Posisi dan Kedudukan Nabi Ibrahim Sebagai Pemimpin Kebaikan


Oleh: Idrus Abidin. 
Nabi Ibrahim adalah nama yang tidak asing dalam sejarah kenabian. Dialah nabi ke-2 dalam urutan nabi-nabi yang memiliki semangat tinggi (ulul azmi) dalam mengemban amanah dakwah setelah Rasulullah Saw.  Beliau dikenal sebagai kekasih Allah (khalilullah) sekaligus sebagai ayah semua nabi (abu al-anbiyaa). Pada lembaran ini, secara ringkas kita akan menelusuri keteladanan beliau agar bisa dijadikan sebagai panduan konsistensi dalam beragama. 

1. Ujian Allah kepada Nabi Ibrahim hingga Berhak Mendapatkan Kepercayaan Sebagai Pemimpin Kebaikan (Imam)

Satu hal yang menjadi pertanyaan mendasar adalah alasan apa yang menyebabkan Allah memilih nabi Ibrahim beserta keluarganya sebagai panutan (imam) untuk semua agama samawi?. Ternyata jawabannya adalah beliau lolos dalam ujian dan seleksi yang diberlakukan Allah kepadanya (al-Baqarah 124 dan an-Najm 37). 
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (QS al-Baqarah: 124)
Minimal ada 2 bentuk ujian yang beliau tempuh untuk mendapatkan kedudukan tersebut:
Pertama, perintah untuk hijrah bersama keluarganya (Hajar dan Ismail) ke Daerah Paran (Makkah).
Ibnu ‘Abbaas RA berkata, “Wanita pertama yang menggunakan ikat pinggang adalah Ummu Ismail AS. Dia menggunakannya untuk menghilangkan jejak dari Sarah kemudian Ibrahim AS membawanya berserta anaknya Ismail yang saat itu ibunya masih menyusuinya hingga Ibrahim AS menempatkan keduanya dekat Baitullah pada sebuah gubuk di atas zamzam di pinggir Al-Masjidil Haram. Waktu itu di negeri Makkah tidak ada seorangpun yang tinggal di sana dan tidak ada pula air. Ibrahim menempatkan keduanya di sana, meninggalkan sekarung kurma dan kantung/geriba berisi air. Kemudian Ibrahim pergi meninggalkan keduanya. Maka Ummu Ismail mengikutinya seraya berkata, “Wahai Ibrahim, hendak ke mana kau pergi? Apakah engkau (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun di sini?” Ummu Ismail terus mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi kepadanya. Akhirnya Ummu Ismail bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan semua ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Ummu Ismail berkata, “Jika begitu, pasti Allah tidak akan menelantarkan kami di sini.”
Kemudian Ummu Ismail kembali dan Ibrahim melanjutkan perjalanannya hingga ketika sampai pada sebuah bukit dan ia tidak terlihat lagi oleh mereka, Ibrahim menghadap ke arah Ka’bah lalu berdo’a untuk mereka dengan beberapa kalimat do’a dengan mengangkat kedua belah tangannya, “Wahai Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahMu yang disucikan, -hingga sampai kepada- semoga mereka menjadi hamba-hamba yang 
bersyukur [QS Ibrahim : 37].” 
Kemudian Ummu Ismail mulai menyusui anaknya dan minum dari kantung air persediaan hingga ketika air yang ada di dalamnya mulai habis, dia menjadi sangat haus begitu pula anaknya. Lalu dia memandang kepada Ismail sang bayi yang sedang meronta-ronta -atau Ibnu ‘Abbaas berkata, “Berguling-guling di atas tanah.”- Kemudian Hajar meninggalkan Ismail karena kasihan melihat keadaannya. Maka dia mendatangi bukit Shafaa sebagai bukit yang paling dekat dengannya. Dia berdiri di sana lalu menghadap ke arah lembah dengan harapan dapat melihat orang di sana namun dia tidak melihat seorang pun. Maka dia turun dari bukit Shafaa dan ketika sampai di lembah dia menyingsingkan ujung pakaiannya lalu berusaha keras menempuhnya layaknya seorang manusia yang berjuang keras hingga ketika dia dapat melewati lembah dan sampai di bukit Marwah lalu berdiri di sana sambil melihat-lihat apakah ada orang di sana namun dia tidak melihat ada seorang pun sama sekali. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali (antara bukit Shafaa dan Marwah).”
