Al-Syaikh Ali Jum’ah hafizhahullah menyebutkan bahwa orang awwam pada zaman para Shahabat dan Tabi’in apabila terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang baru, mereka dengan cepat menuju kepada para Shahabat dan Tabi’in untuk bertanya kepada mereka tentang hukum Allah atas kejadian baru tersebut, dan para Shahabat dan Tabi’in menjawab permasalahan-permasalahan tersebut tanpa mengingkari perbuatan mereka tersebut, dan tidak ada riwayat dari mereka yang memerintahkan para penanya untuk melakukan ijtihad agar dapat mengetahui hukum dengan diri mereka sendiri, maka hal tersebut telah menjadi sebuah Ijma’ dari kalangan Shahabat dan Tabi’in ke atas siapa saja yang tidak mampu melakukan ijtihad, maka jalan untuk memperoleh pengetahuan adalah bertanya kepada yang mampu, maka membebani taklif untuk berijtihad bagi orang awwam menyelisihi Ijma’ Sukuti tersebut.
Demikian, para Shahabat dan Tabi’in telah melakukan praktek Taqlid pada zamannya masing-masing yang tidak ada seorangpun pada zaman tersebut yang mengingkarinya, hal tersebut memberikan implikasi adanya suatu Ijma’ Sukuti atas keabsahan bertaqlid bagi orang yang tidak mampu untuk berijtihad sebagaimana Mujtahid.
Para Shahabat Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam mereka berbeda-beda tingkatan dalam keilmuan, tidak seluruh mereka yang menjadi ahli fatwa dan tidaklah agama diambil dari setiap mereka. Bahkan orang yang menjadi Mufti dan Mujtahid di kalangan mereka hanya sedikit dibandingkan jumlah mereka secara keseluruhan, diantara mereka ada para mustafti (yang meminta fatwa) dan muqallid (yang bertaqlid), dan mereka ini jumlahnya banyak dan dominan dalam kalangan para Shahabat, dan para Mufti dari kalangan para Shahabat tidak mengharuskan untuk menyebut hukum (yang ditanyakan) disertakan dengan penjelasan dalil kepada mustafti, dan Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam telah mengutus ahli Fiqh dari kalangan Shahabat pergi ke suatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam sama sekali sampai-sampai pada perkara Aqidah dan keyakinan tentang rukun-rukunnya, maka mereka mengikutinya pada setiap apa yang difatwakan bagi mereka dengannya dan memberi mereka tanggungan dengannya berupa amalan-amalan, ibadah, muamalat, dan kebanyakan tentang perkara-perkara halal dan haram, dan kadang-kadang dihadapkan kepadanya perkara yang tidak didapati di dalamnya suatu dalil dari al-Kitab maupun al-Sunnah, maka dia berijtihad di dalamnya dan memberikan fatwa kepada mereka dengan hasil ijtihadnya, maka mereka bertaqlid kepadanya dalam hal tersebut.
Disebutkan oleh al-Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa:
إجماع الصحابة، فإنهم كانوا يفتون العوام، و لا يأمرونهم بنيل درجة الإجتهاد، و ذلك معلوم على الضرورة و التواتر على علمائهم و عوامهم.
Artinya: “Kesepakatan Shahabat, mereka memberikan fatwa kepada orang awwam, dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajat ijtihad, hal tersebut sudah sangat maklum dan mutawattir bagi ulama maupun awwam pada zaman mereka.”
Berkata al-Imam al-Amidi rahimahullah dalam kitabnya al-Ihkam tatkala menyebutkan adanya Ijma’ berdasarkan sikap para Shahabat dan Tabi’in:
أما الإجماع فهو أنه لم تزل العامة في زمن الصحابة و التابعين قبل حدوث المخالفين يستفتون المجتهدين و يتّبعونهم في الأحكام الشرعية و العلماء يبادرون إلى إجابة سؤالهم من غير إشارة إلى ذكر الدليل، و لا ينهونهم عن ذلك من غير نكير، فكان إجماعا على جواز اتّباع العامي للمجتهد مطلقاً.
