Fatwapedia.com – Berikut adalah pesan-pesan Syaikh Yosri Rusydi Gabr Al-Hasani dalam menyambut persiapan. Memasuki Ramadhan, yang disampaikan di Sahah Indonesia pada Ahad (14/5/2017)
Salah satu dari dua orang sahabat gugur Syahid di medang Perang. Setelah beberapa tahun berlalu, Sahabat yang masih hidup melihat dalam mimpi, ia berada di derajat lebih tinggi dari temannya yang mati syahid. Ia pun heran. Ia mengadukan mimpinya kepada Rasulullah ﷺ. Rasul memecahkan keheranan sahabatnya dengan balik bertanya: “Berapa lama kau menjumpai Ramadhan setelahnya?”. Beliau melanjutkan: “Ramadhan-lah yang membuat derajatmu lebih tinggi dari derajat kesyahidannya”.
Patutlah kita banyak bersyukur atas umur yang dipanjangkan dan kesempatan bertemu kembali dengan Ramadhan baru. Di Bulan ini, satu ibadah Fardhu sepadan dengan pahala 70 ibadah Fardhu di bulan lain. Satu ibadah sunnah sebanding dengan pahala satu ibadah fardhu. Belum lagi di dalamnya ada malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Dengan catatan, menjalani Ramadhan mesti dengan menjaga adab-adab. Tanpa adab, amal bagaikan debu berterbangan. Tak ada bobotnya.
Puasa level orang awam sekedar menahan syahwat perut dan syahwat kemaluan di siang hari. Di malam hari kembali makan, minum, menonton televisi dan aktivitas-aktivitas duniawi lainnya.
Puasa level orang berilmu tidak demikian, apalagi kalau dia pelajar Al-Azhar dan Ahlul Qur’an. Puasa level ini lebih mengedepankan puasa hati dari puasa anggota badan. Ia menjauhi segala bentuk perbuatan dan pikiran yang mengalihkan konsentrasinya terfokus hanya kepada Allah. Puasanya rusak apabila ia nodai dengan dosa-dosa ghībah, namīmah, ghoflah, dengki dan akhlak-akhlak buruk lainnya.
Untuk mencapai level ini, seorang butuh pemanasan dan latihan (tadrīb) jauh sebelum memasuki Ramadhan. Tak bisa mendadak seperti utopia kebanyakan Umat Muslim yang tancap gas mulai hari pertama. Tak heran, sholat Isha dan Subuh hari pertama masjid membludak bagaikan Sholat Jum’at. Berlalu tiga hari, shaf mengalami kemajuan menjadi setengah masjid. Berlalu enam hari maju menjadi seperempat. Pada akhirnya yang bertahan adalah mereka yang memang dari semula sebelum Ramadhan rajin ke Masjid. Yang tidak memiliki muwāzhobah sejak pra-Ramadhan, mustahil ia merasakan kenikmatan Ramadhan.
Pemanasan itu dapat dilakukan dengan memperbanyak istigfar, sholawat dan tahlil masing-masing 100 kali di pagi hari dan 100 di sore. Walaupun shigohnya variatif, ketiga hal ini adalah poros (al-mihwar) yang diamalkan oleh semua shufi apapun thoriqohnya, karena sumbernya sama, yaitu Rasulullah ﷺ. Juga membiasakan sholat lima waktu berjama’ah di Masjid serta menuntaskan target harian baca Al-Qur’an.
Dengan pemanasan itu, saat Ramadhan menunaikan ibadah menjadi ringan. Bahkan bukan sekedar menunaikan (adā’ al-‘ibādah), tapi untuk terus-menerus dan berkisanambungan (al-muwāzhobah wa al-mudāwamah). Perbedaannya, al- adā’ membutuhkan al-ikhlāsh. Sedangkan al-muwāzhobah butuh ash-shidq. Tidak mampu bertahan terus-menerus istiqomah beribadah kecuali ash-shādiq:
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وكونو مع الصادقين
Ash-shādiq adalah mereka yang memiliki daya tahan yang kuat dan kebal bagaimanapun ombak kehidupan keras menamparnya. Situasi dunia mereka boleh berubah-ubah, tapi situasi bersama Allah tak akan berganti.
