Fatwapedia.com – Berdakwah merupakan kewajiban setiap hamba. Berdakwah dengan arti yang luas. Berdakwah tidak terbatas pada khutbah dan pidato saja. Banyak hal bisa dikatakan sebagai berdakwah. Mengajak orang lain, dengan berbagai bentuk dan ragam jenisnya, kepada kebaikan apapun adalah berdakwah. Orang tua mengajak anaknya agar berhias dengan akhlak islami adalah berdakwah. Seseorang mengajak kawannya untuk bersabar ketika tertimpa musibah adalah berdakwah. Kakak mengingatkan adiknya untuk makan dengan tangan kanan adalah berdakwah, dan seterusnya.
Sekali lagi, dakwah itu luas. Dengan begitu, semua kita merupakan agen dakwah, dai atau mubaligh. Dai atau mubaligh dalam arti luas tentunya. Karena masing-masing kita adalah “dai”, maka penting kita mengetahui hal-hal yang harus dipegang oleh seorang dai maupun mubaligh. Semoga kisah berikut memberikan wawasan kepada kita sebagai “dai dan mubaligh” di saat mengajak orang lain kepada kebaikan. Kisah kita kali ini berjudul kegelapan dalam perut ikan. Sebuah kisah yang menceritakan jalan dakwah yang dilalui Nabi Yunus ‘alaihis salam bersama kaumnya.
Nabi Yunus ‘alaihis salam merupakan putra dari Matta. Sehingga nama lengkapnya adalah Yunus bin Matta. Ia dikenal dengan Nabi yang memiliki keutamaan. Dalam Al Quran Allah memuji Nabi Yunus. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan Nabi Yunus secara khusus. Allah berfirman (artinya), “Sesungguhnya Yunus benar-benar seorang rasul.” [Q.S. Ash Shaffat: 139].
Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Tidak sepantasnya bagi seorang hamba mengatakan, ‘Aku lebih baik dibandingkan Yunus bin Matta.’” [H.R. Al Bukhari, Ahmad, dll]. Beliau sendiri menegaskan (yang artinya), “Aku tidak mengatakan bahwa ada seseorang yang lebih utama dibandingkan Yunus bin Matta.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim].
Dalil di atas menunjukkan keutamaan Nabi Yunus ‘alaihis salam yang sangat besar. Penyebutan pujian tersebut bukan sekedar berita saja. Ada pesan inplisit dari pujian yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, agar kita belajar dan meneladani Nabi Yunus dalam kehidupan kita. Berharap, kita juga bisa mendapatkan keutamaan. Mari kita simak kisah Nabi Yunus selengkapnya! Semoga Allah memberi kita taufik agar bisa belajar dari kehidupan Nabiyullah ini.
Di Mosul, Irak Nabi Yunus ‘alaihis salam diutus oleh Allah untuk berdakwah. Tepatnya di daerah Ninawa (Neniveh), putra Matta ini mengajak penduduknya untuk bertauhid kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Maklum, kaum tersebut sangat ingkar lagi kafir kepada Allah. Bukannya beribadah kepada Allah, Dzat yang Mahakuasa, penduduk Ninawa justru menyembah berhala yang tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu Nabi Yunus berusia 33 tahun.
Melihat hal ini Nabi Yunus merasa prihatin. Ia tidak rela bila kaumnya diperbudak berhala. Sebuah kepedulian dari seorang nabi kepada kaumnya. Inilah pelajaran pertama bagi kita. Peduli. Seorang dai dituntut untuk peduli terhadap sekitarnya. Bukan menjadi seseorang yang tidak mau tahu, cuek atau menutup mata terhadap kondisi kawan, teman, dan siapa saja yang ada di lingkungannya. Bukan pula menjadi pribadi yang hanya mengurusi dan mementingkan diri sendiri.
Lihatlah Nabi Yunus! Bisa jadi, tidak ada hubungan kekerabatan antara Nabi Yunus dengan kaumnya. Tidak ada ikatan keluarga di antara mereka. Namun, hal itu tidak menghalangi Nabiyullah Yunus untuk peduli terhadap mereka. Peduli tanpa mengharap gaji. Demikianlah ajaran seluruh nabi yang harus diteladani oleh para dai. Di benaknya adalah membantu orang lain, tanpa pamrih sekalipun harus letih. Tidak ada yang diharapkan dari dakwahnya kecuali ridha Allah subhanahu wa taala.
