Fatwapedia.com – Kata bumi dalam al-Qur’an disebut dengan istilah أرض. Kata ini disebutkan lebih dari 400 kali dalam berbagai konteks dan kasus. Untuk memahami kata ini atau pun semua kata lainnya dalam al-Qur’an, tidaklah sesederhana dengan melihat kamus yang ada sekarang karena kamus menulis makna suatu kata serta perkembangan maknanya, baik itu perluasan atau penyempitan. Karena itu, makna yang ada dalam kamus sekarang, bukan berarti makna yang ada di masa lalu.
Sama seperti kata “Qahwah” dalam sebuah hadis yang apabila kita cari di kamus maka akan ditemukan artinya adalah kopi, padahal dalam hadis tersebut yang dimaksud adalah khamer. Sedangkan biji kopi belum dikenal oleh Nabi atau pun para sahabat. Bila salah memaknai, bisa-bisa ada yang berfatwa bahwa kopi adalah haram.
Untuk secara akurat melihat makna tertentu yang dikehendaki oleh al-Qur’an, mau tidak mau kita harus kembali ke masa 15 abad lalu saat al-Qur’an diturunkan. Untuk kata أرض yang biasa diartikan sebagai bumi, bila kita lihat secara teliti, maka akan tampak bahwa yang dimaksud adalah tanah tempat manusia tinggal. Ungkapan seperti Allah Tuhan langit dan bumi, maksudnya adalah Tuhan segala apa yang tinggal di atas tanah dan di atas langit dan sekaligus pencipta keduanya. Ungkapan seperti jangan berjalan dengan sombong di bumi atau jangan berbuat kerusakan di bumi, artinya jangan bersikap sombong atau berbuat zalim selama hidup berinteraksi di atas tanah. Demikian untuk ungkapan lain dapat dikiaskan.
Dengan makna seperti ini kita menjadi tahu bahwa ungkapan al-Qur’an bahwa bumi ini dihamparkan, dijadikan seperti karpet bagi manusia atau dibuat datar/rata adalah ungkapan yang merujuk pada kondisi tanah yang lapang. Manusia hendaknya bersyukur Allah menyediakan tanah-tanah yang datar serta lapang sehingga bisa digunakan sebagai arena bercocok tanam dan mudah ditumbuhi tumbuhan atau ditinggali. Bayangkan bagaimana kesulitan manusia apabila tanah yang ada semua berupa tebing-tebing terjal, jurang dan kawah.
Saya tidak menemukan satu pun dari kata أرض yang bisa dimaknai sebagai planet bumi. CMIIW. Sudah maklum bahwa kata “planet” baru ada belakangan dalam sejarah manusia. Kata ini tidak ada dalam pengetahuan manusia 15 abad lalu. Semua kata “bumi” dalam dialog masa itu merujuk pada makna tanah di mana manusia tinggal dan bercocok tanam di atasnya. Bedakan makna ini dengan makna sebuah planet biru yang ada dalam urutan ketiga dalam tata surya.
Jadi, ketika sebagian kaum muslim bersikukuh bahwa planet bumi berbentuk datar dengan alasan bahwa ada ayat al-Qur’an yang menyebut bumi datar dan lapang, maka itu karena mereka menyisipkan makna “planet” dalam kata “bumi”. Padahal kita tahu bahwa kata yang dipakai al-Qur’an hanyalah “bumi” saja yang artinya adalah tanah tanpa ada imbuhan kata “planet”.
Soal bentuk planet bumi ini bagaimana, al-Qur’an tidak membahasnya, sama seperti bagaimana bentuk langit juga tidak disebutkan. Dalam ratusan kata “langit” dan “bumi” dalam al-Qur’an, tidak ada satu pun yang isinya membahas bagaimana bentuk planet bumi dan bentuk langit, apakah datar, bulat, persegi, segitiga atau apa pun. Yang ada hanya informasi bahwa Allah menggulung siang pada malam dan menggulung malam pada siang yang secara implisit menunjukkan bahwa planet ini berbentuk bulat sebab kalau datar tidak akan terjadi “gulungan waktu siang malam”. Namun ini pun makna implisit, bukan makna eksplisit sebagaimana kita baca di buku-buku sains sebab al-Qur’an memang bukan buku sains. Karena hanya makna implisit, maka ayat tersebut juga tidak bisa dibuat untuk memvonis sesat mereka yang tidak sependapat dengan tafsiran bumi bulat tersebut. Apalagi memakai ayat “bumi datar” untuk memvonis orang yang mengatakan bahwa bentuk planet bumi bulat. Ini jauh sekali dari kebenaran.
Lalu bagaimana sebenarnya bentuk bumi? Jawabannya tidak perlu dicari dalam al-Qur’an dan bukan pada tempatnya membawa-bawa al-Qur’an yang memang tidak membahas itu. Kalau ingin tahu jawabannya, maka bacalah buku-buku sains yang kredibel. Sudah jelas bahwa bumi ini bulat berdasarkan banyak bukti yang tidak menyisakan celah kecuali bagi orang-orang yang terbiasa menolak khabar mutawatir dan pembuktian empiris. Pola pikir seperti ini berbahaya bagi nalar sehat sebab dengan mudah menuduh orang yang tidak terhitung jumlahnya salah semua dan bersepakat berbohong. Nalar semacam inilah yang dipakai beberapa orientalis untuk menuduh al-Qur’an sebagai teks korup dan hadis beserta sanad-sanadnya sebagai data rekaan muslim belakangan. Dalam berbagai tulisan sebelumnya saya telah menyinggung betapa berbahayanya nalar teori konspirasi ini karena ketika pintu ini dibuka, maka semua data termasuk data agama akan termakan oleh hasutan su’uzhonnya. Semoga bermanfaat.
Oleh: Abdul Wahab Ahmad