Sejarah Berdarah Sekte Syiah Qaramithah

Sejarah Berdarah Sekte Syiah

Fatwapedia.com – Lahir dari pemahaman yang berdiri diatas syahwat, kebencian dan kedustaan. Mereka bersembunyi di balik slogan-slogan menyejukkan untuk menipu kaum muslimin.

Mulut mereka yang sering digunakan untuk berkumur-kumur tentang toleransi, mencintai ahlul bait dan sebagainya adalah mulut yang sama yang mengalamatkan cacian-cacian kepada para Sahabat, isteri-isteri nabi, kedua mertua nabi dan menantu nabi ﷺ. Bahkan cacian-cacian kepada generasi terbaik umat islam itu menjadi dzikir bagi mereka dan bernilai pahala.

Kita tidak akan membahas lebih jauh tentang ajaran-ajaran dan pemahaman nyeleneh Syiah yang jika kita sodorkan kepada mereka, mereka akan berkelit sedemikian rupa dengan Taqiyah yang merupakan nafas ajaran tersebut. Mengutip perkataan imam Syafi’i rahimahullah, beliau berkata, “Aku membolehkan persaksian seluruh ahlul ahwa kecuali Rafidhah. Karena mereka itu saling memberikan kesaksian “palsu” antara satu dengan yang lain.”

Postingan ini akan fokus membahas sedikit sejarah sekte-sekte syiah yang berbuat kekacauan di dunia islam dan menjadi “duri dalam daging” di tubuh kaum muslimin.

  1. Syiah Qaramithah yang haus darah,
  2. Bani Buwaih yang berbuat kekacauan di Irak,
  3. Daulah Syiah Ubaidiyyah yang menjadi sahabat salibis,
  4. Syiah Bathiniyyah Hasyasyin yang melemahkan umat islam pada masa perang salib,
  5. Syiah Safawid yang kejam dan berniat menggali makam Nabi ﷺ.

Syiah Qaramithah Yang Gemar Menumpahkan Darah

Qaramithah berawal dari sebuah gerakan Syi’ah Ismailiyyah yang dikembangkan oleh Hamdan Qarmath di kawasan Sawad pada tahun 278 H. Ia merupakan murid dari salah satu tokoh sentral gerakan Syiah Ismailiyyah bernama Abdullah bin Maimun Al Qaddah yang tewas saat melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Abbasiyyah.

Mewarisi ilmu kebatinan dari sang guru, Hamdan Qarmath mendirikan sekte kebatinan dan membangun dar al hijrah sebagai markas gerakan baru dalam sekte Syi’ah Islamiliyyah yang terletak di dekat Kuffah.

Beberapa tahun setelahnya, kelompok ini berhasil menguasai Bahrain di bawah pimpinan Abu Said al-Janabi Hasan bin Bahram. Setelah Hasan meninggal, digantikan anaknya Sulaiman bin Hasan bin Bahram. Dia lebih dikenal dengan Abu Thahir. Di masa pemerintahan Abu Thahir, banyak wilayah arab yang dikuasai Qaramithah.

Para Qaramithah ini begitu banyak menumpahkan darah kaum muslimin. Di tahun 311 H, Abu Said Al Janabi dan pasukannya memasuki Basrah pada tengah malam dan membantai para penduduk. Mereka tinggal disana selama 17 hari. Di tahun 312 H, para Qaramithah menghadang rombongan yang baru saja melaksanakan haji. Beberapa daerah juga mereka masuki dan melakukan pembantaian.

Puncaknya pada 317 H, Syiah Qaramithah dipimpin oleh Abu Thahir memasuki Mekkah pada hari tarwiyah dan membantai orang-orang yang berada di Masjidil Haram. Para jemaah haji berhamburan. Diantara mereka ada yang berpegangan dengan kain penutup Kabah, akan tetapi itu tidak bermanfaat bagi mereka. Setelah selesai melakukan pembantaian, orang-orang Qaramithah membuang jasad para korban ke dalam sumur zamzam.

Qubbah zamzam dihancurkan, pintu kabah dicopot dan kiswahnya dilepaskan kemudian dirobek-robek. Mereka berdiam di Makkah selama 11 hari. Begitu kembali ke negeri asalnya, Abu Thahir membawa serta hajar aswad. Selama 22 tahun hajar aswad berada di tangan Syiah Qaramithah hingga akhirnya kembali ke Masjidil Haram pada tahun 339 H.

