544 H)
Beliau berkata:
لا خلاف بين المسلمين قاطبة – محدِّثِهم وفقيههم ومتكلمهم ومقلدهم ونُظَّارِهم – أَنَّ الظواهر الواردة بذكر الله فى السماء كقوله: {أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء}، أنها ليست على ظاهرها، وأنها متأولة عند جميعهم
Tidak ada perbedaan pendapat antara kaum muslimin seluruhnya -baik ahli haditsnya, ahli fiqih, ahli kalam, baik yang muqqallid, dan pakarnya- bahwa ayat yang secara zahir menyebut Allah di langit seperti “Merasa amankah kalian terhadap yang di langit”, bahwa ini tidak dimaknai menurut zahirnya tapi ini mesti ditakwil menurut mereka semua. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’lim, 2/465)
4. Imam An Nawawi Rahimahullah (w. 676H)
Beliau menjelaskan:
هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ أحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَفِيهَا مَذْهَبَانِ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُمَا مَرَّاتٍ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ أَحَدُهُمَا الْإِيمَانُ بِهِ مِنْ غَيْرِ خَوْضٍ فِي مَعْنَاهُ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَتَنْزِيهِهِ عَنْ سِمَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ وَالثَّانِي تَأْوِيلُهُ بِمَا يَلِيقُ بِهِ فَمَنْ قَالَ بِهَذَا قَالَ كَانَ الْمُرَادُ امْتِحَانَهَا هَلْ هِيَ مُوَحِّدَةٌ تُقِرُّ بِأَنَّ الْخَالِقَ الْمُدَبِّرَ الْفَعَّالَ هُوَ اللَّهُ وَحْدَهُ وَهُوَ الَّذِي إِذَا دَعَاهُ الدَّاعِي اسْتَقْبَلَ السَّمَاءَ كَمَا إِذَا صَلَّى الْمُصَلِّي اسْتَقْبَلَ الْكَعْبَةَ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ مُنْحَصِرٌ فِي السَّمَاءِ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُنْحَصِرًا فِي جِهَةِ الْكَعْبَةِ بَلْ ذَلِكَ لِأَنَّ السَّمَاءَ قِبْلَةُ الدَّاعِينَ كَمَا أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ الْمُصَلِّينَ أَوْ هِيَ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ الْعَابِدِينَ لِلْأَوْثَانِ الَّتِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَلَمَّا قَالَتْ فِي السَّمَاءِ عَلِمَ أَنَّهَا مُوَحِّدَةٌ وَلَيْسَتْ عَابِدَةً لِلْأَوْثَانِ
Hadits ini termasuk hadits-hadits sifat. Ada dua madzhab dalam memahaminya seperti yang telah kami sebutkan dalam Kitabul Iman.
Pendapat pertama. Hendaknya mengimaninya tanpa menceburkan diri dalam pergulatan apa maknanya, juga meyakini bahwa Allah Ta’ala tidak ada yang serupa denganNya suatu apa pun, dan mensucikanNya dari semua tanda-tanda makhluk.
Pendapat kedua. Mentakwilnya dengan makna yang pantas bagiNya. Pihak ini mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermaskud menguji wanita itu apakah dia seorang ahli tauhid yang mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur manusia. Dialah yang jika seseorang berdoa maka manusia akan menghadap ke langit sebagaimana jika orang shalat akan menghadap ke ka’bah. Bukanlah hal itu bermakna bahwa Allah dibatasi oleh langit sebagaimana Dia juga tidak dibatasi oleh arah ka’bah. Karena langit adalah kiblatnya orang berdoa, sebagaimana ka’bah kiblatnya orang shalat. Ataukah wanita ini wanita penyembah berhala yang berhala itu ada di antara mereka? Ketika wanita itu menjawab “di langit” maka tahulah bahwa dia seorang wanita ahli tauhid, bukan penyembah berhala. (Syarh Shahih Muslim, 5/24)
5. Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah (w. 855 H)
Beliau juga punya penjelasan yang sama dengan Imam Al Mazari Rahimahullah.
وإشارتها إلى السماء إخبار عن جلالته تعالى في نفسها، والسماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين، فكما لم يَدل استقبالُ الكعبة على أن الله جلت قدرته فيها، لم يدل التوجه إلى السماء والإشارة على أن الله عَزَّ وجَلَّ فيها
Isyaratnya ke langit menunjukkan keagungan diriNya. Langit adalah kiblatnya orang berdoa, dan ka’bah kiblatnya orang shalat. Maka, sebagaimana menghadap ka’bah saat shalat bukan berarti Allah ada di dalamnya, begitu pula saat berdoa mengisyaratkan ke arah langit bukan berarti Allah ada di atasnya. (Syarh Sunan Abi Daud, 4/186)
Jadi, rata-rata memang tidak memahaminya secara tekstual, bagi mereka “Allah di langit” menunjukkan kemahatinggian, kemaha agungan. Namun ada yang memaknai serahkan saja maksudnya kepada Allah Ta’ala. Namun, ada pula yang memaknai secara zahir yaitu di langit di atas arsyNya, seperti perincian yang disampaikan Imam Ibnu Hajar. Demikian. Wallahu a’lam.
Oleh: Farid Nu’man Hasan