Fatwapedia.com – Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang rukun dan syaratnya telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu dituntut untuk sesuai dengan kaifiyat Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Malik bin al-Khuwairits
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat” (H.R. Bukhari, Sahih al-bukhari, 1/129)
Dalam menentukan kaifiyat salat yang sesuai dengan Rasul Sallallahu alaihi wasallam, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama aspek kekuatan dalil harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yaitu sahih atau hasan. Seandainya dhaif, maka dalil tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Kedua, aspek penunjukan dilalah harus menunjukan secara jelas dan pasti apa yang dimaksud (sarih) yaitu tidak mengandung berbagai kemungkinan penunjukan yang lain atau ihtimalat.
Dengan demikian jika hadis itu sahih tapi tidak sarih atau mengandung ihtimalah, maka tidak dapat dijadikan hujjah, begitu pula sebaliknya jika hadisnya sarih (tidak ihtimalat) namun hadisnya dhaif, maka tidak dapat dijadikan hujjah pula.
Terkait dengan kaifiyat sujud ada segolongan ulama yang mensyariatkan posisi kaki dirapatkan ketika sujud dengan argumentasi, pertama dari sahabat Aisyah RA
فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
“Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu malam ditempat tidur, lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan” (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 2/51)
Dalam hadis tersebut, kalimat “maka aku memegang kedua telapak kakinya” secara zahir menunjukan posisi kedua kaki Rasulullah Saw adalam keadaan dirapatkan. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan kalimat “kedua kakinya tersebut ditegakkan” semakin jelas menunjukan bahwa kaki RAsulullah Saw keduanya ditegakan dalam keadaan rapat, sehingga memungkinkan dijangkau oleh Aisyah RA.
Kedua, hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah pula
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ مَعِى عَلَى فِرَاشِى ، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ :« أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ ، وَبِكَ مِنْكَ ، أُثْنِى عَلَيْكَ لاَ أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ
Aisyah Berkata : “Aku mencari-cari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelumnya beliau bersamaku di ranjangku, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan bersujud dengan menempelkan kedua tumitnya sementara ujung jari jemari kakinya dihadapkan ke arah kiblat. Aku mendengar beliau membaca, “Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan maaf-Mu dari siksa-Mu, dengan-Mu (aku berlindung) dari (azab)-Mu, aku memujimu dan aku tidak dapat meraih semua apa yang ada pada-Mu.” (H.R. al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 2/116)
Hadis diatas diriwayatkan juga oleh Ibn Khuzaimah, Sahih Ibn Khuzaimah 1/328, at-Thahawi, Syarah Musykil al-Atsar 1/104, Ibn al-Mundzir, al-Ausath 3/172, dan al-Hakim, al-Mustadrak, 1/228.
Wajhul istidllanya kalimat
فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ
“aku dapati beliau dalam keadaan bersujud dengan menempelkan kedua tumitnya sementara ujung jari jemari kakinya dihadapkan ke arah kiblat”
Menunjukan secara sarih bahwa hadis Rasul merapatkan atau menempelkan satu sama lain telapak kakinya ketika sujud. Diantara ulama kontemporer yang berpendapat dirapatkan diantaranya Syaikh Nashiruddin al-Albani dan Syaikh Utsaimin.
Menurut pandangan kami kedua hadis diatas tidak dapat dijadikan hujjah dirapatkannya kaki ketika sujud, alasannya sebagai berikut, pertama wajhul istidlal
فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ
“maka aku memegang kedua telapak kakinya”
Kalimat diatas tidak menunjukan secara pasti bahwa kaki Rasulullah Saw dipastikan dirapatkan, tapi masih ihtimalat atau mengandung kemungkinan kesimpulan yang lain. Semata Aisyah memegang kedua kaki Rasul Saw, tidak memestikan keduanya dirapatkan. Begitu juga dengan kalimat
وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
“kedua kakinya tersebut ditegakkan”
Tidak menunjukan bahwa ketika kedua kaki ditegakkan, dipastikan dirapatkan. Kedua wajhul istidlal tersebut dilalahnya masih ihtimal, maka tidak dapat dijadikan hujjah. Sesuai dengan kaidah
مع الاحتمال يسقط الإستدلال
Bersamaan dengan adanya ihtimal maka gugurlah istidlal (ta’sis al-Ahkam, 2/80)
Sedangkan dalil yang kedua, walaupun diriwayatkan oleh banyak mukharrij, namun sanadnya bermuara pada rawi yang bernama Yahya bin Ayyub al-Ghafiqi. Para ulama terbagi menjadi dua, pertama yang menta’dil atau mentsiqahkan Imam Abu Dawud “Laisa bihi Ba’tsun” Yahya bin Ma’in “Shalih” pada kesematan lain “tsiqah” Ibn Hibban memasukannya dalam kitab at-Tsiqat. Ulama yang menjarh diantaranya Imam Ahmad, “Sayyi’ al-hifdzi”, Abu Hatim “mahallu Yahya as-sidqu, yuktabu haditsuhu wa la yuhtajju bihi”, Imam Nasa’I “laisa bi al-Qawwi” (Tahdzib al-Kamal, 31/236). Jika dianalisis, maka ta’dil masih mujmal atau ghair mufassar.