Dinasti Buwaih Berulah Di Irak

Memasuki abad keempat Hijriah, putra-putra Buwaih mulai muncul dipentas sejarah, mereka adalah Ahmad, Hasan dan Ali sebagai yang tertua. Ali bin Buwaih adalah gubernur salah satu raja Dailam atas kawasan kecil yang disebut Karaj.

Ali bin Buwaih mampu mendapatkan rasa simpati dan dukungan masyarakat luas di negerinya dan negeri sekitarnya. Saudara-saudaranya membantunya hingga ia mampu menguasai Persia.

Pada tahun 334 H, sang adik, Ahmad bin Buwaih memasuki Baghdad yang sedang terjadi perebutan kekuasaan. Ia lalu menurunkan Khalifah Al Mustakfi Billah dari kursi kekuasaan dan digantikan oleh Al Muthi’ Lillah bin Al Muqtadir Billah. Ahmad bin Buwaih memakai gelar Muizzudaulah dan menjadi penguasa Irak.

Masuknya penguasa Buwaih ke Baghdad makin memperburuk kondisi masyarakat dalam segi ekonomi maupun sosial, baik di Baghdad ataupun Irak secara umum. Ahmad bin Buwaih sangat korup dan terang-terangan dengan kesyiahannya. Bani Buwaih memberikan dorongan agar fanatisme-fanatisme Syiah tersebar di Baghdad. Tentu dengan tindakan represif terhadap Ahlussunnah yang menyebabkan kekisruhan di tiap tahunnya.

Bani Buwaih memerintah memakai nama Abbasiyyah yang Sunni. Mereka tidak menghilangkan kekhalifahan Abbasiyyah karena faktor politik. Irak dan kota Baghdad secara khusus menjadi panggung konflik akibat ulah paham fanatisme sempit Syiah para penguasa Buwaih.

Pada tahun 338 H, terjadi bentrokan pertama antara kaum muslimin Ahlussunnah melawan orang-orang Syiah yang menyebabkan kota Karakh dijarah. Bentrokan kembali terjadi Ramadhan tahun 340 H.

Ahmad bin Buwaih juga seringkali melindungi orang-orang sesat yang selain dari Syiah. Hal ini membuat kekacauan dan penyimpangan akidah merajalela. Rentang tahun 346 hingga 249 H, bentrokan di kota Baghdad terjadi tiap tahunnya akibat orang-orang Syiah  mencela para Sahabat yang mulia dan memakan begitu banyak korban jiwa.

Bentrokan antara kaum muslimin Ahlussunnah melawan para pencela Sahabat kian meluas, tidak hanya di Baghdad tapi hingga ke Basrah dan Hamadzan.

Pada tahun 345 H, terjadi pertempuran antara kaum muslimin Ashbahan melawan masyarakat Syiah kota Qum.

Pada tahun 351 H, orang-orang Syiah yang mendapat dukungan dari Ahmad bin Buwaih dengan lancangnya menuliskan celaan-celaan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman dan Mu’awiyah (radiallahu’anhum ‘ajma’in) di pintu-pintu masjid kota Baghdad. Pada malam harinya, kaum muslimin berhasil menghapus tulisan-tulisan berisi makian tersebut.

Allah ‘Azza Wajalla mengistirahatkan kaum muslimin dari kecongkakan penguasa syiah ini melalui tangan Sultan Saljuk Thughrul Bek. Pada tahun 447 H, Thughrul Bek memasuki kota Baghdad dan menangkap raja terakhir Bani Buwaih disana, Abu Nashr Khasru.

Daulah Ubaidiyyah Membantu Pihak Salibis

Daulah Ubaidiyyah merupakan pemerintahan Syiah Bathiniyyah Ismailiyyah di Mesir. Mereka secara dusta mengaku keturunan Fatimah. Asy Syarif Ibnu Thabathaba pernah bertanya kepada pemimpin Daulah Syiah ini yang dikenal dengan sebutan Al Mu’izz Al Ubaidi mengenai nasabnya. Al Mu’izz lalu mengunuskan pedangnya seraya berucap, “inilah nasabku”, kemudiaan ia menebarkan emas dan mengatakan, “inilah pelindungku.”

