Fikroh.com – Pernikahan model siti nurbaya mungkin sudah tidak terlalu populer saat ini. Menikah atas dasar rasa suka sama suka menjadi trend dikalangan masyarakat. Namun bagaimana islam melihat masalah ini. Bolehkan seorang wali memaksakan nikah kepada seorang wanita? Mengenai hukum memaksa wanita untuk menikah terdapat hukum yang berbeda tergantung obyeknya.
A. Hukum Memaksa Janda
Janda yang telah baligh tidak boleh dinikahkan tanpa izinnya, baik oleh ayahnya atau pun selain ayahnya. Ini merupakan ijma’ kaum muslimin. [Al-Hafizh Ibnu Hajar menilainya shahih. Hadits Riwayat: Ibnu Abi Syaibah (IV/135)]
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan hal itu adalah sebagai berikut.
1. Hadits Khansa’ binti Khidzam al-Anshariyyah bahwa ayahnya menikahkan dirinya padahal dia seorang janda dan dia tidak suka hal itu. Dia pun datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (mengadukan kasus tersebut), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menolak pernikahannya itu. [Majmu‘ Fatawa Ibnu Taimiyah (XXXII/39)]
2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai pendapatnya, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bila dia diam.” [Hadits Riwayat: al-Bukhari (5138)]
3. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ، وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ، وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
“Seorang wali tidak memiliki kuasa untuk memaksa seorang janda (menikah). Adapun perempuan yatim, maka dimintai pertimbangannya, dan diamnya adalah persetujuannya.” [Hadits Riwayat: al-Bukhari (5136) dan Muslim (1419)]
Dua Catatan tambahan:Pertama: Perempuan Manapun Yang Keperawanannya Hilang Karena Zina, Maka Statusnya Sama Dengan Janda. Dengan begitu, walinya tidak berhak memaksa dirinya untuk menikah. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i, Ahmad, dan kedua murid Imam Abu Hanifah. Adapun Abu Hanifah sendiri dan Malik, maka keduanya berpendapat bahwa status perempuan tersebut sama dengan perawan. Akan datang nanti penjelasan tentang hukum memaksanya menikah.
Adapun jika keperawanan perempuan tersebut hilang bukan karena persetubuhan, tetapi karena sering berlompatan, ditusuk dengan jari, atau semisalnya, maka statusnya sama dengan perawan menurut Imam yang Empat. [Hadits Riwayat: Abu Daud (2100) dan selainnya]
Kedua: Jika Wali Menikahkan Janda Tanpa Seizinnya Kemudian Si Janda Membolehkan Dilaksanakannya Akad Nikah, maka akad tersebut sah, tidak perlu diulang dari awal menurut mayoritas ulama, di antaranya: Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Sedangkan menurut Syafi‘iyah dan riwayat yang lain dari Ahmad, akad yang tidak didahului izin si janda tidak sah, harus diulang dari awal. [Majmu‘ Fatawa (XXXII/29)]
B. Hukum Memaksa Perawan (Gadis)
Ulama berbeda pendapat menjadi dua mengenai perempuan perawan yang telah balig dan berakal sehat, apakah walinya berhak memaksanya menikah. Pendapat yang paling shahih di antara kedua pendapat itu adalah yang menyatakan bahwa seperti halnya dengan janda, wali juga tidak berhak memaksa perawan menikah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, serta salah riwayat dari Ahmad, dan pendapat al-Auza‘i, ats-Tsauri, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibnu al-Mundzir, serta menjadi pilihan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. [Majmu‘ Fatawa Ibnu Taimiyah (XXXII/29)] Argumen mereka adalah sebagai berikut.
1. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa pernah seorang gadis perawan datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu beliau bahwa ayahnya telah memaksa dirinya menikah padahal dia tidak suka, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya pilihan dalam hal tersebut. [Al-Mughni (VI/491)]
Hadits dengan redaksi yang mirip datang dari Jabir, disebutkan di dalamnya: “… maka beliau pun memisahkan keduanya (gadis tersebut dan suaminya).” [Hadits Riwayat: Abu Daud (2099)]
2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
… وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“dan perempuan yang perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izinnya.” [Hadits ini dikuatkan oleh hadits yang sebelumnya. Hadits Riwayat: an-Nasa’i di dalam al-Kubra]
Dan hadits-hadits yang semakna.
Karena perbuatan wali mengurusi pernikahan perempuan yang menjadi tanggung jawabnya sama dengan perbuatannya mengurusi harta perempuan tersebut. Maka, sebagaimana halnya si wali tidak boleh mengurusi harta perempuan tersebut jika telah dewasa (balig dan berakal sehat), kecuali dengan seizinnya –dan urusan pernikahan jauh lebih besar daripada urusan harta–, maka bagaimana mungkin wali boleh bertindak jauh dalam mengurusi pernikahannya padahal dia tidak menyukai hal itu dan juga telah dewasa.