Disamping itu, lafadz ta’dil atau tautsiq tersebut dapat ditempatkan pada aspek ‘adalah saja, bukan dari aspek hafalan. Sedangkan yang menjarh, tidak mempermasalahkan keadilan rawi, tapi pada aspek hafalan. Disamping lafadz jarh termasuk jarh mufassar karena tertuju langsung pada hafalan hafalan Yahya. Sesuai dengan kaidah jarh yang mufassar didahulukan dari pada ta’dil mujmal.
Karena itu imam Abu Hatim sangat tepat memasukan yahya sebagai orang yang dicatat hadisnya, namun tidak dijadikan hujjah. Artinya jika tafarrud, maka hadisnya dhaif, namun jika ada mutaba’ah, maka hadisnya dapat naik menjadi hasan. Sedangkan hadis Yahya tidak ditemukan riwayat penguat, adapun hadis Aisyah dalam riwayat Muslim, tidak dapat menaikan status hadis Yahya, karena dilalahnya berbeda. Sehingga status hadis Yahya adalah dhaif. kesimpulannya walaupun dilalahnya sarih, namun hadis bermasalah dari segi kekuatan dalil, sehingga tetap tidak dapat dijadikan hujjah.
Jika hadis telapak kaki dirapatkan lemah, maka kaifiyat yang lebih tepat adalah direnggangkan dengan dalil-dalil dan qorinah sebagai berikut.
Pertama hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Humaid
وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ
Dan apabila beliau sujud, maka merenggangkan tanpa membebankan perutnya pada pahanya sedikitpun (H.R. al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 2/115)
Dalam hadis diatas, beliau merenggangkan pahanya. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Ungkapan ‘merenggangkan kedua pahanya’ maksudnya adalah merenggangkan antara kedua pahanya, kedua lututnya dan kedua telapak kakinya.” Para ulama dalam mazhab Syafii berkata, ‘Merenggangkan antara kedua telapak kaki seukurang sejengkal.” (Nailul Authar, 2/297) Walaupun hadis inipun ihtimal, namun secara tahqiq posisi kaki lebih dekat direnggangkan sebagaimana paha daripada dirapatkan.
Kedua kesaksian Abdurrahman seorang tabi’in yang salat dibelakang 18 sahabat
عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ
“dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata, pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini. (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/109)
Ketiga, hadis dari Rifa’ah bin Rafi
ثُمَّ اعْتَدِلْ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ فَاعْتَدِلْ سَاجِدًا
Kemudian tegak luruslah dalam keadaan berdiri, lalu sujud dan luruskan (sujudnya) (H.R. Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 2/100)
Keempat, hadis dari Abu Humaid as-Sa’idi
وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ
Dan beliau menghadapkan jari-jari kedua kakinya kearah kiblat (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/165)
Posisi sebelum sujud adalah qiyam I’tidal. Sedangkan dalam posisi qiyam I’tidal disyariatkan untuk merenggangkan kaki, bukan merapatkannya. Begitu pula dalam posisi sujud kita diperintahkan untuk meluruskan sujudnya, tentu saja maksudnya posisi kami direngangkan sehingga sejajar dengan bahu, sebagaimana I’tidal dalam qiyam salat, bukan dengan cara dirapatkan. Disamping itu, dalam hadis Abu Humaid as-Sa’idi disyariatkan untuk menghadapkan jari-jari kaki ketika sujud ke arah kiblat, maka yang paling memungkinkan adalah dengan cara merenggang kaki bukan dengan cara dirapatkan. Karena itu hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh imam Muslim dengan berbagai qorinah diatas, sebagai tahqiq ihtimal bahwa posisi kaki Rasulullah Saw waktu itu adalah direnggangkan bukan dirapatkan.
Dengan demikian kesimpulannya, pertama, hadis yang dijadikan dalil sarih merapatkan telapak kaki ketika sujud hadisnya dhoif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Kedua, hadis Aisyah yang sahih tidak dapat dijadikan dalil merapatkan telapak kaki, karena masih ihtimal antara merapatkan dan tidak. Ketiga, tahqiq ihtimalnya adalah direnggangkan bukan dirapatkan berdasarkan qorinah hadis-hadis lain. Keempat, kaifiyat posisi telapak kaki ketika sujud adalah direnggangkan, bukan dirapatkan. Wallahu’alam.
Ditulis oleh Ginanjar Nugraha