Oleh: Muhammad Rivaldy Abdullah
Fatwapedia.com – Madzhab adalah istilah yang digunakan dalam Islam untuk mengacu pada salah satu dari empat mazhab (aliran hukum) utama yang ada dalam tradisi Sunni. Mazhab-mazhab ini adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Setiap mazhab memiliki sejarah, metodologi, dan pemahaman hukum yang sedikit berbeda.
Madzhab-mazhab tersebut muncul sebagai hasil dari upaya para ulama dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikan hukum Islam berdasarkan sumber-sumber utama seperti Al-Quran, Hadis (ucapan dan tindakan Nabi Muhammad), serta penalaran dan analisis akademis. Meskipun tujuan akhirnya adalah sama, yaitu memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip Islam, madzhab-mazhab ini memiliki perbedaan dalam pendekatan dan penekanan terhadap berbagai aspek hukum.
Setiap madzhab memiliki kitab-kitab rujukan dan figur-figur ulama terkenal yang menjadi otoritas dalam hal interpretasi hukum Islam. Seorang Muslim dapat mengikuti salah satu madzhab ini dalam menentukan tata cara beribadah, masalah hukum, perkawinan, warisan, dan berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengikuti satu madzhab tertentu, dan mereka diberikan kebebasan untuk memilih dan merujuk kepada pendapat ulama dari berbagai madzhab.
Sejarah Madzhab dalam Islam
1. Madzhab Imam Abu Hanifah
Dialah Al Imâm Abu Hanifah An Nu’man ibn Tsabit ibn Zutho, Mawla(budak) Tayyimillah Ibn Tsa’labah. Lahir di Kufah(Irak hari ini) pada tahun 80 H, dan wafat di Banghdad tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
Beliau dikenal sebagai Ashab ar-Ra’yi, dan Faqih Ahli Iraq. Imam Ad-Dzahabi menggelarinya dalam Tadzkirah AlHuffadz, “Abu Hanifah : Al Imam Al A’dzam dan Faqih al Iraq”.
Beliau mengambil fiqh dari Hammad Ibn Abi Sulayman, dan pada zamannya sahabat yang masih hidup ialah : Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Abi Aufa, Sahl Ibn Sa’d, dan Abu Thufayl, akan tetapi beliau tidak mengambil fiqh dari mereka.
Beliau pernah menemui Anas Ibn Malik, dan mendengar halqah ilmu dari Atha Ibn Abi Rabah, Abu Ishaq As Subay’i, Muharib Ibn Ditsar, Haytsam Ibn Habib Al Arraf, Qays Ibn Muslim, Muhammad Ibn Al Munkadir, Nafi’ mawla Abdillah Ibn Umar, Hisyam Ibn Urwah, Yazid Al Faqir, Simak Ibn Harb, Alqamah Ibn Murtsid, Athiyyah Al Ufi, Abd Al aziz Ibn Rafi’, Abdul Karim Abu Umayyah, dan yang lainnya.
Dan meriwayatkan ilmu darinya : Abu Yahya Al Hamaniy, Husyaim Ibn Basyir, Abbad Ibn Al Awwam, Abdullah Ibn Al Mubarak, Waki Ibn Al Jarrah, Yazid Ibn Harun, Ali Ibn Ashim, Yahya Ibn Nashr, Qadli Abu Yusuf, Muhammad Ibn Hasan As Syaibani(Guru Imam Syafi’i), Amr Ibn Muhammad, Haudah Ibn Khalifah, Abu Abdirrahman Al Muqri, Abdurrazzaq Ibn Hammam, dan lain lain.
Dari Bisyr Ibn Al Walid : Al Manshur Abu Ja’far khalifah pada masa itu mengutus seseorang kepada Abu hanifah agar ia bersedia menjadi Qadli. Akan tetapi Abu Hanifah menolak. Maka sang utusan bersumpah agar Abu Hanifah berkenan, akan tetapi Abu Hanifah pun bersumpah bahwa selamanya ia tidak berkenan. Akibat inilah akhirnya Abu Hanifah di penjara, dan wafat dalam penjara.
Abu Hanifah mengatakan : “Aku memasuki Kota Bashrah dan aku berpikir bahwa tidak akan ada satu soal pun yang tidak aku jawab. Ternyata ahli Bashrah bertanya banyak hal kepada ku tentan apa apa yang aku tidak dapat menjawab. Sejak itulah aku bertekad untuk tidak meninggalkan majelis Hammad hingga ia wafat. Aku telah menemaninya selama 18 tahun”.