Tanpa kenal lelah, Nabi Yunus ‘alaihis salam terus berdakwah. Berpegang kalimat pantang menyerah, ia tetap melangkah. Bersabar menghadapi kaumnya, Nabi Yunus mengondisikan diri agar tetap tegar. Ia berusaha menyadarkan kaumnya. Siang malam Nabi Yunus berdakwah. Akan tetapi mereka menolak beriman kepada Allah dan tetap memilih menyembah patung dan berhala. Mereka lebih memilih kekafiran dan kesesatan daripada keimanan dan petunjuk, mereka mendustakan Nabi Yunus, mengolok-olok, dan menghinanya.
Menjadi sunnatullah, berdakwah itu tidak selalu mulus. Selalu saja ada aral dan hambatan yang melintang. Ditolak, diejek, dihina, dicemooh, dan segala perlakuan buruk lainnya. Sehingga, jangan kaget bagi yang mengajak orang lain kepada kebaikan. Penerimaan yang kurang menyenangkan dari objek dakwah merupakan hal biasa. Sudah sejak para nabi terdahulu, hal ini terjadi. Jadi, jangan merasa menjadi orang pertama yang ditolak ajakannya. Di sinilah kesabaran menjadi sebuah keharusan.
Terbukti, hanya sedikit penduduk Ninawa yang beriman kepada Nabi Yunus ‘alaihis salam. Segelintir orang saja yang mau mengakui kerasulannya. Hanya beberapa orang yang mau meninggalkan peribadatan berhala dan kembali kepada Allah yang Maha Esa. Mayoritas mereka mendustakan Nabi Yunus. Mereka terus di atas kekafiran dan pembangkangan. Namun begitu, Nabi Yunus tetap sabar mendakwahi mereka.
Nabi Yunus ‘alaihis salam benar-benar merasakan kesulitan menghadapi kaumnya. Hingga pada puncaknya, setelah sekian lama tidak ada perubahan, Nabi Yunus memberikan ancaman. Dalam waktu tiga hari ke depan, Allah akan mengazab kalian, kata Nabi Yunus. Inilah peringatan dari Nabi Yunus kepada kaumnya. Seolah keimanan kaum Nabi Yunus tidak bisa diharapkan lagi.
Pembaca, di sinilah letak pelajaran berikutnya! Sebagai seorang penyeru kebaikan, jangan pernah terbetik dalam hati bahwa hidayah telah tertutup bagi objek dakwah. Jangan pernah merasa mereka sama sekali tidak akan beriman. Bukankah hidayah dan taufik itu murni di tangan Allah. Seorang dai hanyalah penyampai saja. Apapun hasilnya, bukanlah menjadi target utama.
Akhirnya, dengan kemarahan, Nabi Yunus ‘alaihis salam meninggalkan kampung Ninawa. Hanya saja kepergian ini belum mendapatkan izin dari Allah. Terbukti, bahwa hidayah itu benar-benar di tangan Allah. Penduduk Ninawa yang ditinggalkan Nabi Yunus karena merasa putus asa terhadap keimanan mereka ternyata sadar. Dengan hikmah-Nya, Allah hendak memberikan hidayah dalam kalbu mereka.
Tak lama setelah kepergian Nabi Yunus, Allah menitikkan perasaan tobat, menyesal, dan inabah kepada Nabi Yunus. Mereka menyesal telah melakukan berbagai perlakuan buruk kepada Nabi Yunus ‘alaihis salam. Penyesalan mereka benar-benar berasal dari dalam hati. Penyesalan dan tobat yang sesungguhnya. Kaum Nabi Yunus lantas mengubah segala sikap dan perilaku bahkan penampilan mereka, sebagai bukti pengabdian kepada Allah.
Penduduk Ninawa segera mengganti pakaian-pakaian mereka. Pakaian dengan tenunan kasar dikenakan. Binatang ternak dipisah antara induk dan anakannya. Kemudian mereka berseru kepada Allah, berteriak dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Kaum yang menyesal itu merasa hina di hadapan sang Pencipta. Dalam penyesalan itu, meledaklah suara tangisan dari setiap orang. Kaum lelaki menangis, para ibu menangis, anak-anak dan orang tua juga hanyut dalam lautan air mata tobat.
