Puasa adalah Amalan Sunnah Bulan Sya'ban yang Paling Utama

Puasa adalah Amalan Sunnah Bulan Sya'ban yang Paling Utama

Fatwapedia.com – Karena posisi bulan Sya’ban yang terjepit antara Rajab dan Ramadhan, maka kebanyakan orang tidak memperhatikan untuk berpuasa pada bulan ini. Mereka beranggapan sebentar lagi masuk bulan Romadhon, dimana diwajibkan berpuasa pada bulan tersebut, sehingga dianggap berat kalau berpuasa pada bulan Sya’ban, atau mereka belum mengetahui keutamaan berpuasa pada bulan Sya’ban, sehingga tidak perhatian untuk berpuasa padanya. Namun berbeda dengan kebanyakan umatnya, Nabi sholallahu alaihi wa salam banyak berpuasa pada bulan Sya’ban dibandingkan pada bulan-bulan lain, selain Romadhon. 

Atas hal ini maka salah seorang sahabat yang merupakan kesayangan Nabi sholallahu alaihi wa salam yang merupakan anak dari bekas anak angkat Beliau pada masa sebelum Nabi sholallahu alaihi wa salam diutus menjadi Nabi, yaitu Zaid bin Haritsah rodhiyallahu anhu, yang memiliki anak yang bernama Usamah bin Zaid rodhiyallahu anhumaa. Usamah sempat bertanya kepada Nabi sholallahu alaihi wa salam perihal banyaknya Nabi sholallahu alaihi wa salam melakukan puasa pada bulan ini, tanya beliau :

ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻟَﻢْ ﺃَﺭَﻙَ ﺗَﺼُﻮﻡُ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸُّﻬُﻮﺭِ ﻣَﺎ ﺗَﺼُﻮﻡُ ﻣِﻦْ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ، ﻗَﺎﻝَ : ‏« ﺫَﻟِﻚَ ﺷَﻬْﺮٌ ﻳَﻐْﻔُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑَﻴْﻦَ ﺭَﺟَﺐٍ ﻭَﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﻭَﻫُﻮَ ﺷَﻬْﺮٌ ﺗُﺮْﻓَﻊُ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ، ﻓَﺄُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﻋَﻤَﻠِﻲ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺻَﺎﺋِﻢٌ »

“Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa  (hampir sebulan penuh –pent.) pada bulan-bulan lain, selain bulan Sya’ban?”,

Nabi sholallahu alaihi wa salam menjawab : “bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, yaitu karena terletak diantara Rojab dan Romadhon. Pada bulan ini seluruh amalan dilaporkan kepada Rabb semesta alam, maka aku senang jika amalku diangkat kepadaNya dalam keadaan berpuasa”.

Takhrij Hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dalam Sunannya (no. 2357 –pen. Maktabah al-Mathbu’ah Islamiyyah), Imam Ahmad dalam al-Musnad (no. 21753 –pen. Ar Risalah), dan selainnya dari jalan (lafadznya Sunan Nasa’i –pent.) :

ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺛَﺎﺑِﺖُ ﺑْﻦُ ﻗَﻴْﺲٍ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﻐُﺼْﻦِ، ﺷَﻴْﺦٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ، ﻗَﺎﻝَ : ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﺃَﺑُﻮ ﺳَﻌِﻴﺪٍ ﺍﻟْﻤَﻘْﺒُﺮِﻱُّ، ﻗَﺎﻝَ : ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﺃُﺳَﺎﻣَﺔُ ﺑْﻦُ ﺯَﻳْﺪٍ، ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﺖُ :

“Haddatsanaa Tsaabit bin Qois Abul Ghusn –syaikh dari Madinah– ia berkata, haddatsani Abu Sa’id al-Maqbariy ia berkata, haddatsani Usaamah bin Zaid ia berkata: “aku bertanya: …”.

Asy-Syaikh Syu’aib Arnauth dalam Ta’liq Musnad Ahmad” berkata tentang sanad hadits ini :

ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺣﺴﻦ، ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﺃﺑﻮ ﻏﺼﻦ ﺻﺪﻭﻕ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﺑﺎﻗﻲ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺨﻴﻦ . ﺃﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﻱ : ﺍﺳﻤﻪ ﻛَﻴْﺴﺎﻥ .

“Sanadnya Hasan, Tsaabit bin Qois Abu Gushn, shoduq hasan haditsnya, sisa perowinya adalah para perowi tsiqoh, perowi Bukhori-Muslim. Abu Sa’id al-Maqbariy namanya adalah Kaisaan.” -selesai-.