Ia melanjutkan, “Tidak pernah aku sholat semenjak wafatnya Hammad, kecuali aku mintakan ia ampunan bersama kedua orang tuaku. Dan aku tidak pernah lalai dalam memintakan ampunan, bagi guru guru ku maupun murid muridku.”
Waki berkomentar tentang Abu Hanifah : “Belum pernah aku menemui seseorang sefaqih Abu Hanifah. Dan tidak ada orang yang sholat sebagus sholatnya”.
Yahya Ibn Ayyub Az Zahid : “Dahulu Imam Abu Hanifah senantiasa berjaga(qiyamul layl) dan sedikit tidur”.
Imam Abu Hanifah pun dikenal sebagai seorang tâjir(pedagang) yang sukses.
Sanad Imam Abu Hanifah dalam Fiqh:
Al Laknawi berkata : “.. Imam Abu Hanifah berpegang pada madzhab Ibrahim An Nakha’i”
Abu Ja’far Al Manshur pernah bertanya kepada Imam Abu Hanifah, “Dari mana engkau mengambil ilmu?”. Abu Hanifah menjawab : “Dari Hammad Ibn Abi Sulayman, dan ia dari Ibrahim An Nakha’i, dan ia dari ‘Umar Ibn Khattab, dan dari Ali Ibn Abi Thalib, dan dari Abdullah Ibn Mas’ud, dan dari Ibn Abbas.
Murid-Murid Abu Hanifah:
• Qadli Abu Yusuf
Lahir pada tahun 113 H, dan wafat tahun 499 H.
Abu Yusuf berkata : “Aku senantiasa menemani abu Hanifah 17 tahun. Tidak pernah kutinggalkan ia pagi dan siang, kecuali jika aku sakit”.
Di antara karya beliau :
– Kitab Al Atsar,
– Ikhtilaf Ibn Abi Layla wa Abi Hanifah
– Ar Radd ‘ala Siyari Al Awza’i
– Al Kharaj
• Muhammad Ibn al Hasan as Syaibani
Lahir pada tahun 132 H di Irak Tengah, akan tetapi tumbuh besar di Kufah. Ia mendengar Hadits dari Abu Hanifah, Mis’ar, Sufyan As Tsauri, Umar Ibn Dzar, dan Malik Ibn Mighwal. Sedangkan murid-muridnya antara lain : As Syafi’i, Abu Sulayman Al Juzjani, Abu Ubayd, dan lain lain.
Beliau berkata : “Ayahku memberikan peninggalan 30 ribu dirham. Maka aku infaqkan 15 ribu untuk mempelajari Nahwu, dan 15 ribu sisanya untuk mempelajari hadits dan fiqh”.
Imam Syafi’i berkata tentang beliau : “Tidak pernah aku temui orang yang paling fasih(jelas dan kuat dalam memberikan ilmu), selain Ibn Hasan As Syaibani”.
Diantara karya Ibn Hasan As Syaibani, ialah:
– Al Jami As Shagir(memuat 1532 permasalahan seputar Nahwu)
– As Siyar As Shagir
– Ar Raqqiyyat (kitab yang ia tulis tatkala menjadi Qadli di wilayah Raqqah)
– Al Kasb
– Al Hujjah Al Ma’ruf bil Hujaj fi al Ihtijaj ‘ala Ahli Al Madinah
• Imam Zufar
Nama lengkapnya ialah Al Hudzayl Zufar Al ‘Anbari Al Bashri. Lahir tahun 110 H, dan wafat tahun 158 H.
Abu Nu’aim berkomentar tentangnya : “Beliau (Zufar) seorang yang tsiqah(dipercaya) lagi amanah”.
Asas Asas Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah berkata : “Aku mengambil hukum dari Kitabullah. Seandainya tidak aku dapatkan, aku mengambilnya dari As Sunnah. Seandainya tidak aku dapatkan, aku mengambilnya dari pendapat sahabat. Sebagiannya aku ambil, sebagiannya aku tolak. Aku tidak keluar dari ucapan mereka(para sahabat) demi memilih pendapat selain sahabat. Dan adapun jika urusan telah sampai Ibrahim An Nakha’i(maksudnya Ibrahim berpendapat pada masalah itu), juga Sya’bi, Ibn Sirrin, Hasan Al Bashri, Atha, dan Said Ibn Al Musayyab.. Maka jika mereka berijtihad, aku pun berijtihad”. (Tarikh Baghdad, 13/36)
Dikenal sebagai madzhab ahli ra’yi, yakni banyak melakukan ijtihad dalam menentukan masalah-masalah hukum.