Tak hanya kaum Nabi Yunus saja yang bertobat kepada Allah. Suasana ibadah juga dirasakan oleh para hewan. Binatang ternak bersuara hiruk-pikuk, demikian juga hewan gembalaan dan binatang tunggangan. Melenguhlah onta. Menguaklah sapi dan lembu. Mengembiklah kambing dan domba. Suasana menjadi mengharu-biru. Eforia menyedihkan, genting dan menegangkan. Saat itu, semua makhluk tunduk di hadapan Allah yang Maha Agung.
Ketika itu, kaum lelaki, wanita, dan anak-anak menangis karena takut azab menimpa. Mereka berdoa dengan suara keras kepada Allah agar azab itu diangkat. Saat melihat jujurnya tobat mereka, Allah yang Maha Pengasih, yang rahmat-Nya mendahului murka-Nya, menerima tobat kaum Nabi Yunus. Allah menerima keimanan mereka yang sempurna. Azab yang dijanjikan akan menimpa kaum Ninawa disingkirkan oleh Allah. Padahal, tanda-tanda azab itu sebelumnya telah datang. Dengan kuasa Allah, tanda-tanda azab itu akhirnya hanya berputar-putar di atas mereka, seperti potongan malam yang gelap.
Keimanan kaum Nabi Yunus ‘alaihis salam begitu bermanfaat. Sebuah keimanan yang mampu menghilangkan azab dan bencana. Berbeda dengan kaum-kaum lain, keimanan mereka seringnya tidak jujur. Hingga Allah memuji keimanan kaum Nabi Yunus. Disebutkan dalam Al Qur’an, “Tatkala mereka (kaum Nabi Yunus) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghilangkan dalam kehidupan dunia. Kami juga memberi mereka kesenangan sampai batas waktu tertentu.” [Terjemah Q.S. Yunus: 98].
Sementara itu, Nabi Yunus ‘alaihis salam telah jauh meninggalkan kampungnya. Di benaknya, kampung tersebut telah diazab oleh Allah. Ia tidak tahu ternyata kenyataan justru sebaliknya. Keimanan yang tidak diharapkan ternyata menjadi keimanan yang sempurna. Dalam hitungan di atas kertas, sebagian dai merasa bahwa dakwahnya akan ditolak. Namun, serahkanlah kepada Allah. Banyak-banyaklah berdoa! Bukankah kaum Nabi Yunus yang awalnya begitu membangkang akhirnya menjadi kaum yang beriman?
Kejengkelan terhadap ulah kaumnya, menghantarkan Nabi Yunus ‘alaihis salam ke tepi laut. Di saat itulah ia menaiki kapal. Layar dinaikkan, kapal segera meluncur. Bahtera itu mengangkut penumpangnya membelah samudera. Kapal itu semakin mengecil, pertanda semakin jauh meninggalkan kampung Ninawa. Namun, tak lama setelah itu, ombak laut menjadi dahsyat dan angin berubah kencang. Kapal pun oleng hingga hampir saja tenggelam. Oleh karena itu, sebagian barang-barang berat dilempar ke laut untuk meringankan beban. Tetapi ternyata, kapal itu tetap saja oleng dan hampir tenggelam.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa saat Nabi Yunus masuk ke kapal, maka kapal itu berhenti, padahal kapal-kapal lain bisa berjalan ke kanan dan kiri.
“Ada apa dengan kapalmu?” tanya Nabi Yunus.
“Kami tidak tahu,” jawab orang-orang.
“Di dalamnya pasti ada seorang hamba yang lari dari Rabb-nya. Kapal itu tidak akan berjalan hingga kalian melempar orang itu.”
“Demi Allah, kami tidak akan melempar Anda, wahai Nabi Allah!”
“Kalau begitu adakanlah undian! Barangsiapa yang terkena undian, ia harus menjatuhkan diri ke laut.”
