Fatwapedia.com – Perempuan hamil dan menyusui diberi keringanan. Mereka boleh tidak berpuasa pada bula Ramadhan demi meringankan dan menjaga kondisi mereka.
Berikut rincian keringanan wanita hamil dan menyusui menurut madzhab Syafi’i:
Tidak berpuasa karena khawatir akan kondisi dirinya saja atau khawatir terhadap dirinya dan anaknya, maka ia diwajibkan mengqadha’ puasa. (Untuk lebih jelas bisa dilihat pada tabel di bagian akhir artikel ini?
Tidak berpuasa karena mengkhawatirkan anaknya saja, seperti takut keguguran atau air susunya mengering, sehingga dapat membahayakan anaknya. Maka ia diwajibkan mengqadha’ sebagai ganti puasa yang ditinggalkan dan diwajibkan membayar fidyah yang disebabkan oleh anaknya.
Firman Allah:
“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)
Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Ayat ini merupakan keringanan (rukhsah) bagi orang yang sudah tua yang berat menjalankan puasa, maka mereka boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya. Dan juga keringanan
bagi perempuan hamil dan menyusui, apabila mereka khawatir terhadap anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya memberi makan orang miskin.” (Lihat: Atsar riwayat Abu Dawud 2/541)
Contoh kasus yang serupa seperti ini, ialah orang yang membatalkan puasa karena menyelamatkan manusia atau hewan yang tenggelam. Ia tidak mampu menyelamatkannya kecuali dengan membatalkan puasa agar kuat, lalu ia batalkan puasanya. Maka ia diwajibkan mengqadha’ puasa dan membayar fidyah disebabkan menanggung dua jiwa, yaitu menyelamatkan dirinya dan orang yang diselamatkannya. (Lihat: al-Majmu’ 6/359, dan Minhaj wa Mughnial-Muhtaj 1/441)
QADHA’
Qadha’ yaitu mengganti puasa Ramadhan sebanyak yang telah ditinggalkan dengan berpuasa dikemudian hari.
Qadha’ boleh dilaksanakan dengan dicicil perhari terpisah-pisah, namun disunnahkan untuk menyegerakannya secara berturut-turut sebelum Ramadhan tahun depan tiba. Apabila tahun sudah berlalu, sedangkan ia masih memungkinkan untuk mengqadha’nya, namun tidak ia qadha’ karena malas dan tanpa udzur. Ia berdosa dan dikenakan hukuman, yaitu wajib membayar fidyah untuk setiap puasa Ramadhan yang ditinggalkannya. Menurut pendapat yang ashah, kewajiban fidyah akan menjadi berlipat ganda apabila beberapa kali putaran Ramadhan tak kunjung melaksanakan qadha’.
Adapun menunda qadha’ Ramadhan karena udzur, seperti sakit yang terus-menerus, hamil, menyusui atau berpergian (musafir) hingga Ramadhan datang, iatidak wajib membayar fidyah karena penundaan tersebut, ia hanya diwajibkan mengqadha’ saja.
Rincian orang yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan (qadha’) puasa Ramadhan:
Meninggalkan puasa karena udzur dan udzurnya tetap berlanjut sampai ajalnya tiba, seperti orang yang penyakitnya tidak sembuh-sembuh, pingsan tidak sadar-sadar dan udzur lainnya. Ia tidak berdosa dan hukuman atasnyapun gugur. Harta peninggalannya, serta ahli warisnya tidak diwajibkan atau dikenai apa-apa.
Meninggalkan puasa karena udzur dan punya kesempatan mengqadha’ maupun tanpa udzur yang punya kesempatan atau tidak punya kesempatan untuk melaksanakan qadha’ puasanya.
Menurut qaul qadim dan ini adalah pendapat yang rajih, bahwa wali mayit tersebut boleh menggantikannya, namun tidak wajib.
Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang meninggal dunia, dan ia memiliki kewajiban berpuasa, maka yang menggantikannya berpuasa adalah walinya.” (HR. Bukhari dan Muslim) (HR. al-Bukhari 2/690 no.1851 dan Muslim 8/23 no. 1147)
Jika kerabatnya memerintahkan seseorang untuk berpuasa qadha’ atas nama mayit, baik diberi upah ataupun tidak, itu dibolehkan, seperti halnya ibadah haji. Demikian pula apabila seseorang yang bukan kerabatnya datang untuk meminta izin berpuasa atas nama mayit, itu juga sah dan dibolehkan.
Sedangkan jika orang itu berpuasa tanpa izin keluarganya dan tanpa wasiat dari simayit, puasanya tidak sah.
Jika keluarganya atau orang lain tidak ada yang berpuasa menggantikannya, maka dikeluarkan fidyah dari harta peninggalan si mayit, untuk membayar sejumlah hari yang ditinggalkannya. Karena itulah sebagai tebusannya.
Adapun jika si mayit tidak meninggalkan harta benda, diperbolehkan membantu bayar fidyahnya. Sebagaimana atsar riwayat Ibnu ‘Abbas:
“Jika seseorang sakit dibulan Ramadhan, kemudian wafat, dan ia tidak berpuasa, maka bayarkanlah fidyahnya.” (Atsar riwayat Abu Dawud 1/560)
Jika tidak ada seorangpun yang membantunya membayar fidyah, maka fidyahnya tetap digantungkan pada tanggungang si mayit. Jika berkehendak, Allah mengampuninya berkat kasih sayang-Nya dan jika tidak, tanggungan fidyah ini akan dihisab.
Apabila seseorang yang diwajibkan berpuasa dan ia tidak melaksanakannya sampai Ramadhan berakhir, kemudian ia tidak mengqadha’nya sampai bulan Ramadhan tahun depan datang, lalu wafat. Maka fidyahnya dibayarkan dua mudd dari harta peninggalannya. Satu mudd sebagai ganti puasanya dan satu mudd karena menunda puasa.
Jika kerabat si mayit melaksanakan puasa qadha’ untuknya, qadha’nya terbayar. Adapun sisanya, tinggal melaksanakan membayar fidyah simayit satu mudd. (Lihat: Minhaj wa Mughni al-Muhtaj 1/441, al-Muhadzdzab 2/632, al-Majmu’ 6/413, Qalyubi waal-Mahalli 2/66, al-Hawi 2/312, danal-Anwar 1/237, 239)
FIDYAH
Fidyah secara bahasa, yaitu tebusan. Sedangkan menurut istilah syar’i, yaitu denda yang wajib ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau larangan.
Dari hal-hal yang telah disampaikan pada pembahasan di atas, kondisi yang diwajibkan membayar fidyah, yaitu:
1. Orang tua renta.
2. Orang yang sakit tidak ada harapan sembuh.
3. Perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi anaknya.
4. Orang yang menunda qadha’ puasa Ramadhan, hingga Ramadhan tahun depan tiba.
5. Orang yang sudah wafat sedangkan ia masih meninggalkan tanggungan hutang puasa (qadha’) dan kerabatnya tidak ada yang menggantikannya berpuasa. Maka fidyahnya diambil dari harta peninggalan si mayit.
1. Kadar dan jenis fidyah
Kadar fidyah dan jenis yang ditunaikan adalah satu mudd makanan pokok penduduk setempat, untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah beras. Ukuran mudd beras bila dikonversikan kedalam hitungan gram, yaitu 679 gr / 6,79 ons (kalau dibulatkan = 700 gr / 7 ons).
Contoh kasus:
Pada puasa Ramadhan di tahun 1442 H, ia tidak berpuasa lima hari. Maka, setelah berakhirnya bulan Ramadhan tahun 1442 H, ia wajib segera mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya itu, sebelum Ramadhan tahun 1443 H tiba.
Jika tak kunjung ia qadha’ dan Ramadhan 1443 H tiba, ia wajib membayar fidyah satu mudd perhari yang ditinggalkan. Apabila pada tak kunjung juga ia qadha’ dan Ramadhan 1444 H tiba, ia wajib membayar fidyah dua mudd perhari yang ditinggalkan dan seterusnya.