Dalil dalil syara’ bagi Abu Hanifah ada tujuh : Al Kitab, As Sunnah, Aqwâl As Shahabah, Al Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan ‘Urf.
Ulama Hanafiyyah memandang bahwa Sunnah dapat menjadi penjelas bagi AlQur’an manakala membutuhkan penjelasan(dari ayat tersebut)
Ulama Hanafiyyah memisahkan antara perintah yang pasti dalam AlQur’an yang memiliki dilalah yang qath’iy(makna yang jelas dan pasti), dengan perintah bersifat pasti yang berasal dari sunnah dzanniyyah. Dan perintah dalam AlQur’an dikatakan sebagai Fardlu, sedangkan perintah dari As Sunnah dikatakan sebagai Wajib.Begitu pula dengan larangan. Jika ia berasal dari Al Qur’an, maka disebut sebagai Haram. Dan jika berasal dari sunnah Nabi dikatakan sebagai Makruh Tahrim.
Mereka memandang bahwa dalil hadits ahad yang diriwayatkan oleh orang yang tidak faqih tidak dapat mengalahkan qiyas. Dalam hal ini, lebih memilih ijtihad dalam masalah itu.
2. Madzhab Imam Malik
Dia adalah Abu Abdillah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amr Ibn Al Harist Ibn Ghayman Ibn Khutsayl. Dikenal sebagai “Imam Daarul Hijrah(Imam Madinah)”. Dan salah seorang tabi’ut tabi’in.
Menghadiri majelis ilmu Nafi’, dan Muhammad Ibn Al Munkadir, Abu Zubair, Az Zuhri, Abdullah Ibn Dinar, Abu Hazim, dan tabi’in yang lain.
Kemudian meriwayatkan darinya Yahya Al Anshari, Az Zuhri, Ibn Juraij, Yazid Ibn Abdillah, Al Awza’i, Ats Tsauri, Ibn Uyainah, Sya’bah, Al Layts Ibn Sa’ad, Ibnul Mubarak, Ibnu Ulayyah, As Syafi’i, dan Ibn Wahb.
Berkata Imam Bukhari : “Sanad yang paling shahih(terpercaya) adalah dari Malik, dari Nafi’, dari Ibn Umar. (Silsilah Dzahabiyyah/Riwayat Sanad Emas).
Imam Syafi’i berkomentar tentang Imam Malik : “Seandainya tidak ada Imam Malik dan Sufyan Ibn Uyainah, maka ilmu akan hilang dari Bumi Hijaz”.
Dan dari Ibn Salamah Al Khuza’i : “Dahulu Imam Malik jika ingin keluar untuk menyampaikan hadits, ia terlebih dahulu berwudlu kemudian sholat dua rokaat.Kemudian ia mengenakan pakaian terbaiknya, dan merapikan janggutnya. Maka ditanyakan kepadanya mengapa begitu, jawab beliau : “Aku melakukan ini dalam rangka memuliakan Hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam”.
Imam Malik mengambil ilmu dari 900 Syaikh : 300 diantaranya dari tabi’in(orang yang pernah menjumpai sahabat), dan 600 orang dari pengikut tabi’in ini(tabi’ut tabi’in).
Kota Madinah pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu dan pengetahuan hadits. Meriwayatkan dari Imam Malik : Abu Hanifah, Layts Ibn Sa’ad, Muhammad Ibn Hasan, Salamah Ibn Dinar, Mughurah Al Makhzumi, Abdurrahman Ibn Mahdi, Ibn Wahb, Abdullah Ibn Abdil Hakam, dan lainnya.
Asas Madzhab Malik
Madzhab Malik menetapkan dalil syara’ sebagai berikut : Nash Al Kitab, Dzohir Al Kitab(Lafadz Am), Dalil Al Kitab(Mafhum Mukhalafah), dan Mafhum Al Kitab(Mafhum Awlawiy), dan semisalnya. Sunnah pun dijabarkan seperti itu : Nash nya, Dzahirnya, Dalilnya, Mafhum nya, serta yang menyerupai(syabaha) nya. Kemudian mereka menggunakan Ijma, Qiyas, ‘Amaliyah Ahli Madinah, Qaul Shohabi, Al Istihsan, Sadd Adz Dzara’i, dan Al Istishhab.