Usulan Nabi Yunus tersebut segera dilaksanakan. Penumpang kapal segera melakukan pengundian. Begitu ditarik, yang keluar adalah nama Nabi Yunus ‘alaihis salam. Seluruh penumpang kapal tidak ingin bila Nabi Yunus yang diceburkan ke laut. Terpaksa, undian diulang untuk yang kedua kalinya. Pada undian kedua, lagi-lagi undian jatuh kepada Nabi Yunus. Di saat itulah, Nabi Yunus membuka baju dan siap menceburkan diri ke laut. Namun, penumpang kapal menahannya. Mereka tidak meridhainya.
Untuk yang ketiga kalinya undian diulang. Hanya saja, Nabi Yunus ‘alaihis salam tetap yang mendapatkan undian, karena memang Allah menghendaki hal tersebut. Allah tetap memilih Nabi Yunus sebagai orang yang diceburkan ke lautan. Nabi Yunus segera bangkit dan melepas bajunya, kemudian melempar dirinya ke laut. Semoga Allah menjaga Nabi Yunus di kegelapan dalamnya lautan di tengah kegelapan malam.
Allah mengirimkan ikan besar kepada Nabi Yunus ‘alaihis salam. Ikan raksasa itu menelan Nabi Yunus utuh-utuh. Tidak ada bagian tubuh yang robek maupun tulang yang patah. Ikan paus itu berputar-putar di ketenangan lautan yang luas dan dalam. Lalu ia membawa Nabi Yunus ke dalam samudera yang asin. Di sana, di kegelapan perut ikan, Nabiyullah Yunus mendengar tasbih dari semua jenis ikan. Tak ketinggalan, suara tasbih dari kerikil juga terdengar.
Suasana ini mengingatkan Nabi Yunus ‘alaihis salam. Ia segera meminta ampun kepada Allah. Nabi Yunus sadar telah berbuat salah karena meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Tertunduklah ia ke hadapan Dzat yang Maha Kuasa. Nabi Yunus benar-benar merasakan kebesaran Allah, sekalipun dia berbuat salah, tetapi Allah tetap memberinya pertolongan. Ia teringat ketika terkena undian tiga kali berturut-turut, kemudian dilemparkan dari kapal hingga akhirnya ditelan oleh ikan raksasa.
Nabi Yunus ‘alaihis salam tinggal dalam kegelapan perut ikan selama beberapa waktu. Ikan itu terus mengarungi lautan dan membelah samudera. Para ulama berselisih tentang berapa lama Nabi Yunus tinggal di dalam perut ikan. Menurut Qatadah rahimahullah, tiga hari. Menurut Abu Ja’far Ash Shaadiq rahimahullah, tujuh hari, sedangkan menurut Abu Malik rahimahullah, empat puluh hari. Dalam gelap perut ikan itu, Nabi Yunus tidak tahu pasti nasib dirinya. Apakah ia akan selamat? Sampai kapan Nabi Yunus berada dalam perut ikan? Simak kelanjutan kisah Nabi Yunus pada edisi mendatang, in syaa Allah.
Bersabarlah Dalam Berdakwah
Benar bukan? Seseorang yang secara teori sulit untuk mendapat hidayah ternyata meleset dari perkiraan. Berapa banyak orang yang masa lalunya sangat kelam, ternyata Allah bukakan pintu taufik untuknya. Kehidupannya seratus delapan puluh derajat berubah secara drastis. Dulu yang tidak mengenal masjid, kini salat berjamaah lima waktu. Sebelumnya, menghabiskan malam di tempat hiburan, sekarang salat tahajud dan witir tidak pernah terlewatkan.
Memang, hidayah itu di tangan Allah. Jangan menutupnya dari orang lain! Sejahat-jahatnya orang, cobalah diberi nasehat. Berilah masukan dengan lembut dan penuh kesantunan. Doakan orang tersebut di dalam salat dan munajat Anda. Berikan kepercayaan diri kepadanya agar bisa berubah. Sadarkan dia bahwa rahmat Allah sangat luas. Jangan lupa, berikan arahan dan solusi agar ia bisa berubah menjadi baik. Jangan mencelanya! Jangan mencacinya!
Sekali lagi, jangan menutup pintu hidayah dari seseorang! Hidayah bukan di tangan Anda. Sejelek-jelek orang, jangan Anda caci! Jangan Anda maki! Jika Anda memakinya, justru bisa berakibat buruk. Jika Anda menghina, bisa jadi ia akan semakin bertambah jauh. Tapi, cobalah bersabar memberi nasihat. Tumbuhkan kepercayaan dirinya untuk bangkit! Untuk berubah menjadi baik.