Seiring seruan Paus Urbanus II pada konsili Clermont tahun 488 H, kaum Kristen di Eropa segera mempersiapkan diri untuk melakukan Perang Suci dengan tujuan negeri islam di Timur (Baitul Maqdis). 

Saat pasukan Salib memasuki kawasan Asia Kecil, Sultan Kilij Arselan dari Saljuk Rum menyambut mereka dengan pedang dan tombak. Pertempuran pertama berhasil dimenangkan oleh pasukan Saljuk Rum. Namun pertempuran-pertempuran selanjutnya berada di pihak koalisi Salibis yang dikomandoi beberapa Ksatria dari Eropa Barat.

Saat kaum muslimin -yang diwakili pasukan- Saljuk Rum sibuk menahan gelombang serangan pihak Salibis, Daulah Syiah Ubaidiyyah mengambil kesempatan dan menyerang wilayah-wilayah strategis di Syam yang saat itu merupakan kekuasaan Turki Saljuk yang Sunni.

Ketika pasukan pasukan Salib mengepung kota Antioch, penguasa Ubaidiyyah Al Afdhal bin Badr Al Jamali mengirimkan utusan kepada pemimpin pasukan Salib dan menawarkan kerjasama. Inti kerjasama itu bahwa kedua belah pihak tidak saling menyerang dan bersama-sama memberangus kekuataan Turki Saljuk. Wilayah Syam nantinya akan dibagi dua, wilayah utara untuk pihak Salibis dan bagian selatan untuk Daulah Ubaidiyyah penganut Syiah Ismailiyyah.

Maka di tahun yang sama dengan jatuhnya kota Antioch ke tangan Salibis, pasukan Syiah Ubaidiyyah melakukan pengepungan terhadap Baitul Maqdis dan berhasil merebut kota suci tersebut dari tangan Bani Saljuk pada bulan Sya’ban 491 H.

Setelah itu, Al Afdhal Al Ubaidi mengirim utusan kedua kepada pemimpin pasukan Salib yang sedang bergerak mendekat ke arah Baitul Maqdis. Hal itu bertujuan untuk menawarkan kembali perjanjian dan mengimingi-imingi pihak Salibis dengan sesuatu. Namun pihak Salibis menolak tawaran tersebut dan mengatakan, “Kami akan memasuki Baitul Maqdis dengan senjata tanpa harus mendapat izin dari khalifah di Cairo.”

Setelah pengepungan selama 39 hari, pasukan Salib akhirnya berhasil membobol benteng kota dan melakukan pembantaian yang amat mengerikan yang digambarkan oleh salah satu ahli sejarah perang salib asal Eropa, “Pasukan kami berjalan dalam lautan darah yang mencapai lutut kuda-kuda mereka.”

Kepala pasukan Ubaidiyyah bernama Iftikhar Addaulah memohon perlindungan agar ia dan pasukannya yang tersisa dibiarkan keluar meninggalkan Baitul Maqdis. Salah satu pemimpin pasukan salib bernama Raymond mengabulkan hal itu.

Kejadian pilu itu terjadi bertepatan dengan hari Jum’at 23 Sya’ban 492 H.

Bukan hanya di Syam saja, jauh sebelumnya, penguasa Daulah Ubaidiyyah juga pernah bekerjasama dengan pihak Kristen Utara di Andalusia untuk melemahkan kekuatan Kekhalifahan Umayyah II. Namun dengan kecakapan militer yang dimiliki Khalifah Umayyah Andalusia Abdurrahman An Nashir, serangan-serangan Syiah Ubaidiyyah itu mengalami kegagalan.

Gerakan Hasyasyin (Assasin) Hasan As Sabah

Kemenangan pasukan Salib atas kaum muslimin pada perang Salib memang disebabkan oleh berbagai faktor. Namun, kami akan fokus membahas faktor yang dimana Syiah Bathiniyyah Ismailiyyah punya campur tangan dan membuat kaum muslimin lemah.