Ibnu ‘Abbas RA berkata, Nabi Saw. bersabda, “Itulah ibadah sa’i yang mesti dilakukan oleh manusia (yang melaksanakan ibadah haji) antara kedua bukit itu.” Ibnu ‘Abbas melanjutkan, “Ketika berada di puncak Marwah, Ummu Ismail mendengar ada suara, lalu dia berkata dalam hatinya, “Diamlah!” yang Hajar maksud adalah dirinya sendiri. Kemudian dia berusaha mendengarkannya, ternyata dia dapat mendengar suara itu lagi, maka suara itu berkata, “Kau telah memperdengarkan suaramu jika bermaksud meminta pertolongan.” Ternyata suara itu adalah suara malaikat (Jibril AS) yang berada di dekat zamzam. Lantas Jibril mengais tanah dengan tumitnya -atau dengan sayapnya- hingga air keluar memancar. Ummu Ismail mulai membuat tampungan air dengan tangannya seperti ini, yaitu menampung air dan memasukkannya ke geriba, sedangkan air terus saja memancar dengan deras setelah ditampung. 
Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Nabi Saw. bersabda, “Semoga Allah merahmati Ummu Ismail karena kalau dia membiarkan air zamzam -atau sabda beliau, “Kalau dia tidak segera menampung air tentulah air zamzam itu akan menjadi air yang mengalir.”- Akhirnya Ummu Ismail dapat meminum air dan menyusui anaknya kembali. Kemudian malaikat Jibril berkata kepadanya, “Janganlah kalian takut ditelantarkan karena di sini adalah rumah Allah yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sungguh Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya.”[Shahih Bukhari no. 3364; Kitab Ahaditsul Anbiyaa’, Bab: Firman Allah Ta’ala, “Dan Allah telah mengangkat Ibrahim sebagai kekasihNya.”]
Sejumlah pelajaran bisa dipetik dari kilasan kisah di atas. Seperti betapa ujian bagi para nabi sangat besar dengan diperintah untuk meninggalkan keluarganya di tempat yang belum berpenghuni dan jauh dari keramaian. Padahal banyak sekali manusia yang terhalang dari kebaikan hanya karena kecintaan mereka kepada istri dan anak-anaknya. Pantaslah dalam sebuah hadits, ketika ditanya tentang orang yang paling berat ujiannya, Rasulullah menegaskan, 
الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا، اشْتَدَّ بَلاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ، ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ، حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ، وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
“Para Nabi kemudian orang-orang yang di bawahnya kemudian orang-orang yang di bawahnya. Seorang hamba akan diuji sesuai dengan agamanya, jika di dalam agamanya terdapat kekuatan maka akan bertambah berat ujiannya, dan jika di dalam agamanya terdapat kelemahan maka dia akan diuji sesuai dengan kekuatan agamanya. Senantiasa ujian diarasakan oleh seorang hamba sampai dia berjalan di atas bumi dalam keadaan tidak mempunyai beban dosa.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. al-albani berkata, “Hadits ini hasan shahih”)
Selain itu, kisah di atas juga menggambarkan betapa kuatnya iman dan keyakinan Hajar. Hal ini berdasarkan pada hadits Ali yang berbunyi, 
فَنَادَاهَا جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَنْ أَنْتِ؟ قَالَتْ: أَنَا هَاجَرُ أُمُّ وَلَدِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: فَإِلَى مَنْ وَكَلَكُمَا؟ قَالَتْ: إِلَى اللَّهِ, قَالَ: وَكَلَكُمَا إِلَى كَافٍ”
“Maka Jibril memanggilnya dan bertanya, kamu siapa? dia menjawab, saya Hajar, Ibu dari anaknya Ibrahim’. Kata Jibril, kepada siapa engkau dititipkan?, “Hanya kepada Allah”, jawabnya. “Sungguh dia telah menitipkan kalian kepada Dzat yang akan mencukupi segala kebutuhan kalian.” (HR Thabrani dan dihasankan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar).
