Fatwapedia.com – Siapa yang tidak mengenal kitab fenomenal ini di kalangan kaum muslimin khususnya para penuntut ilmu. Kitab Alfiyah karya Ibnu Malik menjadi salah satu karya sastra Arab terbaik yang sangat masyhur dan dihargai di dunia pendidikan klasik. Ditulis oleh seorang ulama besar kesohor, kitab ini merupakan syair singkat yang memuat dasar-dasar ilmu bahasa Arab. Nama “Alfiyah” sendiri merujuk pada jumlah baris syair dalam kitab ini, yang berjumlah seribu baris.
Dalam kitab ini, penulis menyajikan berbagai kaidah-kaidah tata bahasa Arab dan pelbagai bentuk kosa kata. Karya ini menggunakan metode mempermudah pembelajaran dan membingkai bahasa Arab menjadi lebih sistematis, sehingga telah menjadi panduan penting bagi para pelajar bahasa Arab selama berabad-abad.
Dengan menggunakan gaya bahasa sastra yang indah dan unik, Ibnu Malik berhasil menyusun kaidah bahasa Arab yang kompleks menjadi syair-syair pendek yang mudah diingat. Ini membuat Alfiyah menjadi salah satu kitab terpenting dalam pendidikan bahasa Arab dan sastra di kalangan para pelajar dan cendekiawan di seluruh dunia Arab pada masanya.
Salah satu aspek menarik dari kitab ini adalah kemampuan Ibnu Malik untuk merangkum berbagai kaidah bahasa Arab secara ringkas namun tetap jelas dan komprehensif. Dengan bahasa yang padat dan tepat, ia berhasil mengajarkan struktur bahasa Arab dan memfasilitasi pemahaman serta penggunaan bahasa yang benar.
Kehadiran Kitab Alfiyah Ibnu Malik telah menginspirasi lahirnya banyak ulama, sarjana, dan pendidik dalam memahami dan mengajarkan bahasa Arab. Karya ini juga menjadi sumber rujukan bagi banyak karya tulis berikutnya dalam bidang linguistik Arab.
Singkatnya, Kitab Alfiyah Ibnu Malik merupakan suatu karya sastra Arab yang luar biasa, memberikan sumbangan besar bagi pengembangan bahasa Arab dan pendidikan di dunia Islam. Kualitas sastra dan kekuatan materi yang terkandung dalam syair-syairnya menjadikan karya ini tetap relevan dan diperhitungkan hingga saat ini. Bagi siapa pun yang tertarik untuk memahami dan mendalami bahasa Arab, Kitab Alfiyah Ibnu Malik adalah bacaan yang sangat layak untuk dipelajari dan dipahami.
1). Biografi Pengarang Alfiyah Ibnu Malik
Pengarang Kitab Alfiyyah Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan. Daerah ini sbuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah.
Pada masa kecil, Ibnu Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).
Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pda tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yg menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham.
Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yg terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yg diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud :
(1). Menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting.
(2). Menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat, tetapi sanggup menghimpun kaidah yg berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.
(3). Membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.
2). Misteri Dibalik Dua Bait Dalam Nadzom Alfiyah Ibn Malik
Nadhom Alfiyah Ibn Malik karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik, merupakan sebuah karya yang sangat fenomenal, yang tidak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektualitas pesantren. Khususnya Pesantren Salaf (Bukan SalafiWahabi yang dimaksud).
Kitab ini bertemakan tentang qaidah-qaidah gramatika bahasa arab, seputar nahwu shorof, dan di antara keunikan dari kitab ini adalah penempatan kata-kata dan contoh dalam nadzhom yang tidak sembarangan, melainkan mempunyai maksud dan isyaroh tersendiri. Semisal kalam-kalam hikmah, falsafah dan nasehat hidup.
Beliau menamai nadzhom tersebut dengan nama Alfiyah, diambil dari jumlah bait dalam nadzom tersebut yakni seribu, (baca dalam bahasa arab; alfun).
Namun pada kenyataannya, jumlah bait dari nadzhom alfiyah itu sendiri adalah 1002 bait, ada tambahan 2 bait di muqoddimah, dan juga ada cerita menarik di balik penambahan 2 bait tersebut.
