Fatwapedia.com – Ada pesan untuk para orang tua, menyikapi kabar ratusan anak kecanduan gawai, meski usia masih belasan.
Ini bukan masalah sederhana. Harus selalu diingat juga, bahwa ‘pegangan’ terbaik anak adalah ibu dan bapaknya.
Dampak Pandemi
Sebagai informasi, di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Jawa Barat, ratusan anak [dengan rentang usia 11-15 tahun] harus menjalani rawat jalan, akibat kecanduan gawai. Baca: RSJ Jabar Tangani Anak Kecanduan Gawai
Pada Januari-Februari 2021 saja, RSJ Cisarua mencatat jumlah pasien bertambah 14 anak.
Kepala Puspeka Kemendikbud [Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan] Hendarman, buka suara.
Ia mengatakan, orang tua harus berperan menjaga anaknya dari gawai. Begitu juga internet.
“Ini dampak dari masa pandemi,” tuturnya, mengutip Republika, Senin (22/3) kemarin.
“Seyogianya, menjadi tanggung jawab orang tua yang mendampingi anak selama di rumah,” sambung Hendarman.
Pengawasan orang tua, menurut Hendarman, sangat penting bagi penggunaan gawai pada anak.
Orang tua, harus betul-betul memastikan penggunaannya efektif, sekaligus tak berdampak negatif.
Maka itu Kemendikbud, kata Hendarman, menyarankan agar penggunaan gawai secukupnya untuk membantu proses pembelajaran.
“Contoh, menggunakan gawai untuk berkomunikasi dengan guru, mengakses kegiatan pembelajaran, mencari informasi,” ujarnya.
Artinya, di luar dari kegiatan tersebut, orang tua harus mendampingi anak selama menggunakan gawai.
Tujuannya tak lain, agar orang tua dapat memantau konten apa saja yang anak-anak mereka lihat [tentu harus sesuai dengan usia].
Kemendikbud juga mendorong, agar orang tua membuat kesepakatan bersama anak soal batas waktu penggunaan gawai.
Seperti berapa lama ia boleh menggunakan gawai, dan benar-benar melepasnya ketika waktu habis.
Orang tua juga dapat memblokir konten negatif pada gawai yang anak mereka gunakan, demi meningkatkan keamanan.
Permainan yang mengandung unsur kekerasan, pornografi, dan konten-konten negatif lain, misalnya.
Pentingnya Kontrol Orang Tua
Pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jejen Musfah, juga ikut bicara.
Menurutnya, mengakses internet tanpa kontrol dari orang tua, memicu anak menjadi ketergantungan dengan gawai.
Maka para orang tua, menurut Jejen, harus bisa berupaya membuat kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anaknya.
Pembatasan gawai, jelas penting. Namun, mereka yang masih di usia anak, jelas tak dapat berpangku tangan.
Itu sebabnya, orang tua perlu mengajak mereka bermain atau berolahraga, demi mengisi waktu luang.
“Orang tua perlu membatasi penggunaan gawai, caranya sediakan internet pada jam tertentu saja,” kata Jejen.
“Batasi HP [ponsel] dan mengajak anak olahraga atau bermain bersama,” imbuhnya.
Jangan Anggap Enteng
Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Itje Chodidjah juga berpesan.
Sebab, ia menilai, fenomena kecanduan gawai ini tidak lepas dari kebanyakan orang tua yang menganggap enteng persoalan.
“Sebagian besar orang tua, menganggap sebagai mainan yang membuat anak-anak anteng atau tidak mengganggu kesibukan orang tuanya,” kata Itje.
Orang tua, sambungnya, harus bisa mengalihkan perhatian anak-anak mereka pada kegiatan lain yang menyenangkan, serta melibatkan interaksi dengan orang lain.
Lebih lanjut, Itje, juga menyarankan agar RT/RW setempat, bisa bantu mengontrol tempat bermain gim atau warnet di lokasi tempat tinggal.
Berbagai Persoalan Krusial
Anggota Komisi X DPR Illiza Sa’aduddin Djamal, menilai bahwa PJJ [pembelajaran jarak jauh] memicu berbagai persoalan krusial.
“Selain regulasi, kurikulum, sarana prasarana, sumber daya manusia, dan anggaran, yaitu permasalahan psikologis,” tuturnya, Senin (22/3) kemarin.
Illiza juga mengingatkan, pentingnya pendampingan orang tua dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.
Terutama bagi mereka yang masih duduk di bangku SD dan SMP.
Orang tua mesti bisa berkomunikasi dengan guru, sekaligus membantu menjelaskan pelajaran hingga anak dapat mengerjakan tugas-tugas mereka.
“Sedangkan peran serta orang tua dalam pembelajaran jarak jauh siswa jenjang menengah atas [SMA dan SMK] tergolong lebih rendah,” kata Illiza.
“Umumnya hanya sebatas pengawasan, dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan belajar mengajarnya,” sambungnya.