Teladan kita adalah Rasulullah ﷺ, beliau hidup dengan berjuta badai kehidupan. Ujian beliau hadapi silih berganti. Berapa kali beliau menguburi putra-putrinya dengan tangan sendiri. Beliau dimusuhi oleh keluarga terdekatnya. Keluarga tercinta yang berhasil beliau islamkan, syahid tercabik-cabik di hadapan matanya dan beliau kuburkan sendiri. Walau demikian, ketundukan pada tuhannya tak pernah goyah sedikitpun. Tak ada ceritanya beliau meliburkan diri ke Masjid walau sebab kematian istri dan paman tercinta, Khadijah RA dan Abu Thalib. Buktinya, ketika di angkat Isra’ Mikraj beliau sedang asyik bermesraan dengan Tuhannya di Masjidil Haram.
Beliau mengajarkan untuk menjadikan hari-hari sepanjang tahun semuanya adalah Ramadhan, sepanjang tahun shalat subuh berjama’ah di Masjid, setiap hari shalat Dhuha. Jika menunda-nunda sampai datangnya Ramadhan, nafsu apabila dimanja seperti keledai yang makin liar jika tak terkontrol. Thabi’at nafsu itu pragmatis, silau pada kenikmatan yang dekat tapi sesaat sirna.
Di 13 atau 12 hari menjelang Ramadhan, matangkan persiapan layaknya atlet yang mengatur pola aktivitas harian dengan cermat dan proporsional, agar saat turun pertandingan kondisi mereka fit. Layaknya sahabat Nabi yang selalu fit dan tahan berdiri dalam sholat yang panjang walau usia sudah senja.
1 juz Al-Qur’an (minimal) yang kalian muroja’ah di siang hari, jadikan sebagai ayat sholat di malam harinya. Maka nantinya kalian akan terbiasa membaca satu juz tiap tarawih. Itupun 1 juz, kalau sahabat melihat, mereka akan menertawakan kita.
Dikisahkan, Saydina Ubay bin Ka’ab RA yang dipilih mengimami Shalat Tarawih oleh Saydinia Umar RA di masa kekhilafahannya, Ia mulai dari setelah Isya dan selesai beberapa menit sebelum azan subuh. Walau akhirnya para tetua melapor kepada Umar ketidak-sanggupan mereka, maka sejak itu, Umar memberikan kebijakan meminta Ubay memangkas bacaan tapi menambah Raka’at menjadi 20 yang sebelumnya delapan raka’at.
Memang seperti itulah mereka dididik dan dilatih oleh Rasulullah ﷺ, beliau biasa membaca Surat Al-Baqarah dalam roka’at pertama dan Surat Āla ‘Imrān di roka’at kedua. Saydina Utsman RA dalam riwayat masyhur mengkhotamkan Al-Qur’an dalan satu roka’at witir. Karena mereka membaca Al-Qur’an dengan Ruh, bukan dengan tubuh. Bedanya, ruh tak mengenal durasi waktu, tak jenuh dan letih, karena ia ada di alam metafisika. Sedangkan tubuh lemah karena keberadaannya di alam nyata.
Imam An-Nawawi dalam Kitab At-Tibyan menuliskan: “Rekor muri khotam terbanyak yang kami dapatkan adalah, ada orang yang mampu khotam delapan kali dalam rentang waktu Magrib sampai Isya.”
Apa yang ditulis Imam An-Nawawi ini mungkin absurd bagi kita, tapi begitulah kenyataannya. Mereka tidak sampai maqom itu begitu saja, melainkan setelah bersusah-payah melatih diri bertahun-tahun. Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata:
جاهدت القرآن ثلاثين عاما واستمتعت بها ثلايثن عاما
“Saya pontang-panting bersama Al-Qur’an selama 30 tahun, barulah saya merasakan kelezatannya selama tiga puluh tahun.” Maksud mujahadahnya dengan Al-Qur’an yaitu, ia sholat dengan hafalan Al-Qur’an dan berulang-ulang kali salah, tapi ia terus mencoba dan mencoba, sehingga benar-benar lancar. Barulah setelah tiga dasawarsa sholat yang ia lakukan dengan hafalan Al-Qur’annya menjadi kenikmatan penyejuk jiwa (Qurrutu Al-‘Ain).
