Sejarah Penanggalan Hijriyyah & Bagaimana Kita Beramal Di Bulan Muharram

Sejarah Penanggalan Hijriyyah & Bagaimana Kita Beramal Di Bulan Muharram

Fikroh.com – Peristiwa Hijrah dapat dikatakan sebagai peristiwa terbesar dalam sejarah dakwah Islam. Kelak -pada masa ‘Umar- moment hijrah inilah yang dijadikan acuan sebagai awal penanggalan tahun dalam Negara Islam. Hijrah adalah moment saat Nabi dan Para Sahabat mulai meraih kemenangan dakwah. 

Karena erat kaitannya dengan sejarah besar Islam, maka memperingatinya adalah sesuatu yang penting. Bukan bid’ah. Tahun Hijriyyah adalah Tahun Ummat Islam. Erat kaitannya dengan sejarah peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah dan Para Sahabat, dengan bimbingan wahyu.

Kita harus memanfaatkan moment tersebut sebagai refleksi amal kita setahun belakang. Dan kita jadikan awal tahun itu sebagai kesempatan bagi kita menyusun program-program perbaikan ilmu dan amal. Dalam bahasa kekiniannya, Resolusi Tahun 1441 Hijriyyah. 

Sejarah Penanggalan Hijriyyah

Masyarakat Arab Pra-Islam telah mengenal sistem penanggalan hari dan bulan. Mereka telah mengenal awal bulan, hari kedua, dst menggunakan standar hilal. Mereka juga mengenal bulan Muharram, Shofar, Dzulhijjah, dll [termasuk bulan-bulan haram)] Hanya saja, mereka belum mengenal sistem penanggalan tahun.

Mereka biasanya menggunakan nama kejadian atau peristiwa yang terjadi pada saat itu, sebagai acuan tahun. Seperti : Tahun Gajah [saat penyerangan Ka’bah oleh Tentara Gajah pimpinan Abrahah]; Tahun Fijar [saat terjadi Perang Fijar]; Tahun Banjir [saat Makkah dilanda Banjir]. Terkadang, mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai acuan, semisal: 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai. 

Sampai akhirnya di masa pemerintahan Umar Ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu, mulai ditetapkanlah sistem penanggalan Tahun Hijriyyah. Sebagaimana kita ketahui, ‘Umar lah yang banyak meletakkan dasar-dasar pemerintahan di dalam sistem Islam, dimana salah satunya adalah sistem diwan. Sehingga, layak lah ‘Umar dikatakan sebagai “Bapak Pemerintahan Islam”. 

Di tahun ketiga ‘Umar menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah. 

Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah datang kepada kami beberapa surat dari Amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun lalu.”

Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:

ضعوا للناس شيئاً يعرفونه

“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”

Sebagian sahabat mengusulkan, menjadikan tahun bangsa Romawi sebagai acuan. Namun usulan ini ditolak, karena tahun Romawi dianggap sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain. (Fashlul Khithab fi Sirati Ibnil Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1/150)

Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayyab, beliau menceritakan:

Khalifah ‘Umar mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya : “Sejak kapan kita harus menulis tahun?”

Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama. (Al-Mustadrak No. 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan?

Jawabannya disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar sebagai berikut:

أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة

“Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat.

Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. 

Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau.” (Fathul Baari, 7/268)

Abu Zinad mengatakan:

استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة

”Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah”. (Fashlul Khithab fi Sirati Ibnil Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1/150)

Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakan sebagai kalender hijriah.

Setelah mereka sepakat bahwa perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.

Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharram. Karena beberapa alasan:

a. Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa-masa silam.

b. Di bulan Muharram, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke Baitullah.

c. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharram. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat ‘Aqabah yang kedua. (Fathul Bari, 7/268)

Sejak saat itu kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.

Beramal di Bulan Muharram

Amalan di bulan Muharram telah Allaah gariskan dengan shaum. Adapun shalat malam, sedekah anak yatim, dsb maka perbuatan baik tersebut boleh dikerjakan di bulan Muharram berdasarkan ijtihad ‘ulama.

Bagaimanakah shaum Muharram?

