Oleh: Muhammad Atim
Fatwapedia.com – Ahlus Sunnah artinya orang-orang yang berpegang teguh dalam pemahaman aqidah kepada jalur yang telah digariskan oleh sunnah Rasulullah ﷺ. Hal itu telah diperankan oleh generasi Salafush Shaleh, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Terutama dalam menghadapi pemahaman dan kelompok yang menyimpang dari akidah yang benar. Maka bisa kita katakan bahwa aqidah Ahlus Sunnah adalah aqidah Salaf.
Untuk memahami aqidah Salaf tersebut, kita harus memahami perkataan mereka dengan benar, secara utuh dan menyeluruh, serta menggali prinsip-prinsip yang menjadi pijakan mereka.
Prinsip-prinsip ini sebenarnya telah disingkap oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka dengan menghadirkan perkataan mereka, menelaahnya dan menyimpulkannya. Hanya mungkin bagi sebagian kalangan kitab-kitab tersebut kurang akrab, dan tak sedikit perkataan mereka disalahpahami, karena tidak memahaminya secara utuh.
Satu hal yang mesti diingat, bahwa manhaj Salafush Shaleh dalam aqidah adalah manhaj yang orisinil. Lahir dari pemahaman terhadap syariat yang menyeluruh, serta berpijak kepada petunjuk bahasa Arab yang murni. Tidak terkontaminasi oleh logika-logika Yunani yang asing bagi syariat dan bahasa Arab itu sendiri.
Prinsip-prinsip dalam memahami sifat-sifat Allah sebagaimana telah digariskan oleh Salafush Shaleh, bisa kita simpulkan sebagai berikut :
1. Menetapkan setiap sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah
2. Menetapkannya tidak disertai dengan menyerupakan dengan makhluk (tasybih)
3. Menetapkannya tidak disertai dengan menetapkan gambaran bagaimananya (takyif)
4. Tidak menolak/mengabaikannya (ta’thil)
5. Menolak tersebut tidak hanya secara terang-terangan, tetapi termasuk juga secara halus yaitu dengan merubah-rubah maknanya (tahrif), yang mereka istilahkan dengan istilah yang halus yaitu ta’wil.
Banyak sekali para ulama yang menggambarkan aqidah Salaf yang memuat prinsip-prinsip tersebut, di antaranya Al-Khattabi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Abu Bakar Al-Ismaili, Yahya As-Sajzi, Abu Utsman Ash-Shabuni, Abu Ismail Al-Anshari Al-Harawi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Abi Zamanain, dan banyak lagi selain mereka, termasuk Ibnu Taimiyyah.
Kita akan dapati dari penggambaran mereka adanya kesamaan dan keserasian.
Di sini saya merasa cukup untuk menukil sebagiannya saja, karena khawatir menjadi terlalu panjang. Sisanya silahkan mengecek ke sumber-sumbernya.
Abu Sulaiman Al-Khattabi (w. 388 H) berkata :
فأما ما سألت عنه من الصفات وما جاء منها في الكتاب والسنة، فإن مذهب السلف إثباتها وإجراؤها على ظواهرها ونفي الكيفية والتشبيه عنها، وقد نفاها قوم فأبطلوا ما أثبته الله، وحققها قوم من المثبتين، فخرجوا في ذلك إلى ضرب من التشبيه والتكييف، وإنما القصد في سلوك الطريقة المستقيمة بين الأمرين، ودين الله تعالى بين الغالي فيه والجافي والمقصر عنه.
والأصل في هذا: أن الكلام في الصفات فرع على الكلام في الذات، ويحتذي في ذلك حذوه ومثاله.
فإذا كان معلومًا أن إثبات الباري سبحانه إنما هو إثبات وجود لا إثبات كيفية، فكذلك إثبات صفاته إنما هو إثبات وجود لا إثبات تحديد وتكييف.
فإذا قلنا: يد وسمع وبصر وما أشبهها، فإنما هي صفات أثبتها الله لنفسه.