– 1 mudd beras : 679 gr
– Tidak puasa: 5 hari
– Menunda qadha’: 2 kali putaran Ramadhan (2 tahun)
Jumlah fidyah yang harus dibayar
1 mudd x 5 hari = 5 mudd (3,39 kg) x 2 Ramadhan = 10 mudd (6,79 kg)
Diperbolehkan menyerahkan 10 mudd (6,79 kg beras) untuk lima hari tersebut kepada satu orang maupun dibagi kepada beberapa orang fakir atau miskin. Karena per satu mudd untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan merupakan ibadah yang tersendiri/independen.
Beda halnya dengan satu mudd untuk pembayaran fidyah sehari. Seperti fidyah puasa wanita hamil atau menyusui yang khawatir terhadap anaknya satu hari, maka ia harus menyerahkan fidyahnya satu mudd secara utuh dan tidak diperbolehkan dibagi menjadi dua bagian (1 mudd 679 gr : 2 = ⅟₂ mudd 339 gr) kepada dua orang fakir atau miskin.
Masalah:
1. Malas mengqadha’ dan hanya mau menjalankan fidyahnya saja. Apakah hukuman yang dibebankan atasnya selesai?
Hukumannya belum selesai, walau ia telah membayar fidyah 10 mudd untuk dua putaran Ramadhan. Karena yang menjadi sumber utama masalahnya adalah qadha’, jika tidak ia laksanakan, maka fidyah akan terus menyertainya kembali. Kecuali jika ia laksanakan qadha’nya, maka tanggungannya pun berakhir.
2. Lupa jumlah puasa yang ditinggalkan dan telah berlalu beberapa kali putaran Ramadhan, apa yang mesti dilakukan?
Pertama, ia wajib bertaubat dan meminta ampun kepada Allah, serta tidak akan mengulanginya lagi.
Kedua, ia harus berusaha memperkirakan baik-baik berapa jumlah puasa yang dilewatkannya, kemudian ia segera melaksanakan qadha’ dan fidyahnya. Adapun ia sudah tahu berapa jumlah hari yang mesti diqadha’, tetapi keberatan membayar fidyahnya karena kondisi fakir atau miskin. Ia wajib melaksanakan qadha’nya terlebih dahulu, sedangkan fidyahnya dibayar belakangan ketika sudah mampu.
2. Alokasi fidyah
Fidyah wajib diserahkan kepada fakir atau miskin dan tidak diperbolehkan untuk golongan mustahiq zakat yang lain, seperti muallaf, fi sabilillah, amil zakat, ibnu sabil, hamba sahaya. Allah berfirman:
﴿ و َىلع ا َّ َِّل ْين يُطيْ ُقونَ ٗه فِديَ ٌة طعام مسك ْ ٍني ﴾
“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)
3. Waktu membayar fidyah
Fidyah bagi orang yang sakit keras (tidak ada harapan sembuh), tua renta dan wanita hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan anaknya, hanya sah dikeluarkan pada bulan Ramadhan (diluar Ramadhan tidak sah). Dan waktu pelaksanaan fidyah, bisa dikeluarkan ketika sudah terbenamnya matahari atau setelah subuh untuk setiap hari puasa. Namun, mereka tidak boleh mempercepat pembayaran fidyahnya untuk dua hari atau lebih, sebagaimana tidak boleh membayar zakat untuk dua tahun. Berbeda halnya jika mereka mempercepat pembayaran untuk satu hari tersebut, hal itu diperbolehkan.
Apabila ia adalah orang fakir atau miskin dan tidak mampu untuk membayarnya, kewajiban membayar fidyahnya gugur menurut pendapat yang ashah. Adapun jika ia adalah orang mampu, disunnahkan segera mungkin untuk membayarnya dan jika ia tunda pembayaran fidyahnya hingga Ramadhan berikutnya tiba, ia tidak dikenai hukuman tambahan atas penundaannya.
Sedangkan waktu pembayaran fidyah untuk orang mati dan menunda qadha’, diperbolehkan dilakukan kapan saja tanpa terikat waktu.