Selain kerjasama yang dilakukan pihak Daulah Ubaidiyyah yang telah disebutkan diatas, terdapat gerakan Syiah Bathiniyyah lain yang memberikan andil besar melemahkan gerakan jihad kaum muslimin saat perang Salib sedang berlangsung. Gerakan ini berpusat di benteng Alamut yang berada di sebelah barat laut Qazwin yang dipimpin Hasan As Sabah.

Hasan As Sabah berasal dari Rayy dan mendapat pelajaran ilmu kebatinan dalam sekte Syi’ah Ismailiyyah di Mesir. Hasan pernah menjadi dai propaganda Syiah Ubaidiyyah di tubuh kekhalifahan Abbasiyyah. Dari benteng Alamut, Hasan As Sabah bersama murid-muridnya yang berani mati melakukan aksi pembunuhan yang sangat mengerikan. Gerakan Syiah Bathiniyyah Ismailiyyah ini dikenal dengan kelompok Hasyasyin (Assassin).

Para Hasyasyin mendirikan beberapa pemukiman di Irak, Syam dan Isfahan. Kehadiran kelompok ini sangat melemahkan kekuatan umat Islam dalam melawan tentara Salib. Setiap kali kaum muslim mulai bergerak ke arah persatuan, Assassin membunuh beberapa tokoh kunci dan memicu gejolak baru. 

Target pembunuhan mereka adalah para pejabat istana, penguasa daerah, komandan jihad dan ulama yang dapat menyatukan kaum muslimin dan ditakuti pihak Salibis. 

Tokoh Islam yang pertama kali dibunuh secara keji oleh Hasyasyin adalah Nizham Al Mulk, perdana menteri Dinasti Saljuk yang sangat dekat dengan ulama Syafi’iyyah. Itu terjadi pada tahun 485 H. Beberapa perdana menteri yang lain juga menjadi target pembunuhan gerakan Hasyasyin, antara lain: Abu Thalib As Samirmi yang dibunuh dengan tiga puluh luka sabetan pedang di tubuhnya. Muin Al Mulk Ahmad Al Fadhl dan Fakhrul Mulk putera Nizham Al Mulk.

Aksi pembunuhan Hasyasyin yang menargetkan para komandan jihad dan penguasa daerah antara lain: Janauddaulah Husein, penguasa Homs yang dibunuh ketika hendak melaksanakan Shalat Jum’at pada tahun 495 H. Komandan jihad Al Amir Mudud bin An Nuktin, dibunuh di halaman Masjid Agung Bani Umayyah pada tahun 507 H. Ia adalah komandan yang dalam beberapa pertempuran mampu mengalahkan pasukan salib.

Hasyasyin juga berhasil membunuh walikota Mosul, Aq Sanqar Al Barsaqi tahun 520 H. Sebelas orang Syiah Bathiniyyah menyerangnya di Masjid Agung Mosul saat sedang shalat Jum’at. Aq Sanqar terbunuh setelah berhasil melukai tiga orang diantara para penyerangnya.

Sultan Shalahuddin Al Ayyubi dua kali mengalami percobaan pembunuhan pada tahun 571 H yang dilakukan oleh orang-orang Bathiniyyah namun gagal.

Khalifah Abbasiyyah juga tak luput dari target Hasyasyin. Khalifah Al Mustarsyid dibunuh dan digantung pada tahun 529 H. Setelah itu, puteranya, Khalifah Ar Rasyid dibunuh pada tahun 532 H di Isfahan.

Adapun korban pembunuhan dari kelompok para ulama begitu banyak. Kebanyakan dibunuh ketika sedang melaksanakan Shalat Jum’at, Idul Fitri atau sedang menyampaikan ceramah di mimbar.

Muhammad Hamid An Nashr dalam kitab Al Jihad Wa Tajdid membuat daftar korban pembunuhan gerakan Hasyasyin yang mencapai 40an tokoh terkemuka. Dari daftar itu kita dapat melihat sejauh mana dampak pembunhan keji para Syiah Bathiniyyah Ismailiyyah untuk melemahkan kaum muslimin yang sedang sibuk melawan para Salibis. Kita juga mengetahui waktu-waktu favorit para Hasyasyin melakukan pembunuhan.