ولسنا نقول: إن معنى اليد: القوة أو النعمة، ولا معنى السمع والبصر: العلم، ولا نقول: إنها جوارح، ولا نشبهها بالأيدي والأسماع والأبصار التي هي جوارح وأدوات للفعل.
ونقول: إن القول إنما وجب بإثبات الصفات؛ لأن التوقيف ورد بها، ووجب نفي التشبيه عنها؛ لأن الله ليس كمثله شيء، وعلى هذا جرى قول السلف في أحاديث الصفات
“Maka adapun apa yang kamu tanyakan tentangnya dari sifat-sifat dan apa yang datang tentangnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka madzhab Salaf adalah menetapkannya dan membiarkannya sebagaimana zahirnya, menafikan kaifiyyah dan tasybih darinya. Sungguh, suatu kaum telah menafikannya, maka mereka menggugurkan apa yang telah Allah tetapkan. Dan suatu kaum dari kalangan yang menetapkan, mereka mentahqiq/lebih menetapkan lagi, maka mereka keluar dalam hal itu kepada suatu bentuk penyerupaan (tasybih) dan penggambaran (takyif). Yang menjadi tujuan adalah menempuh jalan yang lurus di antara dua perkara tersebut. Agama Allah ini ada di antara yang berlebih-lebihan (ghuluw) dan yang jauh dan mengurang-ngurangi (taqshir).
Pokok dalam hal ini adalah bahwa berbicara tentang sifat adalah cabang dari berbicara tentang zat. Sejajar dan semisal dengannya dalam hal itu.
Apabila diketahui bahwa menetapkan adanya Allah Sang Pencipta, hanyalah menetapkan keberadaan-Nya, tidak menetapkan gambarannya, begitu pula menetapkan sifat-sifat-Nya, hanyalah menetapkan keberadaan bukan menetapkan penentuan dan penggambarannya. Maka apabila kita berkata, tangan, pendengaran, penglihatan, dan semisalnya, itu adalah sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya.
Kita tidak mengatakan, “sesungguhnya makna “yad” adalah kekuatan atau nikmat. Tidak pula makna as-sam’u dan al-bashar adalah ilmu. Dan kita tidak mengatakan bahwa itu adalah organ-organ. Kita tidak menyerupakannya dengan tangan-tangan, pendengaran-pendengaran dan penglihatan-penglihatan yang hal itu merupakan organ-organ dan alat-alat untuk pekerjaan.
Dan kami katakan, sesungguhnya perkataan wajib mengitsbat sifat itu, karena taukif (nash) datang membawanya, dan wajib menafikan tasybih darinya, karena Allah tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya. Di atas hal inilah perkataan Salaf berjalan tentang hadits-hadits sifat.”
(Perkataan Al-Khattabi tersebut terdapat dalam risalahnya yang terkenal yaitu Al-Ghunyah ‘anil Kalam wa Ahlihi, namun risalah tersebut hilang, tetapi telah dinulik oleh para ulama di antaranya oleh Al-Ghazali dalam kitab Shaunul Mantik wal Kalam ‘an Fannil Mantiq wal Kalam, 1/137, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Al-Fatawa, 3/167, 5/58-59, Adz-Dzahabi dalam Al-Arba’in fi Shifati Rabbil ‘Alamin, hal. 93).