Asy-Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam al-Ityubi dalam kitabnya 

“Dakhirotul Uqbaa” (21/268) menyebutkan tentang pemahaman hadits ini dengan hadits lainnya, beliau menukil :

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻭﻟﻲّ ﺍﻟﺪﻳﻦ – ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :- ﺇﻥ ﻗﻠﺖ : ﻣﺎ ﻣﻌﻨﻰ ﻫﺬﺍ ﻣﻊ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ “ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ” ﺃﻥ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳُﺮﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻗﺒﻞ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ، ﻭﻋﻤﻞ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻗﺒﻞ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻠﻴﻞ” ؟ .

ﻗﻠﺖ : ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻣﺮﻳﻦ :

( ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ‏) : ﺃﻥ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺗُﻌﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﻞّ ﻳﻮﻡ، ﺛﻢ ﺗﻌﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻓﻲ ﻛﻞّ ﺍﺛﻨﻴﻦ ﻭﺧﻤﻴﺲ، ﺛﻢ ﺗﻌﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻲ ﺷﻌﺒﺎﻥ، ﻓﺘﻌﺮﺽ ﻋﺮﺿًﺎ ﺑﻌﺪ ﻋﺮﺽ، ﻭﻟﻜﻞّ ﻋﺮﺽ ﺣﻜﻤﺔ ﻳُﻄْﻠِﻊ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻳﺸﺎﺀ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ، ﺃﻭ ﻳﺴﺘﺄﺛﺮ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪﻩ ﻣﻊ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻳﺨﻔﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺃﻋﻤﺎﻟﻬﻢ ﺧﺎﻓﻴﺔ ..

( ﺛﺎﻧﻴﻬﻤﺎ ‏) : ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺃﻧﻬﺎ ﺗُﻌﺮﺽ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺗﻔﺼﻴﻼً، ﺛﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﺟﻤﻠﺔ، ﺃﻭ ﺑﺎﻟﻌﻜﺲ ﺍﻧﺘﻬﻰ

“Asy-Syaikh Waliyyuddiin berkata : ‘jika engkau bertanya, apa makna hadits ini dengan yang telah tsabit dalam shahihain bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dilaporkan kepada perbuatan hamba pada malam hari sebelum siang, dan perbuatan hamba pada siang hari, sebelum malam?’.

Jawabannya adalah : ‘(yang pertama) seluruh perbuatan hamba dilaporkan kepada Allah setiap hari, lalu dilaporkan per minggunya pada hari Senin dan Kami, lalu dilaporkan per tahunnya pada bulan Sya’ban, maka amal tersebut dilaporkan secara berkala, setiap laporan ada hikmahnya tersendiri bagi makhluk yang dikehendakiNya atau ada pengaruhnya hal tersebut disisiNya, sekalipun Allah Subhanahu Wa Ta’ala maha mengetahui tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya.

(Yang kedua), bahwa yang dimaksud adalah laporan secara terperinci setiap harinya dan secara global pada tiap minggunya, atau kebalikannya.” –selesai-.

Adapun terkait berapa hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban, maka al-Imam Bukhori rahimahullah dalam kitab “Shahihnya” menurunkan sebuah bab dengan judul “bab puasa Sya’ban”. Dibawah bab ini beliau mengeluarkan dua buah hadits berikut :

Hadits no. 1969:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ “

“…..Aisyah radhiyallahu anha berkata : …aku tidak melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak melihat Beliau banyak berpuasa padanya selain bulan Sya’ban”.

Diriwayatkan Juga oleh Muslim (no. 2714).

Hadits no. 1970:

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، حَدَّثَتْهُ قَالَتْ: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ “

“….Aisyah radhiyallahu anha berkata : “Nabi shalallahu alaihi wa sallam tidak berpuasa dalam satu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban, Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya”.

Dari kedua hadits ini, maka seolah-olah ada pertentangan berita dari Aisyah radhiyallahu anha terkait sifat puasa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Sya’ban. Di hadits pertama (no. 1969) dinukil bahwa Rasulullah berpuasa tidak full satu bulan pada bulan Sya’ban, namun hanya menunjukkan sebagian besar hari pada bulan tersebut Beliau berpuasa. Sedangkan di hadits berikutnya (no. 1970) seolah-olah Nabi berpuasa sya’ban satu bulan penuh. 

Hadits yang kedua dikuatkan juga oleh hadits Ummu Salamah radliyallaahu anha -ummul mukminin- yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunannya (no. 736) :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الجَعْدِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: «مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ» 

“…dari Ummu Salamah radliyallaahu anha : ‘aku tidak melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut, selain bulan Sya’ban dan Ramadhan”.