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu ia berkata; bahwasanya Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Shaum yang paling afdhal setelah bulan Ramadhan, adalah [shaum] di bulan Allah, yakni Muharram. Dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu, adalah shalat malam”. (HR. At-Tirmidzi No. 438, 740)

Al-Imam An-Nawawi berkata :

تَصْرِيحٌ بِأَنَّهُ أَفْضَلُ الشُّهُورِ لِلصَّوْمِ وَقَدْ سَبَقَ الْجَوَابُ عَنْ إِكْثَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ صَوْمِ شَعْبَانَ دُونَ الْمُحَرَّمِ وَذَكَرْنَا فِيهِ جَوَابَيْنِ أَحَدُهُمَا لَعَلَّهُ إِنَّمَا عَلِمَ فَضْلَهُ فِي آخِرِ حَيَاتِهِ وَالثَّانِي لَعَلَّهُ كَانَ يَعْرِضُ فِيهِ أَعْذَارٌ مِنْ سَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِمَ

“[Hadits ini] menunjukkan dengan jelas bahwasanya bulan itu[Muharram] adalah bulan yang paling afdhal untuk shaum. Dan telah berlalu jawaban tentang pertanyaan mengapa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam justeru lebih banyak shaum di bulan Sya’ban ketimbang bulan Muharram. Dan kami katakan terkait hal itu dua jawaban. Yang pertama, boleh jadi Nabi mengetahui keutamaan shaum di bulan Muharram tersebut pada saat akhir hidup beliau. Dan kedua, boleh jadi Nabi tidak banyak bershaum di bulan Muharram sebab banyaknya udzur tatkala itu baik berupa karena ekspedisi beliau maupun karena sakit, atau lainnya.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 8/55)

Juga dalil lain yang menunjukkan bahwa shaum yang afdhal itu shaum SEBULAN PENUH di bulan Muharram.

Dari ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : Datang seorang laki laki bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam. “Ya Rasulullaah.. Beritahu kan lah aku satu bulan, yang aku shaum di dalamnya sebulan penuh setelah Ramadhan?”. Maka Rasulullaah menjawab :

إِنْ كُنْتَ صَائِمًا شَهْرًا بَعْدَ رَمَضَانَ، فَصُمِ الْمُحَرَّمَ، فَإِنَّهُ شَهْرُ اللهِ

“Jika engkau hendak shaum satu bulan setelah Ramadhan, maka shaumlah di bulan Muharram. Karena sesungguhnya Muharram itu bulannya Allaah..” (HR. Ahmad No. 1335)

Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya shaum Asyura (10 Muharram).

Dari Ibn ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam tatkala menetap di Madinah,

melihat Yahudi mengerjakan shaum ‘Aasyura. Maka bertanya Nabi : “Apa ini?”. Mereka menjawab :”Hari ini hari kebaikan. Allah Ta’ala telah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari musuhnya [pada hari ini], karena itu Musa bershaum setiap hari ini”. Maka Nabi bersabda :

انا احق بموسى منكم

“Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian”.

Maka Nabi pun shaum, dan memerintahkan para sahabat untuk shaum. (Muttafaq ‘Alayh)

Bahkan menurut pendapat Abu Hanifah dan Imam Ahmad, shaum Asyura ini hukumnya wajib, sebelum adanya syari’at kewajiban shaum Ramadhan. (Ibn Rajab Al-Hanbali, Latha’if al-Ma’aarif, 1/49)

Akan tetapi, dikatakan bahwa madzhab Hanafi memandang makruh, jika hanya mengerjakan shaum Asyura. Mesti diirngi shaum hari kesembilan [Tasyu’a]. (Fathul Qadir, 2/78)

Ada pula dalil berkenaan dengan shaum hari kesembilan [Tasyu’a].

Dari Ibn ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata : “Tatkala Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam shaum pada hari Asyura [10 Muharram], dan memerintahkan para sahabat untuk shaum pada hari itu, mereka berkata : “Ya Rasulullaah.. Sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Maka berkatalah Nabi :

فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع

“Jika tahun depan bisa kita jumpai –in sya Allaah- maka kita shaum juga hari kesembilan”. 

Ibn ‘Abbas berkata : “Maka tidak datang tahun berikutnya, melainkan Rasulullaah telah wafat”. (HR. Muslim No. 133; Abu Dawud No. 2445)

Para ‘Ulama berkesimpulan bahwa shaum pada bulan Muharram boleh dilaksanakan : Tiga hari, yakni tanggal 9, 10, 11. Atau shaum hanya dua hari [tanggal 10 dan 9 saja]. Atau shaum Asyura saja [tanggal 10 Muharram]. (Fiqhus Sunnah, 1/511)

Berkata Imam Nawawi : “Pendapat Imam Syafi’I beserta pengikutnya, Ahmad, Ishaq, dan Ulama yang lainnya bahwasanya mustahab(sunnah) mengerjakan shaum pada hari kesembilan/tasyu’a dan hari kesepuluh/asyura sekaligus.”

Imam Nawawi juga menambahkan, dikerjakannya shaum hari kesembilan dan kesepuluh ini sekaligus, tiadalah dimaksudkan melainkan untuk menyelisihi shaumnya kaum Yahudi. (Syarh Shahih Muslim, 8/12-13)

Kesimpulannya, perbanyak shaum di bulan Muharram terutama tanggal 9 dan 10. Wallahu a’lam.

Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah

Leave a Comment