Orang-orang yang dibunuh merupakan para ulama dan tokoh terkemuka serta memiliki pengaruh luar biasa untuk melawan pasukan Salib baik dalam bidang politik, intelektual, dan konfrontasi bersenjata.

Jatuhnya Kota Bagdad

Pada akhir kepemimpinan khalifah Al Mustanshir, jumlah pasukan Bani Abbasiyyah mencapai seratus ribu pasukan. Saat tampuk kepemimpinan dipegang oleh Al Muktashim, sang perdana menteri khalifah bernama Ibnul Alqomy memangkas jumlah tentara hingga tersisa 10.000 saja dengan alasan menghemat anggaran negara.

Bersamaan dengan itu, Ibnul Alqamy terus mengirim surat kepada Hulagu yang memintanya untuk menyiapkan pasukan dan menggambarkan kondisi pertahanan Baghdad yang semakin melemah. Itu semua ia lakukan demi menumbangkan kekuasaan Bani Abbasiyyah yang Sunni. Ibnu Alqomy juga mempunyai dendam pribadi pada peristiwa pembunuhan beberapa orang syiah di kota Alkrukh.

Hulagu akhirnya bergerak menuju Baghdad dengan 200.000 prajurit. Dikarenakan makar Ibnu Alqomy, pasukan kekhalifahan baru menyadari kedatangan Hulagu saat pasukan Tatar telah berada di dekat kota Baghdad. Pasukan Khalifah yang hanya berjumlah 10.000 prajurit tidak mampu melakukan perlawanan yang berarti.

Khalifah Al Mukhtashim beserta keluarganya serta para pembesar istana datang menemui Hulagu untuk mengatur perdamaian. Namun begitu sampai di tempat pertemuan, rombongan Khalifah malah dibunuh. Pembunuhan ini merupakan tipudaya berikutnya yang dilakukan si Rafidhah Ibnu Alqomy. Tidak cukup sampai disitu, pembantaian berlanjut kepada seluruh penduduk Baghdad. Tidak ada yang tersisa dari penduduk kota Bagdad kecuali yang bersembunyi.

Pembantaian Tatar terhadap penduduk Baghdad berlangsung selama empat puluh hari. Yang tewas mencapai 800.000 jiwa. Baghdad luluhlantak dan perpustakaan dihancurkan. Buku-buku para ulama dilempar ke Sungai Tigris hingga air sungai menjadi hitam karena tinta. Masuknya pasukan Tatar ke dalam kota Baghdad terjadi pada 10 Muharram tahun 656 H.

Setelah itu, Ibnu Alqomy meminta Hulagu mengangkat dia sebagai penguasa daerah dan untuk Khalifah yang baru dari kalangan Alawiyyin namun permintaan itu ditolak. Akhirnya Ibnu Alqomy terus menjadi pelayan untuk para Tatar dan mati dalam keadaan yang menyedihkan.

Selain peran Ibnul Alqamy peristiwa ini juga tidak lepas dari peran seorang Syiah lainnya bernama Nashirudin At Thushi, penasehat Hulagu yang dari jauh-jauh hari telah mempengaruhi Hulagu untuk menguasai kota Baghdad.

Daulah Shafawiyyah

Nasab pemerintahan Safawid ini berasal dari nama Shafiuddin Al-Ardabili yang hidup tahun 650-735 H. Dia adalah kakek dari Syah Ismail Ash Shafawi, pendiri pemerintahan Safawid.

Shaifuddin Al Ardabili adalah seorang sufi-darwisme, ia berhasil membuka jalan untuk berbaur di tengah-tengah masyarakat Iran. Ketika Shaifuddin mendakwahkan ajarannya secara sembunyi-sembunyi di Iran, berhembus kabar dusta bahwa ia adalah keturunan Ali. Hal ini membuat kelompoknya berubah menjadi berpaham Syiah. Gerakan kelompok ini pada masa itu belum masuk ke ranah politik. Bahkan di depan khalayak, Shaifuddin Al Ardabili masih melakukan Taqiyah dan mengaku sebagai Ahlussunnah bermazhab Syafi’iyyah -mazhab mayoritas di Iran saat itu-.

