Fatwapedia.com – Arafah adalah sebuah tempat di Arab Saudi yang memiliki signifikansi penting dalam agama Islam. Terletak di dekat Mekah, Arafah adalah tempat di mana jamaah haji berkumpul pada tanggal 9 Dzulhijjah, bulan terakhir dalam kalender Islam, selama ibadah haji.
Pada tanggal tersebut, jamaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk menjalankan ibadah Wukuf. Wukuf adalah salah satu rukun haji yang wajib dilakukan, di mana jamaah haji berdiri di Arafah dari waktu Dzuhur hingga Matahari terbenam. Wukuf di Arafah dianggap sebagai salah satu momen puncak dalam ibadah haji, di mana jamaah haji berdoa, berzikir, dan berintrospeksi diri.
Arafah juga memiliki makna sejarah dalam agama Islam. Tempat ini dianggap sebagai tempat di mana Nabi Adam dan Hawa dipertemukan setelah mereka diusir dari Surga. Selain itu, di Arafah juga terdapat Gunung Rahmah, yang diyakini sebagai tempat Nabi Adam dan Hawa memohon ampunan atas dosa-dosa mereka.
Secara keseluruhan, Arafah memiliki makna spiritual dan historis yang besar bagi umat Islam. Ibadah Wukuf di Arafah adalah bagian penting dalam rangkaian ibadah haji, di mana jamaah haji berusaha mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan, dan memperbaiki diri secara spiritual.
Istilah Arafah memiliki empat makna:
a. Menunjukkan nama tempat. (Umdatul Qari, 1/263, Al Mufradat fi Gharibil Quran, 969)
b. Menunjukkan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim as menyembelih anaknya, dan dia baru ketahui (‘arafa) di keesokkan harinya (tanggal 9 Dzuhijjah). (Al Mughni, 3/58)
Makna peristiwa juga disebutkan Ibnu Abbas yaitu peristiwa ta’aruf-nya Nabi Adam as dan Hawa, keduanya berkenalan di Arafah, karena itulah dinamakan Arafah. (Al Kamil fit Tarikh, 1/12)
c. Nama hari ke-9 Dzulhijjah. (Tafsir Ar Razi, 5/324)
d. Nama salah satu aktivitas ibadah yaitu wuquf, dari hadits al-hajju ‘arafah. (HR. At Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dll)
Maka, dari sini sudah bisa diketahui istilah “Hari Arafah’ sudah dikenal sejak masa para nabi sebelum Rasulullah Saw, dan sebelum adanya wuquf dan puasa arafah itu sendiri. Sehingga istilah “Hari Arafah” tidak mesti merujuk pada wuquf.
2. Berpuasa di tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan puasa Arafah, adalah sunnah dan memiliki keutamaan yang besar yaitu menghapuskan dosa setahun lalu dan setahun setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
Dari Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Nabi ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, beliau menjawab: “Menghapuskan dosa tahun lalu dan tahun kemudian.” (HR. Muslim No. 1162)
Sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali kamis. (HR. An Nasa’i No. 2417, shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan an Nasa’i no. 2417)
3. Kesunnahan puasa Arafah berlaku bagi yang sedang tidak wuquf di Arafah. Sedangkan bagi yang sedang wuquf tidak dianjurkan berpuasa.
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan: “Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah.” (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749).
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
Rasulullah ﷺ melarang berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. (HR. Abu Daud No. 2440. Dinyatakan shahih oleh Imam Hakim, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Adz Dzahabi, namun dinyatakan dhaif oleh Syaikh Syuaib al Arnauth dan Syaikh al Albani)
4. Puasa Arafah dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah di sebuah negeri, maka hendaknya seorang muslim berpuasa berpatokan pada waktu real tanggal 9 Dzulhijjah di negerinya, berdasarkan beberapa alasan berikut:
a. Zahir hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ ….
Bahwa Rasulullah ﷺ berpuasa 9 hari Dzulhijjah … (HR. An Nasa’i No. 2417, shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan an Nasa’i no. 2417)
b. Haji wada’ yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terjadi pada tahun 10 H. (Tarikh Khalifah bin Khayat, hal. 94, lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, 6/378, Tafsir Al Qurthubi, 6/61, Tafsir Ar Razi, 1/1605), sedangkan puasa Arafah dan Shalat Idul Adha sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 Hijriyah. (Bulughul Amani, 6/119, Subulussalam, 1/60).
Ini menunjukkan patokan shaum Arafah saat itu adalah tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan wuqufnya karena wuquf belum ada. Wuquf di masa Islam ada th 10 H. Wuquf di masa jahiliyah sudah ada tapi di musim panen, bukan di 9 Dzulhijjah.
c. Dalam sejarah, haji pernah tidak dilaksanakan selama 40 kali, baik karena konflik, kerusuhan, dan bencana. Namun aktivitas ibadah shaum arafah dan Idul Adha di negara lain tetap berlangsung seperti biasa di tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah.
d. Keterangan para ulama sebagai berikut:
Imam Al Kharasyi Al Maliki mengatakan bahwa puasa Arafah itu ditentukan oleh waktu tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan karena wuqufnya:
(قَوْلُهُ: وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ
“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut.
Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arafah” adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya, 9 Dzulhijjah. (Syarh Mukhtashar Al-Khalil, 2/234)
Imam Ibnu ‘Abidin juga mengatakan puasa Arafah terkait tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan tempatnya, Beliau menjelaskan jika disebut ‘arafah maka itu nama hari, jika disebut ‘arafaat maka itu nama tempat. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/177)
5. Jika sudah ketahui 9 Dzulhijjah sebagai waktu Shaum Arafah, maka keesokkan harinya adalah hari Idul Adha dan pelaksanaan shalat Id. Maka, hendaknya membersamai manusia di dearahnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Shahih. Lihat Ash Shahihah No. 224)
Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid). Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam
Oleh: Farid Nu’man Hasan