Kisah ini juga menunjukkan perlindungan Allah terhadap para waliNya, sebagaimana penegasan malaikat Jibril, 
لاَ تَخَافُوا الضَّيْعَةَ، فَإِنَّ هَا هُنَا بَيْتَ اللَّهِ، يَبْنِي هَذَا الغُلاَمُ وَأَبُوهُ، وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُضِيعُ أَهْلَهُ
“Janganlah kalian takut ditelantarkan karena disini adalah rumah Allah yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hambaNya.”[HR Bukhari no. 3364)
Bahkan, keutamaan air zamzam juga disebutkan dalam kisah ini. Rasulullah menegaskan, 
خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ
“Air terbaik yang ada di bumi ini adalah air zamzam.” (HR Thabrani dan dishahihkan oleh al-Albani)  
Termasuk pelajaran penting yang didapatkan pada kisah ini adalah keutamaan do’a. Hanya dengan do’a yang tulus, wilayah yang tadinya kering kerontong berubah menjadi tempat yang diimpikan banyak orang dari sejak Nabi Ibrahim hingga sekarang (Ibrahim : 37)
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Diterimanya do’a ditentukan oleh beberapa faktor seperti kadar keikhlasan orang yang berdo’a dan ibadah yang dijadikan sarana (tawassulan) oleh seorang hamba dan tingkat ketundukan serta kepatuhannya kepada Allah. 
Kedua, perintah menyembelih anaknya, Ismail
Sebagaimana diceritakan dalam surat ash-Shaffat ayat 102-108, 
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ . فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ . فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ . فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ . وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ . قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ . إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ . وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ . وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ . سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ . كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ . إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ . وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya ). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. 108. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (ash-Shaffat ayat 102-108)
Pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini adalah bahwa ujian kepada para nabi sungguh sangat berat, namun mereka semua berhasil menyelesaikanya dengan baik. Anak yang ditunggu kelahirannya sejak lama sekali. Namun, ketika ia telah beranjak dewasa dengan sejumlah ahlak mulia, datanglah perintah untuk menyembelihnya. Tapi ternyata ayah dan sang anak itu sama-sama memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah sehingga mereka berdua tidak memiliki keraguan untuk melaksanakannya dengan tulus, sekali pun akhirnya diganti oleh Allah dengan domba. Ketaatan sang anak ini (Ismail) terjadi berkat ketaatan nabi Ibrahim sendiri kepada ayahnya. Ternyata kebaikan seorang anak kepada kedua orang tuanya akan berefek pada ketaatan anak keturunan kepada ayahnya nanti kelak di kemudian hari.

2. Posisi dan Kedudukan Nabi Ibrahim.

Salah satu nilai keteladanan Nabi Ibrahim adalah tanggungjawabnya yang sangat besar terhadap kelanjutan dakwah dan hidayah di tengah masyarakat manusia. Sehingga ia banyak berdo’a agar Allah senantiasa mengirimkan nabi-nabi kepada setiap komunitas manusia setelahnya (al-Baqarah: 129). Akhirnya, Allah menetapkannya sebagai panutan (imam) bagi seluruh manusia, berikut keturunannya yang komitmen dengan aturan dan perintah Allah (al-Baqarah : 124).