Tentang arti dari sebuah rasa bangga, tentang ta’dzim kepada sang guru, tentang tulusnya sebuah karya, juga tentang adab terhadap orang yang sudah meninggal.
Diceritakan bahwa Syaikh Ibnu Malik dalam menyusun nazhom Alfiyah ini terinspirasi dari almarhum sang guru yang sudah terlebih dahulu menyusun sebuah nadzhom yg berjumlah 500 bait. Beliau adalah Syaikh Ibn Mu’thiy. Karyanya tersebut diberi nama Alkaafiyah, namun mashur juga disebut dengan Alfiyah Ibn Mu’thiy. (Disebut Alfiyah, karena terdiri dari 1000 satar, adapun satar, adalah setengah bagian dari satu bait).
Ketika beliau sudah mantap menyimpan semua gambaran nadzhom alfiyah dalam memori otaknya, beliaupun memulai untuk menulis untaian nadzom-nadzom indah tersebut.
Hingga pada saat beliau menulis bait ke lima, bagian satar ke sepuluh yang berbunyi;
وتَقتضِى رضًا بغير سخطٍ # فائقةً ألفيّةً ابن معطى
(Dan kitab alfiyah itu akan menarik keridhoan yang tanpa didasari kemarahan
Dan kitab alfiyah ini lebih unggul dari kitab alfiyahnya ibnu mu’thiy)
Seketika semua hafalan yang sudah tersimpan rapi dalam memori otak beliaupun lenyap. Beliau tidak ingat satu hurufpun.
Syaikh Ibnu Malik pun merasa cemas, sedih, juga bingung, entah apa yang harus beliau lakukan. Hingga akhirnya beliaupun tertidur pulas.
Dalam mimpinya, beliau dibangunkan oleh seorang kakek yang memakai pakaian serba putih, jubahnya hampir menutupi sebagian kepalanya sehingga wajahnya tidak nampak secara jelas. Kakek itu menepuk pundak Syaikh Ibnu Malik sambil berkata;
“Wahai anak muda, bangunlah! Bukankah kamu sedang menyusun sebuah kitab?”
“Iya Kek,” seketika Ibnu Malik terbangun.
“Namun aku lupa semua hafalanku, sehingga aku tak mampu untuk melanjutkanya” lanjutnya.
Kakek itu pun bertanya, “Sudah sampai mana kamu menulisnya?”
“Baru sampai bait kelima”, beliau menjawab sambil membacakan bait yang terakhir.
“bolehkah aku melanjutkan hafalanmu,?” tanya kakek tersebut.
“Tentu saja”.
Kakek itupun membacakan sepasang bait;
فائقةً من نحو ألف بيتي # والحيّ قد يغلب ألف ميّتي
(Seperti halnya mengungguli dalam seribu bait # Orang yang masih hidup, terkadang mengalahkan 1000 orang yang sudah meninggal)
Seketika setelah mendengar satu bait yang diucapkan oleh kakek tersebut, Syaikh Ibnu Malik pun terbangun. Dan beliaupun menyadari satu hal, bahwa kakek dalam mimpinya itu tidak lain adalah sang guru, yakni Syaikh Ibnu Mu’thiy yang dengan jelas menegur Syaikh Ibnu Malik dengan sindiran di bait tersebut.
Beliau juga sadar, bahwa ungkapan bangga yang beliau ungkapkan dalam bait kelima tersebut ternyata merupakan perasaan takabbur yang timbul dari nafsunya, perasaan yang secara tidak langsung telah menerobos sebuah adab, akhlaqul karimah seorang murid kepada gurunya.
Sadar akan hal itu, Ibnu Malik pun bertaubat kepada Sang Pencipta atas rasa takabburnya. Beliau juga hendak meminta maaf kepada Ibnu Mu’thiy, beliau berziarah ke makam Syaikh Ibnu Mu’thiy.
Selepas berziarah, beliaupun hendak melanjutkan karangan tersebut dengan menambahkan 2 bait di bagian Muqoddimah yang pada awalnya tidak masuk dalam rencana, dengan harapan bahwa hafalannya akan pulih kembali.