Anda tentu masih ingat kisah pembunuh seratus nyawa. Ketika ingin bertobat, ia bertanya kepada seorang Abid (ahli ibadah). Namun apa jawaban Abid kepada lelaki pemburu nyawa itu? Ternyata, terlontar kalimat yang bermakna bahwa pintu tobat telah tertutup baginya. Kalimat yang mengandung makian dan celaan. Maka, lihat hasilnya! Hasil yang buruk. Memaki ternyata bukan solusi! Mencela ternyata tidak menyelesaikan problema. Alhasil, pembunuh berdarah dingin itu akhirnya menghabisi nyawa si Abid.
Namun, lihatlah jawaban si Alim ketika ditanya, “Apakah masih ada tobat untukku?” Tanya si lelaki pemburu nyawa. Simak jawaban Alim. Jawaban yang tidak berisi celaan. Arahan yang tidak mengandung makian. Nasihat yang membangkitkan semangat. Dengannya, tumbuhlah kepercayaan diri untuk berubah menjadi baik dari lelaki pembunuh seratus nyawa. “Tentu ada! Siapa yang menghalangimu dari pintu tobat?!” Jawab si Alim. Jawaban yang menyejukkan.
Pembaca, demikianlah yang hendaknya kita terapkan pada diri kita. Sebagian kita ada yang menjadi pengajar. Ada juga yang menjadi pengawas pendidikan anak-anak. Atau juga seorang tetangga yang selalu berinteraksi dalam lingkungannya. Atau sebagai orang tua. Pasti, di antara orang yang kita hadapi ada yang dianggap jahat, buruk, jelek, dan lain-lain. Maka tempuhlah langkah-langkah di atas. Berikan kepercayaan diri untuk berubah menjadi baik. Tanamkan bahwa rahmat Allah amat luas. Jangan mencacinya. Jangan pula menghinanya.
Kecewa kepada umatnya, Nabi Yunus ‘alaihis salam pergi dari kampung halaman. Merasa bahwa kaumnya tidak akan berubah baik, ia meninggalkan mereka. Hingga akhirnya, dengan lembut Allah azza wajalla menegur Nabi Yunus ‘alaihis salam. Proses panjang yang dialaminya, dilemparkan dari perahu hingga ditelan ikan raksasa, ternyata teguran halus dari Allah kepadanya.
Nabi Yunus sadar betapa rahmat Allah begitu luas. Ikan raksasa yang menelan Nabi Yunus itu sama sekali tidak melukai tubuhnya. Tidak ada bagian tubuh yang robek maupun tulang yang patah. Lalu, dengan halus, suasana ini menggugah kesadaran Nabi Yunus ‘alaihis salam. Dalam kegelapan perut ikan, terdengar tasbih dari semua jenis ikan. Terdengar pula suara tasbih dari kerikil-kerikil samudera.
Suasana ini mengingatkan Nabi Yunus. Ia segera meminta ampun kepada Allah. Nabi Yunus sadar telah berbuat salah karena meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Tertunduklah ia ke hadapan Dzat Yang Mahakuasa. Nabi Yunus ‘alaihis salam benar-benar merasakan kebesaran Allah, sekalipun dia berbuat salah, tetapi Allah tetap memberinya pertolongan. Dalam gelap perut ikan itu, Nabi Yunus tidak tahu pasti nasib dirinya. Namun, ia yakin, Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya.
Sekian waktu lamanya, ikan raksasa itu membawa Nabi Yunus berputar-putar. Ia masih saja di dalam perut ikan. Dalam gelap, Nabi Yunus seorang diri. Waktu-waktu tersebut ia gunakan untuk banyak memohon ampun kepada Allah. Nabi Yunus begitu pasrah kepada Dzat yang Mahakuasa. Puncak tawakal itu akhirnya terangkum dalam doa yang indah,
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
Benar-benar doa yang menggambarkan sebuah kepasrahan diri. Doa yang mengandung puncak penyesalan. Doa yang terpanjatkan dari dalam tiga kegelapan; kegelapan perut ikan, kegelapan lautan, dan kegelapan malam.