Abu Utsman Ash-Shabuni (w. 449 H) berkata :
أصحاب الحديث -حفظ الله أحياءهم ورحم أمواتهم- يشهدون لله تعالى بالوحدانية، وللرسول ﷺ بالرسالة والنبوة، ويعرفون ربهم عز وجل بصفاته التي نطق بها وحيه وتنزيله، أو شهد له بها رسوله ﷺ على ما وردت الأخبار الصحاح به، ونقلت العدول الثقات عنه، ويثبتون له جل جلاله ما أثبت لنفسه في كتابه، وعلى لسان رسوله ﷺ، ولا يعتقدون تشبيهاً لصفاته بصفات خلقه، فيقولون: إنه خلق آدم بيديه، كما نص سبحانه عليه في قوله عز من قائل: ﴿قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ﴾ )ص : ٧٥). ولا يحرفون الكلم عن مواضعه بحمل اليدين على النعمتين أو القوتين، تحريف المعتزلة الجهمية -أهلكهم الله- ولا يكيفون بكيف أو شبهها بأيدي المخلوقين تشبيه المشبهة -خذلهم الله-
“Ashabul Hadits (orang-orang yang berpegang teguh kepada hadits Rasulullah ﷺ) -semoga Allah menjaga mereka yang masih hidup dan merahmati mereka yang telah meninggal- mereka bersaksi untuk Allah ta’ala dengan keesaan, dan bagi Rasulullah ﷺ dengan kerasulan dan kenabian. Mereka mengenal Rabb mereka Azza wa Jalla dengan sifat-sifat-Nya yang telah diucapkan oleh wahyu-Nya dan Al-Qur’an yang telah diturunkan oleh-Nya, atau yang telah disaksikan oleh rasul-Nya ﷺ atas apa yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih, dan telah diriwayatkan oleh para perowi yang adil dan terpercaya. Mereka menetapkan bagi Allah Yang Maha Mulia apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam kitab-Nya, dan di atas lisan rasul-Nya ﷺ. Mereka tidak meyakini keserupaan bagi sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhuk-Nya. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya”, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dalam firman-Nya, “Allah berfiman, “Wahai Iblis, apa yang menghalangimu untuk bersujud kepada orang yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shad : 75). Mereka tidak merubah perkataan dari tempat-tempatnya dengan mengarahkan makna dua tangan kepada dua kenikmatan atau dua kekuatan sebagaimana penyelewengan yang dilakukan oleh Mu’tazilah Jahmiyyah -semoga Allah membinasakan mereka- dan mereka tidak menggambarkan dengan suatu gambaran atau menyerupakannya dengan tangan-tangan makhluk seperti penyerupaan yang dilakukan oleh kaum musyabbihah -semoga Allah menghinakan mereka-.” (Aqidatus Salaf wa Ashabil Hadits, hal. 160-162).
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata :
وَجِمَاعُ الْقَوْلِ فِي إثْبَاتِ الصِّفَاتِ هُوَ الْقَوْلُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا وَهُوَ أَنْ يُوصَفَ اللَّهُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ وَبِمَا وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ وَيُصَانُ ذَلِكَ عَنْ التَّحْرِيفِ وَالتَّمْثِيلِ وَالتَّكْيِيفِ وَالتَّعْطِيلِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ لَا فِي ذَاتِهِ وَلَا فِي صِفَاتِهِ وَلَا فِي أَفْعَالِهِ فَمَنْ نَفَى صِفَاتِهِ كَانَ مُعَطِّلًا. وَمَنْ مَثَّلَ صِفَاتِهِ بِصِفَاتِ مَخْلُوقَاتِهِ كَانَ مُمَثِّلًا وَالْوَاجِبُ إثْبَاتُ الصِّفَاتِ وَنَفْيُ مُمَاثَلَتِهَا لِصِفَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ إثْبَاتًا بِلَا تَشْبِيهٍ وَتَنْزِيهًا بِلَا تَعْطِيلٍ كَمَا قَالَ تَعَالَى ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ﴾ فَهَذَا رَدٌّ عَلَى الْمُمَثِّلَةِ ﴿وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾ رَدٌّ عَلَى الْمُعَطِّلَةِ، فَالْمُمَثِّلُ يَعْبُدُ صَنَمًا وَالْمُعَطِّلُ يَعْبُدُ عَدَمًا.
