Fatwapedia.com – Berikut ini tulisan yang memuat beragam pertanyaan seputar madzhab dan bermadzhab. Bagi anda yang ingin mengetahui persoalan dasar tentang apa itu bermadzhab dan pertanyaan terkait lainnya. Simak ulasan yang singkat dan padat dari Kyai Abdul Wahab Ahmad di bawah ini.
Q: Apakah bermazhab itu?
A: Bermazhab berarti mengikuti ajaran yang dikembangkan dalam mazhab tertentu. Bermazhab Syafi’i berarti mengikuti ajaran islam seperti yang diajarkan oleh Imam Syafi’i dan murid-muridnya. Demikian juga dengan bermazhab Hanafi, Maliki atau Hanbali dalam ranah fikih atau Asy’ari dan Maturidi dalam ranah Akidah.
Q: Berarti bermazhab itu tidak mengikuti Nabi?
A: Ini anggapan yang salah besar. Semua mazhab dalam Islam berkiblat pada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pilar utamanya. Justru dengan bermazhab berarti mengikuti ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan konsep yang dirumuskan oleh para Imam Mazhab itu. Diakui atau tidak, merekalah yang membuat rumusan tentang bagaimana tata cara kita merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan bagaimana langkah yang harus ditempuh ketika suatu persoalah tidak dapat kita temukan dalam keduanya secara literal. Jadi, bermazhab merupakan langkah untuk mengikuti nabi dengan pemahaman para Imam sedangkan tak bermazhab tetapi secara langsung merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah merupakan langkah untuk mengikuti beliau dengan pemahaman pribadi.
Q: Kenapa harus memakai rumusan para Imam itu? bukankah al-Qur’an dan as-Sunnah sudah tersedia untuk kita pahami secara langsung?
A: Dari segi masa, para Imam itu lebih dekat dengan masa Nabi sehingga informasi yang mereka dapatkan tentang al-Qur’an dan as-Sunnah beserta kondisi yang menjadi latar belakangnya jauh lebih utuh dari kita. Seperti ketika kita membaca soal sejarah Majapahit sebanyak mungkin, informasi yang kita dapat saat ini takkan lebih banyak dari Empu Prapanca yang menulis Nagara Kratagama. Meskipun kita sudah menghafal Nagara Kratagama sekalipun, bukan berarti informasi yang kita punya sudah setara dengan pengarangnya.
Dari segi pengetahuan tentang hadis, para imam itu menghafal ratusan ribu hadis (bahkan konon lebih dari itu) di luar kepala beserta profil periwayatnya. Meskipun kita terbantu dengan adanya berbagai kitab atau media informasi di masa modern ini, namun yang menguasai di luar kepala tentu dapat melihat lebih utuh suatu masalah daripada yang masih harus menelitinya dari lembaran-lembaran halaman fisik atau elektronik yang jumlahnya luar biasa banyak.
Dari segi ilmu, merekalah yang mengajarkan kita ushul fiqh yang dengannya kita bisa tahu bagaimana seharusnya kita memproses dalil yang kita dapat dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita di masa ini hanya mengikuti dan mengembangkan saja apa yang mereka bangun. Suatu kemunduran luar biasa bila kita tak mau merujuk mereka.
Dari segi bangunan keilmuan, konsep yang mereka bangun sudah bertahan dari berbagai tantangan selama lebih dari satu milenium. Semua orang memang bisa mengklaim bahwa pendapat atau konsep yang dia buat bagaikan emas 24 karat, tapi seberapa lama pendapat atau konsep itu diterima masyarakat? Dalam hal ini, bangunan keilmuan para Imam tadi sudah lolos uji waktu dan terbukti bertahan dari kritik yang muncul di setiap abadnya.
Dari segi kesempatan, mereka sudah mencurahkan waktu seumur hidup untuk menekuni bidang agama yang mereka pilih, entah itu fikih, akidah, atau lainnya. Sedangkan kita disibukkan dengan berbagai hal lain yang menjadi tuntutan zaman ini. Anggap saja ada yang sejenius para imam itu, tapi sempat apa tidak menghabiskan umurnya seperti mereka.
Itu semua menjadi alasan yang rasional untuk mengikuti para imam yang memang ahlinya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga ikut-ikutan pendapat para ahli sebab kita merasa mereka lebih tahu. Ketika berobat kita ikut pendapat dokter; ketika ke apotek kita ikut saja pada racikan resep apoteker dan dosis yang mereka sampaikan; ketika ke bengkel kita ikut saja analisis tukang bengkelnya dan demikian seterusnya. Kenapa seolah merasa ada yang salah kalau kita ikut pemahaman para ahli al-Qur’an dan Sunnah?
Q: Lalu apakah berarti mereka maksum atau tak mungkin salah?
A: Tentu tidak. Sebagai manusia, mereka bisa saja salah. Tapi mena yang lebih besar antara kemungkinan mereka salah ketika bicara tentang maksud al-Qur’an dan Sunnah bila dibandingkan dengan kemungkinan kita salah ketika menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah secara langsung?
Q: Bolehkah kalau saya ijtihad langsung saja pada al-Qur’an dan Sunnah tanpa ikut pendapat mereka?
A: Secara teori sebenarnya boleh-boleh saja bila merasa sudah punya kemampuan setara dengan para imam itu. Tapi merasa setara bukan berarti betul-betul setara dalam faktanya. Ini yang harus disadari. Faktanya 99% dari mereka yang mengaku berijtihad langsung pada al-Qur’an dan Sunnah hanyalah mencampur aduk pendapat yang sudah ada dari berbagai mazhab saja, tak lebih dari itu.
Q: Bermazhab itu terkesan kaku dan membatasi diri seolah kebenaran hanya ada dalam mazhab itu saja. Bukankah ini sikap eksklusif yang tak berdasar dan justru kemunduran?
A: Asumsi tersebut tidak benar dan tidak sesuai realita. Faktanya, para ulama dalam setiap mazhab yang ada punya berbagai perbedaan pendapat dalam hampir semua topik masalah. Jarang sekali ada pendapat yang disetujui 100% oleh semua ulama dalam satu mazhab. Bahkan faktanya, tak jarang kita temui ulama dalam suatu mazhab berbeda pendapat dengan imam mazhab yang diikutinya. Betapa banyak ijtihad Imam Syafi’i yang ditolak oleh Imam Nawawi sebab menurut an-Nawawi ada dalil yang lebih kuat. Demikian pula soal akidah, kita dapati beberapa hal yang menjadi ijtihad Imam Abu Hasan al-Asy’ari tidak disetujui oleh para ulama yang mengklaim sebagai Asy’ariyah. Hal ini juga terjadi dalam mazhab-mazhab lainnya. Ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa bermazhab itu bukan berarti membebek pada sosok imam mazhab atau ulama di dalam mazhab itu sendiri.
Q: Apa dasarnya kita mengikuti mazhab tertentu dan bolehkah pindah mazhab?
A: Setiap orang yang belum mencapai derajat mujtahid berhak memilih mazhab yang dia anggap paling baik. Tak ada larangan untuk pindah mazhab kapanpun dia mau, baik dalam masalah tertentu saja atau total. Dengan demikian dia tetap bebas tak perlu merasa terikat. Hanya saja kalau mencampur aduk pendapat para imam hingga menghasilkan suatu bentuk praktek ibadah yang dianggap batal oleh seluruh imam itu, maka hal ini dianggap sangat bermasalah dan secara umum terlarang.