Simaklah doa luar biasa yang diucapkan oleh nabiyullah Yunus. Di bagian awal, doa tersebut berisi pengagungan Allah dari sisi uluhiyah. Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Kemudian pada bagian kedua, berisi penyucian Allah dari segala bentuk kekurangan dan aib. Dan di bagian akhir, pengakuan kesalahan dari seorang hamba kepada Rabb-nya.
Suara doa yang dipanjatkan Nabi Yunus terdengar sampai langit. ‘Arsy dan sekitarnya dipenuhi dengan suara doa tersebut. Para malaikat juga mendengar munajat Nabi Yunus ‘alaihis salam yang diutarakan dari dalam perut ikan. Sehingga para malaikat bertanya-tanya, “Ya Rabb, suara ini begitu lemah, kasihan, dari orang yang dikenal. Namun, suara itu dari tempat yang asing.”
“Tidakkah kalian mengenal suara siapa itu?” Kata Allah.
“Tidak!”
“Dia adalah Yunus bin Matta.”
“Ya Rabb, Yunus, hamba-Mu yang selalu melakukan amal saleh dan selalu memanjatkan doa itu?”
“Iya, Yunus.”
“Ya Allah, tidakkah Engkau mengasihinya atas amalan yang ia kerjakan ketika di masa lapang, kemudian Engkau menyelamatkannya di masa sulit?” Maka Allah azza wajalla pun mengabulkan doa Nabi Yunus.
Sungguh agung doa Nabi Yunus di atas. Pantaslah bila Allah memperkenankan doa tersebut. Nabi Yunus ‘alaihis salam diselamatkan Allah dari kegelapan perut ikan. Secara singkat Allah azza wajalla rangkum kisah di atas dalam ayat-Nya yang artinya, “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.’- Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” [Q.S. Al Anbiya’: 87-88].
Tentang doa Nabi Yunus di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللهُ لَهُ
“Doa Dzunnun (Nabi Yunus) ketika di perut ikan, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” Sungguh, tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa tersebut dalam suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” [H.R. At Tirmidzi].
Akhirnya, ikan raksasa itu memuntahkan Nabi Yunus ‘alaihis salam. Kalau bukan karena termasuk orang yang suka bertasbih kepada Allah, tentu ia akan berada dalam perut ikan itu sampai hari Kiamat. Di sore hari, ia keluar dari perut ikan raksasa itu. Badannya lemas. Tubuhnya kulai. Wajar, selama ini Nabi Yunus tidak makan apa-apa. Ketika dimuntahkan dari perut ikan, keadaannya seperti anak burung yang telanjang dan tidak berambut. Di pinggir pantai itu, Nabi Yunus tidak berdaya. Tidak ada tenaga untuk menggerakkan badannya.
Mahasuci Allah yang selalu adil dalam setiap hukum-Nya.
Di sinilah, Allah azza wajalla kembali menunjukkan kuasa-Nya. Kuasa Allah yang membuktikan keluasan rahmat dan kasih-sayang-Nya untuk para hamba. Di tempat tandus itu, pohon sejenis labu tumbuh di samping Nabi Yunus. Daunnya lebat dan buahnya banyak. Dengan pohon itu, ia bisa berteduh di bawah teriknya mentari. Dari pohon itu pula, Nabi Yunus ‘alaihis salam bisa makan buahnya.
Dengan demikian, ia selamat dari kebinasaan. Nabi Yunus betul-betul merasakan nikmat yang luar biasa. Laa haula walaa quwwata illa billah. Allah azza wajalla berfirman yang artinya, “Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit.- Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu.” [Q.S. Ash Shaaffaat: 145-146].
Namun, tidak lama setelah itu, pohon tersebut kering. Daunnya layu, berubah warna, menguning lalu menjadi coklat, akhirnya berguguran satu demi satu. Hingga pohon yang menaungi Nabi Yunus dari terik matahari itu mati. Pohon pun tidak lagi berbuah. Nabi Yunus ‘alaihis salam tidak bisa berteduh, tidak bisa pula memakan buahnya. Melihat keadaan ini, ia menangis. Harapan kehidupan di padang tandus itu semakin mengering bersama keringnya pohon tersebut.