Memaksa perawan menikah padahal dia tidak menyukainya jelas menyelisihi prinsip-prinsip agama dan akal. Allah Subhanahu wata’ala tidak membolehkan wali memaksa seorang perawan untuk menjual atau menyewakan (hartanya) kecuali dengan seiizinnya, dan tidak pula memaksanya makan, minum, atau memakai pakaian yang tidak disukainya, maka bagaimana bisa dia memaksanya untuk berumah tangga dengan orang yang tidak disukainya. Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan rasa kasih sayang di antara pasangan suami istri, maka jika pernikahan terjadi dengan rasa benci dan tidak suka istri kepada suami, maka kasih sayang macam apa yang akan timbul di antara mereka?! [Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/39)]
Seorang istri dibolehkan dalam syariat bercerai dari suaminya jika dia tidak suka kepadanya, maka bagaimana mungkin boleh menikahkannya jika dari awal dia tidak menyukainya. [Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/25)]
Catatan tambahan:Hukum ini berlaku jika wali si perawan adalah ayah atau kakeknya. Jika walinya adalah selain kedua orang tersebut, misalnya kakak laki-laki atau pamannya dari jalur ayah, maka Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menukil adanya ijma’ kaum muslimin bahwa kerabat seorang perawan yang telah balig selain ayah dan kakeknya tidak berhak menikahkannya tanpa seizinnya. [Ahkam az-Zawaj (halaman 146) dengan sedikit pengubahan]
C. Memaksa Anak Wanita Yang Masih Kecil
Para ulama, selain yang masih ragu, telah bersepakat bahwa untuk gadis perawan yang belum balig, ayahnya boleh menikahkannya tanpa seizinnya. Sebab, tidak ada gunanya meminta izin dari orang yang belum paham apa itu izin, dan yang sikap diam dan marahnya masih berimbang. (Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/24)
Mereka berdalil bahwa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menikahkan Aisyah saat ia masih kecil belum balig. Mereka juga membawa makna ‘perawan yang harus dimintai izinnya’ yang disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini sebagai perawan yang telah balig.
… وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“… dan perempuan yang perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izinnya.”
Di samping itu, karena usia kanak-kanak merupakan salah satu sebab terhalangnya (memiliki wewenang diri) berdasarkan nash dan ijma’, maka jadilah ia sebagai dasar pemaksaan itu. [Fath al-Bari (IX/98 – terbitan as-Salafiyah)]
Akan tetapi, jika anak gadis tersebut telah mengerti dan memahami arti pernikahan, maka dia pun harus dimintai izinnya juga karena telah masuk dalam keumuman perawan, di samping adanya kemaslahatan dalam meminta izin kepadanya. Wallahu a‘lam.
Catatan tambahan: Apakah Selain Ayah Boleh Memaksa Perempuan yang Masih Kecil?
Syaikh al-Islam menyebutkan bahwa syariat tidak memberi peluang kepada selain ayah dan kakek untuk memaksa perempuan yang masih kecil berdasarkan kesepakatan umat Islam.[Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/24)]
Penulis berkata: Barangkali yang beliau maksud adalah Imam yang Tiga, karena Abu Hanifah –dan al-Auza‘i– telah berkata tentang janda yang masih kecil, “Semua wali berhak menikahkannya. Adapun jika dia sudah balig, maka dia telah memiliki hak untuk memilih.” [Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/57)]
Untuk jumhur ulama, ada dalil berupa hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
تُسْتَأْمَرُ الْيَتِيمَةُ فِي نَفْسِهَا، فَإِنْ سَكَتَتْ فَهُوَ إِذْنُهَا، وَإِنْ أَبَتْ فَلَا جَوَازَ عَلَيْهَا
“Seorang perempuan yatim dimintai pertimbangan tentang dirinya. Apabila dia diam, maka hal itu adalah izinnya, dan apabila dia menolak, maka tidak boleh memaksanya.” [Fath al-Bari (IX/98 – terbitan as-Salafiyah) dan Bidayah al-Mujtahid (II/29)]
Perempuan yatim adalah anak perempuan yang ditinggal mati ayahnya dan dia belum mengalami haid, karena tidak disebut yatim jika telah mengalami mimpi basah (balig).
D. Wali Menghalangi Wanita Dari Menikah
Telah dijelaskan sebelum ini bahwa wali tidak boleh memaksa perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukai perempuan itu. Maka, demikian pula, dia tidak boleh menghalanginya menikah dengan laki-laki yang dia sukai jika memang laki-laki itu sekufu dengannya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ۗۗ
“Apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu habis masa iddah mereka, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suami-suami mereka, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Surat al-Baqarah:232)
Tentang sebab turunnya ayat ini, telah kami sebutkan di atas.
“Jika seorang wali menghalang-halangi perempuan yang menjadi tanggung jawabnya dari menikah, maka hak perwaliannya berpindah kepada orang lain. Asy-Syafi‘i dan Ahmad –dalam salah satu riwayat darinya– berpendapat bahwa hak perwalian bisa berpindah kepada hakim dalam kondisi di mana pihak perempuan dihalangi menikah oleh walinya. Sedangkan Abu Hanifah dalam riwayat yang masyhur darinya berpendapat bahwa hak tersebut berpindah kepada walinya yang terjauh kekerabatannya dengan syarat masih sekufu. Jika semua walinya menghalanginya dari menikah, maka semua ulama satu kata bahwa hak perwalian mereka berpindah kepada hakim.” [Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/37)]
Penulis berkata: Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Abu Hanifah karena adanya hadits marfu‘ dari Aisyah:
فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali.”[HR Ahmad dan Abu Daud]
Demikian uraian singkat mengenai hukum memaksa wanita untuk menikah. Semoga bermanfaat.