Fatwapedia.com – Bismillah. Berikut ini adalah terjemahan yang diambil dari “Kitaabul ‘Ilmi” (hlm. 272-292), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah pada bagian “Risaalah Fil Khilaaf Bainal ‘Ulamaa: Asbaabihi Wa Mauqifinaa Minhu” Yang telah diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Hendrix.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, serta bertaubat kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang menyesatkannya, dan barangsiapa Dia sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam atas beliau dan atas keluarga serta para shahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai Hari Kiamat.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali Imran: 102)
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisaa’:1)
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.” (QS. Al- Ahzaab: 70-71)
Amma Ba’du. Tema semacam ini -membahas soal ikhtilaf- terkadang memunculkan pertanyaan bagi banyak orang, kadang sebagian mereka bertanya: “Kenapa tema dan judul ini yang dibahas, padahal mungkin ada masalah-masalah agama lainnya yang lebih penting?”
Akan tetapi tema ini -khususnya pada zaman kita sekarang ini- telah menyibukkan pikiran banyak orang, bukan cuma orang awam; akan tetapi juga para penuntut ilmu. Hal itu dikarenakan banyaknya alat-alat (media) pemberitahuan yang menyebarkan dan memasyhurkan hukum-hukum (agama) di antara manusia, sehingga perselisihan antara ulama fulan dan ulama fulan menjadi sumber kekacauan, bahkan memunculkan keraguan (terhadap ulama) di sisi banyak orang, terlebih lagi orang-orang awam yang tidak mengetahui sebab-sebab perselisihan.
Oleh karena itulah saya mohon pertolongan kepada Allah untuk membicarakanperkara ini yang menurutku memiliki kedududkan yang penting untuk kaum muslimin.
Sungguh, termasuk nikmat Allah Tabaaraka Wa Ta’aalaa atas umat ini: bahwa perselisihan di kalangan umat ini tidaklah terjadi dalam prinsip-prinsip agama dan sumber-sumber agama yang asli. Perselisihan hanyalah terjadi pada perkara-perkara yang tidak merusak persatuan hakiki kaum muslimin.
Saya sebutkan secara global perkara-perkara yang ingin saya bicarakan sebagai berikut:
Yang pertama (harus diketahui adalah): bahwa sudah diketahu oleh seluruh kaum muslimin -dari apa yang mereka pahami dari Kitabullahdan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam-: Bahwa Allah Ta’aalaa mengutus Muhammad dengan petunjuk dan agama yang benar. Dan di dalamnya terkandung bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan agama ini dengan penjelasan yang memuaskan dan mencukupi; sampai tidak butuh kepada penjelasan lagi. Karena “petunjuk”: merupakan lawan dari kesesatan dengan segala maknanya, dan “agama yang benar”: merupakan lawan dari semua agama bathil yang tidak Allah ridhai.
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, dan manusia pada zaman beliau (masih hidup); mereka kembali kepada beliau ketika terjadi perselisihan, sehingga beliau menghukumi di antara mereka, dan beliau jelaskan mana yang benar; baik yang berkaitandengan perselisihan tentang Kalamullaah (Al-Qur’an), maupun perselisihan yang berkaitan dengan hukum-hukum Allah yang belum ada ayat yang turun untuk menjelaskan hukumnya, maka kemudian ayat turun menjelaskannya. Betapa banyak kita baca dalam Al-Qur’an firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu tentang…” Kemudian Allah Ta’aalaa menjawab Nabi-Nya dengan jawaban yang memuaskan, dan Dia memerintahkan beliau untuk menyampaikannya kepada manusia.
Allah Ta’aalaa berfirman:
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad): “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, menurut apa yang diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Al-Maa-idah: 4)
“…Dan mereka bertanya kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah: “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.” (QS. Al-Baqarah: 219)
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul), maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfaal: 1)
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) Haji.” Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari atasnya, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu- pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 189)
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi orang masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduk dari sekitarnya: lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai mereka (dapat) membuatmu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran; maka mereka itu sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217) Dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan tetapi setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihiwa sallam; maka umat ini berselisih dalam hukum-hukum syari’at, yang tidak membatalkan prinsip-prinsip syari’at dan tidak membatalkan sumber-sumber syari’at. (Perselisihan yang terjadi) hanyalah perselisihan yang akan kami jelaskan sebagian sebabnya insyaa Allaah.