Dengan tegas Allah mengatakan bahwa kenabian dan kitab suci dipercayakan kepada keturunan beliau 
وَوَهَبْنَا لَهُۥٓ إِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِى ذُرِّيَّتِهِ ٱلنُّبُوَّةَ وَٱلْكِتَٰبَ وَءَاتَيْنَٰهُ أَجْرَهُۥ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Dan Kami anugrahkan kepda Ibrahim, Ishak dan Ya’qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (al-Ankabut : 27)
Maka tidaklah mengherankan ketika posisi beliau sangat istimewa pada setiap  agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani). Mereka semua merasa memiliki hak dan keterkaitan nasab dengan sang Nabi. Ibnu Abbas melaporkan, Ketika kalangan Nasrani Najran bertemu di sisi Rasulullah dengan pendeta Yahudi, maka mereka saling mengklaim adanya hubungan kedekatan dengan Nabi Ibrahim. Akhirnya, Allah menurunkan firmanNya, bahwa nabi Ibrahim itu bukanlah Yahudi dan bukan pula Nasrani, tetapi beliau adalah seorang yang lurus dan seorang muslim sejati serta jauh dari kemusyrikan 
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالإِنْجِيلُ إِلا مِنْ بَعْدِهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ . هَاأَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ . مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ . إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
Hai Ahli Kitab, mengapa kalian bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kalian tidak berpikir? Beginilah kalian, kalian ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kalian ketahui, maka mengapa kalian bantah-membantah tentang hal yang tidak kalian ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali dia bukan  dari golongan orang-orang musyrik.” Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman. (Ali Imran : 65-68)
Sekali pun semua agama samawi menisbatkan diri kepada Nabi Ibrahim, namun hanya ummat Islamlah yang memberikan penghargaan tertinggi kepada beliau. Hal ini terbukti dengan adanya do’a shalawat dan keberkahan yang wajib dibaca seorang muslim setiap kali tasyahhud dalam shalat. Belum lagi ditambah dengan rangkaian ibadah haji dalam Islam yang melibatkan Ka’bah, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, Shafa dan Marwa. Bahkan, Rasulullah Saw. memiliki kemiripan khusus dengan Nabi Ibrahim, baik dari sisi postur tubuh maupun ahlak mulia. Rasulullah pernah menginformasikan, 
عُرِضَ عَلَىَّ الأَنْبِيَاءُ فَإِذَا مُوسَى ضَرْبٌ مِنَ الرِّجَالِ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَرَأَيْتُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ -عَلَيْهِ السَّلاَمُ- فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ -صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ- فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ -يَعْنِي نَفْسَهُ
“Telah ditampakkan kepadaku para Nabi, maka (aku melihat) Musa seperti seorang laki-laki yang kekar dari daerah Syanu`ah (Yaman). Aku melihat Isa bin Maryam, maka orang yang saya ketahui sangat mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud, aku juga melihat Ibrahim, orang yang saya ketahui sangat mirip dengannya adalah sahabat kalian  (Rasulullah). Aku juga melihat Jibril, orang yang saya lihat mirip dengannya adalah Dihyah yaitu Ibnu Khalifah Al Kalbi. (HR. Muslim no. 167).
Keistimewaan dan Kemulian nabi Ibrahim juga bisa ditegaskan dalam beberapa bentuk:
Pertama, Allah memujinya dengan pujian yang besar, 
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ . شَاكِرًا لأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ . وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ) (النحل:120-122)، 
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. (an-Nahl 120-122)
 وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (النجم:37). 
dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (an-Najm 37)
Kedua, Allah menisbatkan agama samawi kepadanya dan mewajibkan semua manusia mengikutinya (al-An’am 161, al-Baqarah 130). 
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (النحل:123)، 
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (an-Nahl 123)
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ 
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik”. (QS al-An’am: 161)
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ 
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (QS al-Baqarah: 30)
Ketiga, manusia pertama yang diberikan pakaian pada hari kiamat. 
Rasulullah bersabda, 
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تُحْشَرُونَ إِلَى اللهِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً (كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ) (الأنبياء: 104)، أَلا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلائِقِ يُكْسَى، يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلامُ) (متفق عليه).
“Hai manusia, sesungguhnya kalian akan dikumpulkan di hadapan Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan belum berkhitan”. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya) “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kami lah yang akan melaksanakannya. [Al-Anbiyaa’ : 104] Ketahuilah, sesungguhnya manusia yang pertama kali diberi pakaian pada hari kiamat adalah Ibrahim AS. [HR. Muslim juz 4, hal. 2195]
Bersambung in sya Allah…

Leave a Comment