2 bait tersebut berbunyi seperti ini :
وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا
Dan dia (Ibnu Mu’thiy) memang lebih dahulu dan mendapatkan keunggulan
Dia juga pantas mendapatkan pujian (legitimasi) yang sangat baik dariku
والله يقضي بهبات وافرة # لي وله في درجات الآخرة
Semoga Alloh memberikan anugerah yang sempurna. Untukku dan juga beliau dalam derajat yang tinggi di akhirat kelak
Secara ajaib, semua memori hafalan nadzom yang ingin beliau tulis itupun kembali tergambar jelas di otak dan hatinya. Beliaupun sangat bersyukur dan kemudian melanjutkan karangannya.
Hingga akhirnya terciptalah sebuah mahakarya yang terkenal di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Nadhoman yang sangat populer di kalangan santri, khususnya santri salaf. Dan sampai saat ini pun, masih banyak santri-santri yang menghafalnya.
Konon katanya, hafalan Alfiyah itu sendiri lebih cepat hilang dibanding Al-Qur’an apabila si penghafalnya berbuat maksiat. Dan juga orang yang hafal Alfiyah itu punya daya tarik tersendiri. Wallahu a’lam.
Banyak sekali versi yang tersebar tentang 2 bait tambahan dalam nadzom Alfiyah Ibnu Malik, salah satunya diceritakan dengan jelas dalam Syarah Alfiyah itu sendiri, yakni dalam kitab Qodhi al-Qudhot.
Namun intinya sama, yakni cerita yg mengandung pesan tentang adab kita kepda seorang guru yg harus tetap dilakukan, meskipun kemampuan kita telah melebihi sang guru tersebut. Atau meskipun guru kita telah meninggal dunia.
Karena tidak ada yang namanya “mantan guru”… Sumber : Sabilul Huda Media
3). Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub
Siapa tak kenal kitab Alfiyah? Seolah memancarkan berkah tak kunjung habis, nadham seribu bait yg mengulas ilmu nahwu ini dipelajari terus di berbagai majelis ilmu hingga kini.
Pengarangnya, Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau tersohor dengan sebutan Ibnu Malik, merupakan pakar gramatika Arab ternama dari Andalusia (Spanyol). Alfiyah yg merupakan ringkasan karya sebelumnya, al-Kafiyah asy-Syafiyah, pun dipuji banyak cendekiawan, dan melahirkan berjilid-jilid kitab syarah dan karya komentar yang sudah tak terbilang.
Namun demikian, ada cerita menarik di sela proses penulisan muqaddimah nadham luar biasa yang masih dilantunkan di berbagai pesantren dan madrasah in
وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yg dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)
تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat)
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)
Sampai di sini Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya ulama sebelumnya, yakni Ibnu Mu’thi. Dalam kitab Hasyiyah al-‘Allâmah Ibnu Hamdûn ‘ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik, dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dg bait:
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ …………….
(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…….)
Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yg hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.
“Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?”
“Betul,” sahut Ibnu Malik.
“Sampai di mana?”
“Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”
“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?”
“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya lagi.
“Kau ingin menuntaskannya?”
“Ya.”
Lalu orang dalam mimpi itu menyambung baitفَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ yang terpotong dengan وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ (Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati). Terang saja, orang hidup meski cuma seorang dijamin sanggup mengalahkan berapa pun banyaknya orang yg tak punya kuasa pembelaan lantaran sudah mati.
Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan sang pengarang Alfiyah
Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau Ibnu Mu’thi?”
“Betul.”
Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna:
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yg indah)
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
(Semoga Allah melimpahkan karunianya yg luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat)
Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalamAlfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya. Dalam sebuah hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat).
Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu, sehebat apapun, mnjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang tak kunjung padam hingga sekarang.
4). Kisah Kesombongan Ulama
Kisah ini dapat dibaca di dalam mukaddimah kitab Alfiyah, sebuah kitab nadham seribu bait yg mengulas ilmu nahwu. Kitab ini dikarang oleh Al-‘Allâmah Abu ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau populer dengan sebutan Imam Ibnu Malik. Beliau adalah salah satu pakar gramatika bahasa Arab terkenal dari Andalusia (Spanyol). Kitab ini dipuji dan disanjung banyak ulama, dan melahirkan berjilid-jilid kitab syarah dan karya komentar yang sudah tak terbilang. Namun demikian, ada cerita menarik di sela-sela proses penulisan muqaddimah nadham kitab ini.