Di Bulan Ramadhan, Bulannya Al-Qur’an saya –dawuh Maulana Syaikh Yusri- benar-benar menekankan kepada kalian untuk membiasakan sholat dengan hafalan. Karena semua sahabat dan para ulama, mereka mengkhotamkan Al-Qur’an di dalam sholat. Salah satu guru Al-Qur’an saya yang merangkap dokter, Syaikh Amir Utsman terkenal hafalan Al-Qur’annya sangat lancar dan mutqin. Ia pernah ditanya oleh seseorang: “Saya takjub dengan kekuatan hafalan anda, padahal sepanjang hari anda sibuk melayani pasien, terus kapan waktu muroja’ah?”. Syaikh Amir menjawab: “Saya selalu membacanya beruntun dalam shalat-shalat saya.”
Bacalah yang kalian hafal, apabila ingatan menemukan kebuntuan, langsung Ruku’ dan lihat lagi Mushaf setelah Sholat. Kemudian coba lagi seterusnya sampai lancar dan tak ada lagi kesalahan. Ini akan membantu kalian menuntaskan hafalan. Jangan cukupkan hafalan hanya sampai yang diujikan saja di Al-Azhar (empat juz bagi wafidin). Karena aib bagi Azhari tidak menghafal Al-Qur’an. Bagaimana ia nanti naik mimbar, memberi ceramah, mengajarkan ngaji kalau tak hafal Kitab Allah!? Manfaatkan waktu di Mesir dengan banyak Qurro’nya untuk belajar dari mereka.
Hafalan seorang teruji apabila berhasil membacanya dengan lancar dalam sholat. Tren imam sholat tarawih dengan membaca dari mushaf adalah bid’ah yang akan berimbas pada penyia-nyiaan penghafal, hafalan dan muroja’ah. Imam dulu biasanya memuroja’ah sunggu-sunggug juz yang akan dibaca malam nantinya di siang hari. Namun kini tren ini menjadikan seperti seorang siswa yang diperbolehkan open-note dalam ujian sehingga membuatnya malas mengulang-ulang pelajaran.
Sholat dengan hafalan walau ada kekeliruan lebih baik daripada membaca mushaf dengan suara merdu. Ibarat ‘arusah maulid, yang dihias cantik tapi tak mungkin kalian nikahi karena hanya boneka.
Sibukkanlah diri dengan Al-Qur’an. Mulai dari sekarang batasi porsi bermain gadget, kurangi sedikit demi sedikit, sampai ketika masuk Ramadhan kalian betul-betul puasa dari memainkannya. Caranya jangan langganan internet. Fitur-fitur negatif yang ada di hp adalah salah satu representasi fitnah Dajjal di akhir zaman yang begitu pandai mempermainkan hasrat manusia. Ketika niat membuka hp melihat sedikit informasi. Akhirnya berjam-jam kalian buang untuk waktu yang sia-sia ini dengan sajian video dan gambar-gambar beraneka ragam. Fitnah Dajjal adalah semacam penggagalan fokus (tasywis), syahwat pada kemewahan, wanita dan pemandangan porno. Sekarang semua ini ada dalam genggaman. Karena itulah dari hari Nabi menjaga kewaspadaan kita dari Dajjal, fitnahnya bukan ilusi belaka, tapi nyata.
Di akhir saya mengijazahkan wirid-wirid Thoriqoh Ad-Dorqowiyah Asy-Syadzuliyah, bacaan Istigfar, Sholawat dan Tahlil; pagi dan petang, bacaan dalāil al-khoirat, sholawat al-Yusriyah, Sholawat bi asmāilllāh al-husna, apabila kalian tak punya kitabnya bisa dapatkan di internet..
(18 Sya’ban 1438 H di Sahah Indonesia)
Sumber Tulisan : Ustadz Zainudin Ruslan, Lc