Fatwapedia.com – Ibnu Aqil Al-Hanbali adalah salah seorang Fuqoha Al-Hanabilah yang di tahdzir oleh ekstrim Hanabilah karena berguru ilmu kalam kepada Abu Ali Bin Walid; seorang tokoh mu’tazilah. Konflik antara Ibnu Aqil dan Ghullat Al-Hanabilah ini berlangsung dari tahun 461 H sampai tahun 465 H.
“Saudara kami dari pengikut mazhab Hanbali menginginkan agar aku meninggalkan sekelompok ulama. Hal itu menghalangiku untuk menimba banyak ilmu yang bermanfaat dari mereka” Keluh Ibnu Aqil.
Tahun 469 H, Abu Nasr Bin Al-Qushairy mengunjungi Madrasah An-Nizamiyah di Baghdad. Beliau berkhutbah, mencela pengikut mazhab Hanbali dan menuduh mereka berpaham tajsim. Pendapat ini didukung oleh banyak ulama yang mengajar di Madrasah An-Nizamiyah seperti Abu Ishaq Al-Shirazy dan Abu Sa’ad Ash-Shufi. Lalu terjadilah fitnah dan berlangsung hingga diluar madrasah. Pengikut mazhab Syafi’i kemudian menyerang Syeikh Abu Ja’far Bin Musa seorang tokoh mazhab Hanbali ketika beliau berada di mesjidnya. Para pengikut mazhab Hanbali kemudian melakukan perlawanan dan terjadilah bentrokan dan saling bunuh.
Tahun 475 H, pengikut mazhab Syafi’i menyambut Abu Al-Qasim Al-Bakri Al-Al-Asy’ary di Madrasah An-Nizhamiyah. Beliau berceramah dan berkata:
و ما كفر سليمان و لكن الشياطين كفروا (البقرة-102) و الله ما كفر أحمد و لكن أصحابه كفروا
“Dan Sulaiman As tidaklah kafir, akan tetapi Syaitan-syaitanlah yang kafir.. (Al-Baqarah-102) Demi Allah Imam Ahmad tidaklah kafir tapi para pengikutnyalah yang kafir”
Ceramah ini kemudian menyebabkan bentrokan didalam dan diluar Madrasah An-Nizamiyah.
Tahun 495 H, para pengikut Hanabilah menuduh Imam Al-Kaya Al-Harasy, murid Imam Al-Haramain dan teman Imam Al-Ghazali sebagai Syi’ah Bathiniyah. Beliau kemudian ditangkap dan dipenjara serta dipecat dari Madrasah An-Nizamiyah dan dilarang mengajar. Hingga kemudian para ulama yang inshaf dari kedua belah pihak turun tangan diantaranya adalah mahagurunya pengikut Hanbali Al-‘Allamah Ibnu Aqil Al-Hanbali dan membantah fitnah terhadap Al-Kaya Al-Harasy dan beliaupun dilepaskan.
Tahun 521 H, seorang tokoh Asya’irah Abu Al-Fath Al-Ishfariny mengunjungi Baghdad dan berceramah di mesjid Khalifah Al-Manshur. Pengikut mazhab Hanbali kemudian melakukan demonstrasi dan menyerang Abu Al-Fath. Kemudian mereka keluar mesjid dan berteriak di jalanan; “Hari ini adalah harinya pengikut Hanbali, bukan Syafi’i dan bukan Asy’ary”.
Cerita-cerita diatas adalah sebagian dari contoh perseteruan abadi antara pengikut Hanbali kontra Asy’ari sebagaimana diceritakan Ibnu Atsir, Ibnu Al-Jauzy, Ibnu Asakir dan Ibnu Katsir dalam kitab-kitabnya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi hari ini antara kedua madrasah pemikiran besar yang eksis ini.
Konflik antar mazhab, penyelewengan sebagian pengikut tasawwuf, serangan dari Syiah Bathiniyah, lemahnya Khilafah Abbasiyah, berdiri kerajaan-kerajaan kecil seperti dinasti Mamalik di Mesir dan dinasti Seljuk serta sebab-sebab lainnya kemudian memudahkan Pasukan Salib menduduki Baitul Maqdis dan membantai puluhan ribu umat islam.
Penyelewengan-penyelewan ini kemudian dikritik oleh Imam Al-Ghazali dalam banyak kitabnya. Al-Ghazali mengkritik para fuqoha, para mutakallimin, para pengikut tasawwuf dalam Ihyanya. Al-Ghazali menyerang kaum filosof dalam Tahafutnya. Beliau menelanjangi kaum Bathiniyah dalam Fadhaih Al-Bathiniyah. Al-Ghazali mengingkari sebagian pengikut Hanabilah, Asyairah bahkan Mu’tazilah yang bermudah-mudahan dalam mengkafirkan di Faishal Attafriqahnya.
Reformasi terus dilakukan hingga kemudian Allah melahirkan sebuah generasi cemerlang yang akan terus dikenang; generasi Shalahuddin Al-Ayyubi yang mengembalikan Al-Quds kepangkuan umat islam. Tentunya, generasi ini tidak lahir sekonyong-konyong dari langit, tapi hasil dari kesadaran kolektif dan perbaikan panjang puluhan tahun. Generasi yang lahir atas sikap toleransi antar sesama umat yang mengaku paling mewakili Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ditengah kehinaan dan keterbelakangan umat islam saat ini, wajar jika kita menunggu “Shalahuddin dan generasinya” terlahir kembali untuk mengembalikan Al-Quds kepangkuan umat Islam. Sayangnya, masa itu sepertinya masih agak lama. Karena disamping gemar bertikai dengan sesama, sebagian umat ini justru mulai menerima eksistensi Penjajah yang mencaplok Palestina dan kiblat pertama umat Islam.