Di antara kutub (kitab-kitab) Imam Malik:
– Al Muwaththa
– Al Mujâlasât(yang disusun oleh muridnya, Ibn Wahb, dari fatwa fatwa Imam Malik di majelisnya).
3. Madzhab Imam Syafi’i
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Al Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi Ibn As-Saib Ibn Ubayd Ibn Abdi Yazid Ibn Hasyim Ibn Abdil Muthallib Ibn Abdi Manaf.
Lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina. dan wafat di Mesir tahun 204 H.
Tumbuh di Makkah, dan semenjak kecil telah hidup fakir. Telah hafal AlQur’an usia 7 tahun, dan berguru pada Isma’il Ibn Qusthantin(wafat 170 H), Ulama Penduduk Makkah pada saat itu. Ia juga belajar kepada Sufyan Ibn Uyainah, Muslim Ibn Khalid Az Zinji, Said Ibn Al Qaddah, Dawud Al ‘Attar, dan Abdul Majid Ibn Abdil Aziz.
Imam Syafii kemudian rihlah(pergi menuntut ilmu) di usianya 13 tahun ke Madinah, dan ia telah hafal Al Muwaththa(milik Imam Malik). Imam Syafi’i bermulazamah(menemani Imam Malik dan belajar darinya) dari tahun 163 H hingga wafatnya Imam Malik tahun 179 H. Selain kepada Imam Malik, Imam Syafii pun berguru pada Ibrahim Al Anshori, Ibn Abi Fudayk, Abdullah Ibn Nafi’ dan yang lainnya.
Kemudian Imam Syafi’i melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Baghdad, dan belajar pada Imam Hasan As-Syaibani(wafat tahun 184 H). Juga belajar pada Waki’ Ibn Al Jarrah(wafat tahun 197 H), Abdil Wahhab Ats Tsaqafiy(wafat tahun 194 H), dan Abu Usamah Al Kufi. Ia tinggal di Baghdad beberapa lama, kemudian kembali ke negerinya Makkah, untuk memberikan pengajaran. Tahun 195 H, pergi kembali ke Baghdad -saat usianya 45 tahun- dimana ia telah dikenal sebagai imam madzhab tersendiri. Setelah itu pulang kembali ke Makkah, dan kembali lagi ke Baghdad tahun 198 H. Sebentar saja Imam Syafi’i di Baghdad, ia memutuskan untuk pergi ke Mesir.
Di Mesir ia banyak memberikan pengajaran ilmu. Di sinilah lahir Qaul Jadid As Syafi’i.
Asas Madzhab As Syafi’i
Para Ulama madzhab memiliki pandangan bahwa dalil dalil syara’ ialah : Al Kitab, As Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Madzhab Syafi’i memandang bahwa jika terdapat suatu masalah tidak ditemukan nash nya secara jelas dari Al Kitab maupun As Sunnah, akan tetapi terdapat salah satu pendapat sahabat di dalamnya, maka mereka lebih memilih mengambil pendapat sahabat ketimbang mengambil qiyas. Dan jika pendapat sahabat ini merupakan bagian dari ranah ijtihad, maka ditetapkan bahwa qaul sahabat tersebut bukanlah hujjah bagi mujtahid yang lain(dipandang sebagai ijtihad, bukum hukum yang qath’iy).
Imam Syafi’i juga memandang Qiyas sebagai pandangan yang lebih lunak. Tidak bersikap keras dalam memandang Qiyas sebagaimana Imam Malik. Imam Syafi’i bahkan menjadikan qiyas selayaknya ijtihad(sehingga berpahala di sisi Allaah). Bahkan mengatakan : “Ijtihad itu adalah Qiyas”.
Salah satu ucapan terkenal dari Imam Syafi’i, sebagaimana dituturkan oleh As-Subki :
“إذا صح الحديث فهو مذهبي”
“Jika suatu hadits telah shahih, maka itulah madzhabku”.(Risalah As-Subki, Hal. 85)
Di antara Ulama Ulama Madzhab Syafi’i ialah : Abu Ishaq Al Isfirayyini (w. 418 H), Abu Ishaq As-Syirozi (w. 472 H), Imamul Haromain(w. 478 H), Al Baghowi(w. 510 H), Tajuddin As-Subki (w. 771 H), Ar Rofi’i (w. 623 H), An Nawawi dan Ibn Hajar Al-Asqalani.
4. Madzhab Imam Ahmad Ibn Hanbal
Beliau bernama lengkap Abu Abdillah Ahmas Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad Ibn Idris Ibn Abdillah Ibn Hayyan.