Artinya: “Adapun Ijma’, bahwa senantiasa orang awwam pada zaman Shahabat dan Tabi’in sebelum munculnya para penyelisih, meminta fatwa kepada para Mujtahid dan mengikuti mereka dalam hukum-hukum syariat, dan para ulama lekas memberikan jawaban atas pertanyaan mereka tanpa ada isyarat atas adanya penyebutan dalil, dan mereka tidak melarang hal tersebut kepada mereka dari hal tersebut (yakni) tanpa adanya pengingkaran, maka jadilah sebuah Ijma’ (konsensus) atas kebolehan ikutnya orang awwam kepada para Mujtahid secara mutlak.”
Adapun orang-orang yang menjadi sumber rujukan dalam memberi fatwa pada zaman Shahabat hanya beberapa saja sebatas yang dikenal di kalangan para Shahabat sebagai ahli Fiqh, riwayat, dan cakap dalam penggalian hukum (istinbath). Yang termasyhur diantara mereka adalah para Khalifah yang empat yakni Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar, Sayyidina, Utsman, dan Sayyidina Ali, kemudian Sayyidina Abdullah bin Mas’ud, Sayyidina Abu Musa al-Asy’ari, Sayyidina Mu’adz bin Jabal, Sayyidina Ubay bin Ka’ab, dan Zayd bin Tsabit ridhwanullahi ta’ala alayhim ajma’in, adapun para muqallid (orang melakukan Taqlid) jauh lebih banyak jumlahnya melampaui hitungan.
Adapun pada zaman para Tabi’in, dimana ruang lingkup ijtihad telah diperluas, orang-orang Muslim pada zaman tersebut mengikuti jalan yang sama dengan jalan yang dijalani para Shahabat Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam, bahkan model ijtihad (mereka) tergambar dengan jelas pada dua madzhab utama yaitu madzhab ahli al-Ra’yu dan ahli al-Hadith.
Di antara ulama yang menjadi poros madzhab al-Ra’yu di Iraq: Alqamah bin Qays al-Nakha’i, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani, Ibrahim bin Zayd al-Nakha’i, dan Sa’id bin Jubayr rahmatullahi ta’ala alayhim ajma’in, adapun masyarakat umum di Iraq dan sekitarnya mereka semua bertaqlid kepada madzhab tersebut tanpa ada pengingkaran.
Di antara ulama yang menjadi poros madzhab al-Hadith di Hijaz: Sa’id bin al-Musayyib al-Makhzumi, Urwah bin al-Zubayr, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulayman bin Yasar, dan Nafi’ maula Abdullah bin Umar rahmatullahi ta’ala alayhim ajma’in, adapun masyarakat umum di Hijaz dan sekitarnya mereka semua bertaqlid kepada madzhab tersebut tanpa ada pengingkaran.
Oleh karena itu menurut al-Imam al-Kiranwi rahimahullah bahwa kalau sekiranya Taqlid itu terlarang, maka para mufti tidak akan memberikan fatwa, bahkan mereka akan berkata kepada yang meminta fatwa: “Berijtihadlah sebagaimana kami berijtihad, dan ketahuilah hukum dan dalil-dalil syariat dan janganlah engkau bertanya kepada kami!”, dan merupakan perkara yang diketahui tidak seperti itu yang terjadi pada setiap generasi atau zaman umat Islam, bahkan ada orang-orang yang menjadi peminta fatwa dan ada yang menjadi pemberi fatwa, dan dapat diketahui darinya bahwa cara (maslak) bertaqlid merupakan hal yang diwariskan turun-temurun dan zaman para Salaf.
Demikian, apabila ditinjau dari aspek sejarah, praktek Taqlid sudah menjadi kebiasaan bagi setiap orang yang tidak bisa melakukan ijtihad dalam masyarakat di setiap generasi umat secara umum yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi Salaf hingga saat ini. Wallahu a’lam.
Oleh: Shadiq Sandimula