“Perkataan yang paling lengkap tentang menetapkan sifat-sifat adalah perkataan yang dipegang oleh Salaful Ummah dan para imamnya, yaitu bahwa Allah disifati dengan apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan oleh rasul-Nya. Hal tersebut dijaga dari penyelewengan/pengubahan (tahrif), penyerupaan (tamtsil), penggambaran (takyif), dan penolakan (ta’thil). Karena Allah tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya, baik pada zat-Nya, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya. Maka siapa yang menafikan sifat-sifat-Nya, maka dia adalah mu’athil, dan siapa yang menyerupakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya, ia adalah mumatsil. Yang wajib adalah menetapkan sifat dan menafikan penyerupaannya kepada sifat-sifat makhluk, dengan penetapan yang tanpa ada penyerupaan, mensucikan dengan tanpa menafikan, sebagaimana Allah berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya.” Ini adalah bantahan kepada kelompok mumatsil (yang menyerupakan), “Dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” ini adalah bantahan kepada kelompok mu’athilah (yang menafikan). Orang-orang yang menyerupakan itu menyembah kepada berhala, dan orang-orang yang menafikan itu menyembah kepada yang tidak ada.” (Majmu Fatawa, 6/515).
Jika kita pahami dengan baik prinsip-prinsip di atas, maka akan jelas bagi kita, ketika diperselisihkan apakah Salaf itu mengitsbat makna zahirnya ataukah mentafwid maknanya, maka yang benar adalah mereka mengitsbat makna zahirnya. Hal itu sangat mudah dipahami dari prinsip di atas.
Pahami poin-poin berikut :
1. Arti “mengitsbat” itu sendiri mestilah menunjukkan secara sempurna dan utuh, yaitu mencakup lafazh dan makna yang dikandungnya. Kalau hanya sebatas mengitsbat lafazhnya, maka berarti kelompok menyimpang seperti Jahmiyyah dan Mu’tazilah tidak akan dianggap menyimpang karena mereka juga menetapkan lafazhnya tapi dengan menyelewengkan maknanya
2. Ketika kita diperintahkan untuk menetapkan sebagaimana datangnya, atau apa adanya, atau secara zahirnya, lalu ada larangan jangan menyerupakan dengan makhluk. Artinya antara perintah dan larangan tersebut tidaklah bertentangan. Menetapkan sebagaimana zahirnya tidaklah berarti otomatis menyerupakan dengan makhluk. Menyerupakan dengan makhluk itu adalah adanya tambahan dari sebatas menetapkan. Ini yang kurang dipahami oleh sebagian kalangan. Ketika kita mengatakan, Allah memiliki wajah, tangan, mata, beristiwa di atas Arsy, dll, itu adalah menetapkan sebagaimana yang Allah informasikan. Sedangkan menyerupakan dengan makhluk itu jika ditambahi, Allah memiliki tangan seperti tangan makhluk, dst.
3. Adanya larangan menetapkan gambaran bagaimananya (takyif), artinya ada makna yang dipahami, hanya jangan digambarkan. Kalau maknanya jangan dipahami sama sekali harusnya “bila fahmin” bukan “bila takyif”. Tidak ada artinya menyebutkan “bila takyif” kalau tidak ada makna yang dipahami sama sekali. Tidak ada artinya kalau kita bertanya kepada seseorang, “Apakah kamu tahu kuda?” Ia menjawab, “Saya tidak tahu”, lalu kita bertanya lagi, “Bagaimana bentuknya?” Itu tidak akan dilakukan oleh orang berakal. Kita bertanya bagaimana bentuknya kalau ia menjawab, “Iya, saya tahu”. Kita dilarang menanyakan bagaimana, membayangkan dan menetapkan gambaran dari sifat-sifat Allah, artinya ada pemahaman terhadap maknanya, meskipun pemahaman tersebut sedikit, hanya secara global atau makna kullinya saja. Adakah sesuatu yang lain yang dipahami maknanya tetapi tidak diketahui bentuk gambarannya (kaifiyyahnya)? Ada, contohnya apa yang Allah sebutkan tentang surga. Ketika Allah menyebutkan di surga ada sungai-sungai, pohon-pohon, buah-buahan, makanan, minuman, bidadari, dsb, bukankah kita memahami maknanya sedangkan kaifiyyahnya tidak kita ketahui? Keduanya sama-sama sebagai hal yang ghaib. Kita paham maknanya tapi tidak tahu gambarannya. Wallahu A’lam.
t.me/butirpencerahan
t.me/maisy_institute