Berasal dari daerah Marwa, akan tetapi kedua orangtuanya pindah ke Baghdad hingga ia dilahirkan di Baghdad.
Beliau lahir pada bulan Rabi’ Al Awwal tahun 164 H, dan wafat di hari jum’at tanggal 12 Rabi’ Al Awwal tahun 241 H.
Beliau banyak melakukan pengembaraan dalam rangka mencari hadits, diantaranya ke Makkah, Madinah, Syam, Yaman, Kuffah, Bashrah, dan Jazirah Arab yang lain.
Diantara guru-gurunya ialah Sufyan Ibn Uyainah, Ibrahim Ibn Sa’d, Yahya Al Qaththan, Husyaim, Waki’, ‘Abdurrazzaq dan lainnya.
Berkata Abu Mushir tentang Imam Ahmad : “Aku tidak mengetahui seseorang yang paling menjaga urusan agamanya selain pemuda dari Masyriq(Timur) ini(yakni Ahmad Ibn Hanbal)”.
Diantara peristiwa yang menimpanya ialah peristiwa Mihnah(Ujian) para ulama dalam pendapat mereka soal : Apakah AlQur’an itu makhluk atau Kalamullah . Pemanggilan pertama dilakukan oleh Khalifah Al Ma’mun, tentang pendapatnya soal kemakhluqan AlQur’an. Hingga ia wafat dan digantikan oleh Al Mu’tashim, ujian tersebut masih berlaku dan pada masanya Ahmad Ibn Hanbal dipenjara selama 28 hari, karena menolak berpendapat bahwa AlQur’an adalah makhluk(tahun 220 H). Pada masa Al-Watsiq billah, Imam Ahmad akhirnya terbebas dari berbagai cobaan. Dan tatkala Al-Mutawakkil yang berkuasa, ia amat memuliakan Imam Ahmad hingga Imam Ahmad memiliki kedudukan di Kekhilafahan Al Mutawakkil, dan wafat pada masa pemerintahan beliau.
Imam Ahmad telah menyusun kitab kitab yakni Al-Musnad, At-Tarikh, An-Nasikh wal Mansukh, dan Ar Radd ‘ala Az-Zanadiqah fima idda’at min mutasyabih al Qur’an, At Tafsir, Fadhail As Shohabah, Al Manasik, Az-Zuhd, Al Asyribah, Al Masail, Al Ilal wa Ar-Rijal.
Telah meriwayatkan dari Imam Ahmad : Ibn Shalih (w. 266 H), Ibn Abdillah (w. 290 H), Ahmad Al Atsram(w. 273 H), Abu Bakr Al Marwazi(w. 275 H), dan lain lain.
Ibnul Qayyim memgatakan : “Imam Ahmad adalah sosok yang kurang suka jika perkataannya yang dicatat. Ia lebih suka untuk mendokumentasikan hadits”. (A’lam Al Muwaqqi’in, 1/28-29)
Asas-Asas Madzhab Hanbali
Berkata lah Ibnul Qayyim : “Fatwa fatwa Imam Ahmad dibangun atas lima landasan :
1. An Nushus. Jika ia menemukan nash, maka ia berfatwa dengan ansh tersebut, dan tidak akan berpaling pada pendapat yang lain.
2. Apa yang menjadi fatwa sahabat. Jika ia menemukan sebagian fatwa sahabat, yang ia tidak menemukan pendapat yang menyelisihi fatwa sahabat tersebut, maka ia tidak tinggalkan pendapat sahabat tersebut.
3. Jika para sahabat berselisih atas suatu masalah, maka Imam Ahmad akan memilih pendapat di antara mereka yang paling dekat dengan Al Kitab maupun Sunnah.
4. Mengambil hadits mursal dan dlaif jika tidak ada nash lain yang menolak keterangan hadits dlo’if tersebut. Hadist Dlo’if dalam pandangan beliau sebetulnya adalah bagian dari hadits shahih, dan hasan.
Ia tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan, atau dlo’if. Namun hanya membagi dua saja(shahih-dlo’if).
5. Menggunakan Qiyas jika memang dalam perkara yang mendesak tidak ditemukan nash yang jelas. Ia menggunakannya dalam perkara yang darurat(mendesak dan tidak ditemukan jalan yang lain dalam pengambilan hukum).
Marâji’ (Referensi):
- Al Madkhal ila Dirâsat Al Madzâhib Al Fiqhiyyah(Dr. Ali Jum’ah). Penerbit Dârussalam. Jilid 5. 1437 H/2016 M