Dalam salah satu mukaddimahnya, Imam Ibnu Malik menulis seperti ini :
وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
(Dan Aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah ini, yang dengan ini dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)
تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
(Kitab Alfiyah dapat mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yg ringkas serta dapat memberi penjelasan secara rinci dengan waktu yang singkat)
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
(Kitab Alfiah-ku ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Imam Ibnu Mu’thi)
Sampai di nadham ini, faiqotan alfiyatabni Mu’thi, melebihi kitab alfiyah-nya Imam Ibnu Mu’thi, Imam Ibnu Malik seakan-akan hendak menjelaskan bahwa kitabnya ini lebih unggul dan lebih komprehensif dibanding kitab karya ulama sebelumnya, yakni Imam Ibnu Mu’thi.
Dalam kitab Hasyiyah al-‘Allâmah Ibnu Hamdûn ‘ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik, dikisahkan, setelah itu Imam Ibnu Malik meneruskannya dengan bait seperti ini :
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ …………….
(kitab Alfiyahku ini mengungguli [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…….)
Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya hilang, lenyap tak mampu menulis apa yg hendak dilanjutkan. Suasana pikirannya kosong dan peristiwa semacam ini berlangsung sampai berhari-hari. Hingga kemudian Imam Ibnu Malik pun bertemu seseorang dalam mimpi.
Mimpi : “Aku mendengar kamu sedang mengarang kitab Alfiyah tentang ilmu nahwu, wahai Imam Ibnu Malik?”, tanya seseorang di dalam mimpinya.
Imam Ibnu Malik : “Betul,” jawab Imam Ibnu Malik.
Mimpi : “Sudah sampai di mana?”, tanya orang itu pada sang Imam.
Imam Ibnu Malik : “Sudah sampai Fâiqatan lahâ bi alfi baitin (mengungguli karya Imam Ibnu Mu’thi dengan seribu bait…”.
Mimpi : “Apa yg membuatmu berhenti menuntaskan bait itu?”, tanyanya pda sang Imam.
Imam Ibnu Malik : “Aku malas tak berdaya, hilang inspirasiku selama beberapa hari,” jawab sang Imam.
Mimpi : “Kau ingin menuntaskannya?”, saran seseorang dalam mimpi sang Imam.
Imam Ibnu Malik : “Iya, benar”, jawab sang Imam.
Lalu orang dalam mimpi itu menyambung bait فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ yang terpotong dengan kalimat وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ (Orang hidup memang terkadang bisa mengalahkan seribu orang mati). Nadham itu bila ditulis secara utuh akan berrbunyi :
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ
(kitab Alfiyahku ini mengungguli [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,……. Orang hidup memang terkadang bisa mengalahkan seribu orang mati)
Terang saja, orang hidup meski cuma satu pasti bisa mengalahkan seribu orang yg sudah meninggal dunia. Kalimat ini merupakan sindiran kepada Imam Ibnu Malik atas kesombongannya. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan sang Imam. Segera Imam Ibnu Malik pun mengonfirmasi,
Imam Ibnu Malik : “Apakah engkau Imam Ibnu Mu’thi?”, tanya Ibnu Malik padanya.
Dan orang itu pun menjawab, “Benar, Aku lah Imam Ibnu Mu’thi itu.”
Imam Ibnu Malik pun sadar, terbangun dan merasa malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yg belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yg lebih sempurna. Ia menulis begini :
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa dibanding Aku karena beliau lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
(Semoga Allah, kata Imam Ibnu Malik, melimpahkan karunia-Nya yang luas untuk-ku dan untuk beliau, Imam Ibnu Mu’thi pada derajat-derajat tinggi di akhirat)
Kisah ini menjelaskan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya lebih unggul dari siapapun. Uraian Imam Ibnu Malik dalam mukaddimah Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Imam Ibnu Mu’thi. Tetapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya. Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tawaddu’ / rendah hati, terutama pada para pendahulu.
Dalam sebuah hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu, para sesepuh itu tetap lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat).