Dan kita semua menegetahui dengan pasti bahwa: tidak ada seorang pun ulama yang terpercaya -secara keilmuan, amanah, dan agamanya-; yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara sengaja dan dimaksudkan. Karena mereka bersifat dengan ilmu dan agama; maka pasti tujuan utama mereka adalah mencari kebenaran. Dan barangsiapa yang tujuannya adalah mencari kebenaran; maka sungguh, Allah akan memudahkan-Nya. Dengarlah firman Allah Ta’aalaa:
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)
“Maka barangsiapa yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (Surga); maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7)
Akan tetapi semisal para imam tersebut adalah mungkin untuk muncul kesalahan dari mereka berkaitan dengan hukum-hukum Allah Tabaaraka Wa Ta’aalaa, bukan dalam masalah prinsip-prinsip yang telah kita isyaratkan sebelumnya. Kesalahan (dalam masalah hukum) ini adalah suatu perkara yang pasti terjadi, karena manusia adalah seperti yang Allah Ta’aalaa sifatkan dalam firman-Nya:
“… karena manusia diciptakan bersifat lemah.” (QS. An-Nisaa’: 28)
Manusia adalah lemah dalam ilmu dan pemahamannya, serta lemah dalam pengauasaan dan pencakupannya. Oleh karena itu: pasti muncul darinya kesalahan pada sebagian perkara.
Maka akan kami jelaskan secara global sebab- sebab munculnya kesalahan dari para ulama dalam 7 (tujuh) sebab berikut ini, yang pada hakikatnya sebab- sebabnya adalah banyak, ibarat lautan tak bertepi. Dan seorang yang faham terhadap pendapat-pendapat para ulama; maka dia akan mengetahui sebab-sebab perselisihan yang tersebar. Dan kami sebutkan secara global sebagai berikut:
Sebab Pertama:
Bahwa dalil (untuk suatu hukum) tidak sampai kepada ulama yang menyelisihi (kebenaran) sehingga dia salah dalam hukumnya.
Sebab ini tidak khusus untuk orang-orang setelah para Shahahat saja, tapi juga terjadi di kalangan para Shahabat dan orang-orang setelahnya.
Kita ambil dua buah contoh yang terjadi pada para Shahabat dari jenis ini:
Contoh pertama: Kita mengetahui riwayat yang shahih dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya, ketika Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththtab radhiyallaahu ‘anhu melakukan perjalanan menuju Syam. Dan di tengah jalan, beliau diberitahu bahwa ada wabah di sana -yaitu: Thaa’uun-. Maka beliau berhenti dan bermusyawarah dengan para Shahabat yang lain radhiyallaahu ‘anhum, beliau bermusyawarah dengan para Muhajirin dan Anshar, dan mereka berselisih menjadi dua pendapat.
Dan pendapat yang terkuat adalah pendapat untuk kembali (ke Madinah dan tidak melanjutkan perjalanan ke Syam karena ada wabah-pent). Di tengah diskusi dan musyawarah ini; maka datanglah ‘Abdurrahman bin ‘Auf -yang dia tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan-, maka dia berkata: Saya punya ilmu tentang masalah ini, saya mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu mendengar (wabah Thaa’uun) itu ada di suatu negeri; maka janganlah kamu memasuki (negeri tersebut), dan jika kamu ada di dalam negeri itu ketika wabah terjadi; maka janganlah kamu keluar untuk melarikan diri darinya.”
Maka hukum ini telah samar atas para pembesar Shahabat dari Muhajirin dan Anshar, sampai datang ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan dia mengabarkan hadits ini kepada mereka.
Contoh yang lain: ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu dan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa berpendapat bahwa: wanita hamil yang ditinggal mati suamainya; maka ‘iddah- nya adalah dengan yang paling lama dari dua waktu: dari (1) empat bulan sepuluh hari, atau (2) sampai wanita itu melahirkan. Sehingga jika dia melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari; maka ‘iddah-nya belum selesai sampai lewat empat bulan sepuluh hari. Dan jika telah lewat empat bulan sepuluhhari dan wanita itu belum juga melahirkan; maka ‘iddah-nya belum selesai sampai dia melahirkan. Karena Allah Ta’aalaa berfirman:
“…Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil; maka ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya…” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Dan Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri; maka hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari…” (QS. Al-Baqarah: 234)
Maka di antara dua ayat tersebut ada keumuman dan kekhususan (dilihat dari masing-masing) segi. Dan cara untuk menggabungkan keduanya adalah dengan suatu kesimpulan yang bisa menggabungkan keduanya, dan tidak ada cara lain kecuali dengan menempuh apa yang ditempuh oleh ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa. Akan tetapi (ada penjelasan dari) Sunnah (Nabi) yang tentunya (dijunjung) di atas semua (pendapat).
Telah shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Subai’ah Al-Aslamiyyah bahwa dia nifas setelah beberapa hari kematian suaminya, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya untuk menikah.
Jadi penjelasannya: bahwa kita mengambil Surat Ath-Thalaq -yang dinamakan Surat An-Nisaa’ Shugra-; yaitu karena keumuman firman Allah:
“…Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil; maka ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya…” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Dan saya yakin bahwa kalau hadits ini sampai kepada ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas; pasti keduanya akan mengambilnya dan tidak terus mengikuti pendapat tersebut. Wallohu a’lam. Bersambung Insyaa Alloh…