Bagi Illiza, persoalan adiksi gawai yang menimpa anak-anak saat ini, bisa jadi karena interaksi sosial yang kurang.
Baik dengan komunitas sekolah, maupun di lingkungan sekitar rumah.
Illiza juga menilai, gawai yang terhubung sistem daring dengan berbagai fitur, ibarat pisau bermata dua.
Meski dapat memberikan manfaat, tetapi juga bisa membahayakan kehidupan anak-anak.
“Pengawasan dan pendekatan atau interaksi yang optimal dari keluarga dan masyarakat, dapat mengurangi kecanduan tersebut,” ujar Illiza.
“Dengan cara mengalihkanya kepada hal-hal atau kegiatan yang bersifat positif.”
Pemicu Adiksi
Ketua Umum IESPA [Indonesia E-sports Association] periode 2019-2024 Eddy Lim juga berkomentar.
Ia tak menampik, meningkatnya potensi kecanduan gim [terutama online] di masa pandemi COVID-19 ini.
Penyebab paling jelas adalah banyaknya waktu kosong yang para pelajar pun mahasiswa punya.
“Kalau belajar langsung di sekolah, antara pukul 07.00-13.00, mereka ada kegiatan belajar,” kata Eddy.
“Tetapi sekarang, dengan model pembelajaran daring dari sekolah, maksimal hanya dua sampai tiga jam mereka belajar,” imbuhnya.
Penilaian ini tak lain, berdasarkan pengalaman anak Eddy yang juga belajar secara daring. Biasanya, proses belajar selesai dalam dua jam.
“Setelah selesai belajar daring, mereka menguasai gawai, yang dimanfaatkan untuk hiburan mereka,” akuannya.
“Baik nonton film, main medsos [media sosial], maupun main game online (gim daring),” sambung Eddy.
“Jadi, tidak hanya waktu main gim daring yang meningkat. Nonton televisi, film, ataupun kegiatan bermain medsos juga ikut meningkat,” imbuhnya lagi.
Itu semua, lanjut Eddy, karena anak-anak punya waktu luang yang lebih dari biasanya.
Maka ia pun memberikan solusi, agar buah hati tak terlalu lama bermain dengan gawai.
“Buatlah kegiatan yang bermanfaat, tetapi sekaligus disenangi oleh mereka. Baik itu yang dibuat sekolah, maupun inisiatif keluarga,” pesannya.
Salah satunya, mengajak bermain sepeda atau kegiatan lain, setiap akhir pekan.
Eddy menjelaskan, bahwa keluarga benar-benar memiliki peran penting dalam pencegahan kecanduan gim daring pada anak.
“Kalau dari pagi sampai malam, anak-anak bermain gim daring didiamkan saja, ya, pasti akan ketagihan atau kecanduan,” tuturnya.
“Tetapi melarang tanpa memberikan kegiatan alternatif, juga berpotensi tidak akan dituruti oleh anak-anak,” jelas Eddy.
Januari-Desember 2020, 98 Anak Rawat Jalan
Jika mundur ke belakang, sejak Januari hingga Desember 2020, tercatat total 98 anak menjalani rawat jalan, karena permasalahan yang sama.
“Januari dan Februari ini, ada 14 orang yang sedang menjalani rawat jalan,” kata Direktur Utama RSJ Cisarua Elly Marliyani, Selasa (16/3) lalu.
“Mereka murni gangguan adiksi gawai. Jadi, yang dominan itu kecanduan internet, di antaranya adiksi games,” imbuhnya.
Rata-rata, setiap bulannya, ada sekitar 11-12 anak [antara mengalami gangguan jiwa, kemudian mengalami adiksi gim, atau adiksi gim lebih dahulu, sebelum akhirnya mengalami gangguan kejiwaan].
Mayoritas orang tua, membawa anak mereka untuk mendapat perawatan, karena sang buah hati mudah emosi. Terlebih jika dilarang menggunakan gawai.
“Ketika dilarang, langsung ekspresi emosinya sangat tinggi,” tutur Sub Spesialis Psikiater Anak dan Remaja RSJ Cisarua Lina Budiyanti.
“Bisa melempar barang, bahkan, bisa mengancam dengan senjata tajam, kalau tidak dituruti permintaannya, seperti ponsel dan kuota,” jelasnya.
Lina, juga mengungkap faktor pandemi COVID-19 yang turut memengaruhi anak-anak menjadi kecanduan gawai.
Pasalnya, sejak muncul kebijakan sekolah secara daring, anak-anak menjadi lebih sering menggunakan ponsel.
“Sebagian yang datang ke kami, diperberat dengan kondisi ini, pandemi COVID-19. Jadi, pandemi, mereka tidak ke mana-mana,” kata Lina.
“Orang tua, awalnya memberikan kelonggaran, karena berpikir kalau enggak main gim, mau ngapain,” sambungnya.
Dari situ, kegiatan awal yang lama-lama menyebabkan pemakaian gawai pada anak tak terkendali, dan menjadi adiksi.