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ للنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ (لقمان : ۱۸)
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
5). Masih Tentang Alfiyah Ibnu Malik
Ibnu Malik Al-Andalusi dalam kitab Alfiyah-nya mesdiskripsikan, Ada lima syarat yg bisa mengantarkan seseorang (thalibul ‘ilmi) pda derajat yg tinggi. Lima point tersebut yang nantinya akan membedakan antara thalibul ‘ilmi yg taat dan tidak. Hal itu beliau torehkan dalm bait syair Alfiyah-nya yg berbunyi:
بالجر والتنوين والنداء وال ومسند للاسم تمييز حصل
“Bil jarri wat tanwini wan nida wa al # wa musnadin lil ismi tamyizun hashal”
1. Bil jarri Artinya, Seseorang thalibul ‘ilmi harus mempunyai dan bersifat, pertama, jar. Dalam artian tunduk dan tawadduk terhadap semua perintah (baik dari Allah SWT maupun pemerintah). Sesuai dengan apa yang di firmankan Allah swt. yang berbunyi, “athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum”.
2. Tanwin. Artinya kemampuan (baca: niat) yang tinggi mencari ridha Allah SWT. Dengan adanya kemauan yang tinggi seorang thalibul ‘ilmi akan mencapai apa yang ia inginkan. Sesuai dengan apa yang di sabdakan nabi Muhammad saw. yang datangnya dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab r.a. bahwa nabi Muhammad saw. pernah bersabda yang bunyinya, “innamal a’malu binniyati, wa innama likullimriin ma nawa… (al-Hadits)”.
3. Nida’. Artinya dzikir. Setelah adanya niat yang baik untuk mencapai tempat yg layak di sisi Allah swt., seorang thalibul ‘ilmi diharapkan berdzikir mengingat-Nya. Dengan ini, niat awal tidak akan mnjadi ‘ashi (bis safar/fis safar).
4. Al, yang berarti berfikir. Karena berfikir manusia mempunyai derajat yg lebih tinggi dari makhluk Allah lainnya. Maka dari itu, setidaknya seseorang yang ingin menggapai sesuatu seyogyanya menggunakan akal pikirannya sebaik mungkin, dgn tidak menggunakannya pada jalan yang salah, tidak berpikiran licik. Tidak seperti apa yang jamak dilakukan para aktivis yang kadang menggunakan akal pikirannya untuk mengkorup uang bawahannya, instansi, dan sejenisnya.
5. Musnad ilaih. Beramal nyata (ikhlas). Cara yang kelima ini merupakan puncak dari semuanya. Dengan ikhlas semuannya akan gampang, bhkn hal yg selama ini sulit untuk didapatkn itu bisa terealisasikan rahasianya hnya dngan bisa melapangkan hati untk senantiasa ikhlas dalam segala amal.
Jadi sejatinya dari lima konsep diatas tidak hanya untuk Tholibul ‘Ilmi juga, akn tetpi bisa juga untk mereka yg ingin mnjdi lbih baik dan lebih maju, termsuk para pemimpin kita yg berada dalm angka krisis yg mampu diaplikasikan secara penjabaran yg berjalan disemua sisi kehidupan.
6). Ikatlah Ilmu Dengan Tulisan
Al-Imam As- Syafi’i Rahimahullahu Ta’alaa pernah berkata :
الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ، قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ .
فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً، وَتَرَدَّهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ .
“Ilmu adalah buruan dan tulisan (Menulis) adalah ikatannya, Ikatlah buruan (Ilmu) kamu dengan tali yang kuat (Menuliskannya). Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang, Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.”
والمراد قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
Maksudnya: “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.
Nasehat Seseorang :
اكتب كي يعلم المستقبل وجودك فى الماضي
“Menulislah biar orang dimasa depan tau, bhwa kmu prnh hidup dimsa lalu.”
Dalam Atsar Dikatakan :
قيدوا العلم بالكتابة
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.”
Walhashil : Ilmu itu ibarat binatang buruan yang mudah lepas, maka ikatlah ia dengan catatanmu.
Karya Tulisan : Ustadz Kholid Abdul ‘Aziz
Penyalin : Abdul Basith