Kemudian Allah azza wajalla menegur Nabi Yunus, “Apakah kamu menangis karena pohon itu kering? Namun kamu tidak menangis karena seratus ribu orang atau lebih yang ingin engkau binasakan.” Lagi-lagi teguran yang halus lagi lembut dari Allah. Mengingatkan tentang kaumnya yang ditinggal pergi. Nabi Yunus ‘alaihis salam semakin sadar akan kesalahannya.
Tak berselang lama, Allah memerintahkan Nabi Yunus untuk kembali ke kaumnya. Kembali kepada suatu kaum yang dulunya durhaka kemudian telah bertobat kepada Allah azza wajalla. Kali ini, misi Nabi Yunus adalah memberitahukan bahwa Allah menerima tobat mereka. Ia segera berangkat dengan suka-cita. Kebahagiaan berlipat mengiringi kepulangan Nabi Yunus ‘alaihis salam ke tengah kaumnya. Ke arah Mosul, Irak, ia menjejakkan kaki.
Sementara itu, di kampung Ninawa suasana ibadah dan tobat begitu kental. Penduduknya telah mengganti pakaian-pakaian mereka. Kini, pakaian mereka adalah tenunan kasar. Binatang ternak sudah dipisah antara induk dan anakannya. Mereka terus berseru kepada Allah, berteriak dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Meledaklah suara tangisan dari setiap orang. Kaum lelaki menangis, para ibu menangis, anak-anak dan orang tua juga hanyut dalam lautan air mata tobat.
Suasana ibadah juga dirasakan oleh para hewan. Binatang ternak bersuara hiruk-pikuk, demikian juga hewan gembalaan dan binatang tunggangan. Melenguhlah onta. Menguaklah sapi dan lembu. Mengembiklah kambing dan domba. Suasana menjadi mengharu biru. Semua makhluk tunduk di hadapan Allah yang Maha Agung.
Mereka hanyut dalam lautan tangis pertobatan. Mata-mata mengucurkan airnya karena takut azab menimpa. Doa agar Allah mengangkat azab tidak pernah berhenti. Sementara, tanda-tanda azab telah datang. Namun, dengan kuasa Allah, tanda-tanda azab itu akhirnya hanya berputar-putar di atas mereka, seperti potongan kegelapan malam.
Sampailah Nabi Yunus ‘alaihis salam di tengah-tengah kaumnya. Ia kembali dengan suasana yang berbeda. Berbeda dan berbalik seratus delapan puluh derajat. Benar bukan, ternyata kenyataan justru sebaliknya. Keimanan yang tidak diharapkan menjadi keimanan yang sempurna. Dalam hitungan di atas kertas, sebagian dai merasa bahwa dakwahnya akan ditolak. Namun, serahkanlah kepada Allah. Banyak-banyaklah berdoa! Bukankah kaum Nabi Yunus yang awalnya begitu membangkang akhirnya menjadi kaum yang beriman?
Kini, kaum Nabi Yunus telah beriman. Bahkan, Allah memberikan berkah pada harta dan anak-anak mereka. Jumlah kaum Nabi Yunus semakin besar. Jumlah mereka lebih dari seratus ribu. Itu semua karena berkah dari Allah. Allah azza wajalla berfirman yang artinya, “Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih.- Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” [Q.S. Ash Shaaffaat: 147-148].
Pembaca, kisah Nabi Yunus mengajari kita untuk bersabar ketika berdakwah. Bersabar saat mengajak orang lain ke jalan kebaikan. Apapun kondisi orang yang didakwahi, sikap sabar harus dikedepankan. Bersabar terhadap gangguan mereka. Bersabar jika mereka mendustakan dakwah kita. Tetap bersabar sampai Allah azza wajalla yang memutuskan keadaan. Demikian secara khusus Allah menasehati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui kisah Nabi Yunus. Dalam firman Allah yang artinya, “Maka bersabarlah kaum (wahai Muhammad) terhadap ketetapan Rabb-mu. Janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya). Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Rabb-nya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Allah memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.” [Q.S. Al Qalam: 48-50]. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 33 dan 34 vol.04 2016 rubrik Anbiya’. Pemateri: Al Ustadz Abu Abdillah Al Majdiy.