Hingga pada abad ke sepuluh hijriah tegaklah daulah Shafawiyyah dibawah kepemimpinan Ismail Ash Shafawi. Ia mengumumkan bahwa ideologi negara adalah Syi’ah Imamiyyah Itsna Asy’ariyyah, serta memaksa seluruh masyarakat untuk menganutnya. Hal ini mendapat perlawanan keras dari kaum muslimin, khususnya masyarakat kota-kota besar di Iran seperti Tibriz. Ismail Ash Shafawi akhirnya membungkam kaum muslimin dengan mengirimkan bala tentara.

Semua kekuatan Syiah yang ada yang merupakan sisa-sisa kelompok Al Ubaidiyyun di Mesir, Ismailiyah atau Safawid sendiri bersatu dan bergandeng tangan untuk mendeklarasikan Syiah Itsna Asyariyyah di lran dengan tujuan agar kaum muslimin Ahlussunnah menjadi minoritas atau bahkan hilang.

Ismail Ash Shafawi sangat terkenal sebagai pemimpin yang bengis dan kejam. Ia pernah memasuki Baghdad dan menyembelih kaum muslimin disana. Quthbuddin Al-Hanafi berkata dalam bukunya Al-Alam, “Sesungguhnya dia telah membunuh lebih dari sejuta manusia. Satu hal yang belum pernah terjadi di masa Jahiliyah, apalagi di masa Islam, tidak pula pada umat-umat terdahulu. Dia juga membunuh sejumlah besar ulama ternama, sehingga tidak ada sesorang alim pun yang tersisa di negeri-negeri non-Arab. Dia membakar semua mushaf dan buku-buku para ulama dan menolak dengan keras Abu Bakar dan Umar serta Utsman radiallahu’anhum sebagai khalifah.”

Ismail As Shafawi pernah dikalahkan oleh Salim I -saat Salim masih menjadi penguasa daerah Utsmani-. Kekalahan yang dialami Safawid itu membuat mereka sakit hati dan bersedia bekerjasama dengan siapa saja yang memusuhi Daulah Utsmani. Hal itu terus mereka lakukan dari waktu ke waktu untuk melemahkan pijakan Daulah Utsmaniyyah.

Salah satu koalisi Safawid-Kristen yang paling buruk diantara yang terburuk adalah rencana menyerang Madinah. Ismail Ash Shafawi dan komandan laut Portugal Alfonso de Buquerque bekerjasama untuk mencuri jasad Rasulullah ﷺ Namun rencana terkutuk ini berhasil digagalkan oleh Sultan Utsmani Salim I pada 2 Rajab 920 H yang dikenal dengan pertempuran Chaldiran.

Sekilas antara beberapa sekte syiah diatas mungkin terlihat seakan berdiri sendiri dan tak saling berhubungan. Kenyataannya, dai propaganda syiah yang bernama Asy Syairazi adalah orang yang dekat terhadap penguasa Bani Buwaih di Irak dan Ubaidiyyah di Mesir. Perkataan orang ini sangat di dengarkan oleh penguasa dari dua pemerintahan Syiah tersebut. Ia sendiri berasal dari keluarga fanatik Syiah Qaramithah. Dan juga, saat Syiah Qaramithah mengepung Damaskus, mereka dipersenjatai oleh pemerintahan Ubaidiyyah.

Begitu juga para Hasyasyin. Setiap pembunuhan yang mereka lakukan adalah buah dakwah Syiah Ismailiyyah Ubaidiyyah di Mesir. Dan pengikut-pengikut mereka yang tersisa akhirnya bergabung dalam proyek Syiah Daulah Safawid Iran.

Mereka adalah satu dalam hal kerusakan aqidah dan upaya memberangus kaum muslimin walaupun sebagian mereka adalah pecahan dari sebagian yang lain. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa Syiah Ismailiyyah dan seluruh sekte turunannya lebih berbahaya dari orang-orang kafir harbi.

Abu Bakar An Nablusi berkata dihadapan penguasa Syiah Ismailiyyah Al Muizzu Al Ubaidi, “Jika di tanganku ada 10 anak panah, tentu aku akan memanah orang Romawi dengan satu anak panah dan sisanya untuk Muizziyyun (orang-orang Syiah).” Semoga dapat diambil pelajaran.

Oleh: Abdurrahman Al Buthony

Leave a Comment