(Hadits ini dihasankan Imam Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al-albani rahimahumâllah). 

Menyikapi kontradiksi yang terjadi apakah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memang berpuasa satu bulan penuh pada bulan Sya’ban atau tidak? Imam Nawawi dan Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahumaallah menawarkan tiga opsional penyelesaiannya:

1. Yang dimaksud dengan satu bulan penuh adalah sebagian besarnya, sehingga hadits yang pertama menafsirkan hadits yang kedua. Imam Tirmidzi dalam Sunannya diatas, setelah membawakan dua buah jenis hadits tentang puasa Sya’ban, lalu beliau membawakan penafsiran Imam Abdullah bin al-mubarak rahimahullah, kata beliau :

وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ المُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ فِي هَذَا الحَدِيثِ، هُوَ جَائِزٌ فِي كَلَامِ العَرَبِ، إِذَا صَامَ أَكْثَرَ الشَّهْرِ أَنْ يُقَالَ: صَامَ الشَّهْرَ كُلَّهُ، وَيُقَالُ: قَامَ فُلَانٌ لَيْلَهُ أَجْمَعَ، وَلَعَلَّهُ تَعَشَّى وَاشْتَغَلَ بِبَعْضِ أَمْرِهِ، كَأَنَّ ابْنَ المُبَارَكِ قَدْ رَأَى كِلَا الحَدِيثَيْنِ مُتَّفِقَيْنِ، يَقُولُ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الحَدِيثِ أَنَّهُ كَانَ يَصُومُ أَكْثَرَ الشَّهْرِ

“Diriwayatkan dari ibnul Mubarak bahwa beliau berkomentar tentang hadits ini : “dalam bahasa arab jika seorang berpuasa pada sebagian besar bulan, boleh dikatakan dia berpuasa sebulan lamanya. Misalnya dikatakan, “si fulan shalat sepanjang malam”, padahal mungkin saja dia diselingi makan malam dan melakukan kesibukan lain”.

(Imam Tirmidzi) menanggapi, “seolah-olah ibnul Mubarak melihat bahwa kedua hadits ini sama dan maknanya adalah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan puasa pada sebagian besar bulan”.

2. Dikompromikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada tahun ini berpuasa Sya’ban satu bulan dan pada tahun lainnya berpuasa sebagian besar bulannya. Ini dibela oleh Imam ath-Thibi, karena lafadz hadits “kullahu” adalah sebagai ta’kid (penguat) yang menghilangkan adanya kesan majaz. Pendapat ini juga didukung oleh asy-syaikh bin Baz rahimahumaallah. 

3. Maksudnya adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkadang berpuasa pada awal Sya’ban, pada tahun berikutnya pada akhir Sya’ban dan tahun berikutnya lagi pada tengah Sya’ban. 

Oleh sebab itu, jika seorang mengikuti pendapat yang kedua, maka tentunya hukumnya tidak mengapa berpuasa satu bulan penuh pada bulan Sya’ban dan bulan lain diqiyaskan dengannya, kecuali pada hari-hari terlarang berpuasa, yaitu 2 hari Raya dan hari-hari tasyrik (kecuali dalam kondisi tertentu). 

Akan tetapi judul bab berikutnya yang diturunkan oleh Imam Bukhori setelah bab diatas, patut direnungkan dan menjadi pilihan pendapat yang terbaik dalam masalah ini, beliau memberi judul babnya :

بَابُ مَا يُذْكَرُ مِنْ صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِفْطَارِهِ

“Bab tentang yang disebutkan dari sifat Puasa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berbukanya”.

Di bab ini, al-imam menurunkan 3 buah hadits, namun saya nukilkan hadits pertamanya saja (no. 1971) karena sudah mewakili :

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «مَا صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلًا قَطُّ غَيْرَ رَمَضَانَ»

“وَيَصُومُ حَتَّى يَقُولَ القَائِلُ: لاَ وَاللَّهِ لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ القَائِلُ: لاَ وَاللَّهِ لاَ يَصُومُ “

“….dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau berkata : “tidaklah Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan….”.

Haditsnya diriwayatkan juga oleh Imam Muslim. 

Maka dari hadits diatas menunjukkan tarjih dari permasalahan bab sebelumnya, sekaligus juga isyarat tentang hukum berpuasa satu bulan penuh secara umum diluar Sya’ban dan Ramadhan, bahwa diantara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah tidak melakukan puasa full satu bulan dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Abu Sa’id Neno Triyono

Leave a Comment