Fatwapedia.com – Sajaratud Duur (pohon mutiara) adalah perempuan istimewa dalam sejarah Islam. Berasal dari keluarga Bahri Mamluk, yakni para bekas budak Turki yang mendiami Delta Nil, Mesir.
Tauhid telah menghilangkan penghalang antara tuan dengan budaknya, kulit hitam dengan putih dan orang kaya dengan miskin. Semua manusia sederajat di Mata Tuhan dan hukum. Islam menjadikan semua perbedaan tersebut sirna ketika mereka memahami potensi eksistensialnya.
Emirat Umayyah di Spanyol hancur dengan kejatuhan Cordoba (1236) dan menyusul Baghdad (1258). Kehancuran dunia Islam karena serbuan Mongol dan Pasukan Salib berimplikasi kepada rontoknya aristokrasi (Arab) lama. Kehancuran sistem lama ini tidak pelak memberikan kesempatan kepada para bekas budak (Mamluk) untuk bangkit dan menciptakan tata sosial dan politik baru. Dan dalam sistem baru ini, pria dan perempuan memliki ruang yang sama.
Kecermelangan politik Shajarat dimulai ketika dia menikah dengan Malik al Saleh, penguasa terakhir Dinasti Ayyub. Al Saleh meninggal pada 1250 ketika Mesir diserang gabungan pasukan Salib Perancis-Jerman dibawah Raja Louis IX. Untuk mencegah demoralisasi, Shajarat menyembunyikan kematian suaminya. Dengan dukungan para jenderalnya, dia sukses mengalahkan Pasukan Salib dan menangkap Raja Perancis.
Shajarat meminta Turan Shah untuk kembali ke Kairo dan menggantikan ayahnya. Namun, Turan bukanlah pemimpin yang cakap. Dia justru menyingkirkan para jenderal Mamluk sehingga dibunuh. Dalam kekosongan kekuasaan, Shajarat diangkat sebagai Ratu Mesir.
Sebagai seorang Sunni, Shajarat meminta persetujuan dari Khalifah Baghdad, Al Mustansir untuk menjadi sultanah. Meskipun secara de facto, dia adalah penguasa Mesir. Namanya terukir dalam mata uang dan disebutdalam Khutbah Jum’at di Masjid Al Azhar. Sayang, permohonanya ditolak Baghdad. Rupanya, para ulama Maliki di Kairo menentang pencalonannya.
Komprominya, Shajarat menikah dengan salah satu jenderal Mamluk, Izzudin Aibak dan selanjutnya Izzudin diangkat sebagai Sultan. Usulan yang diterima secara aklamasi oleh Baghdad. Dengan demikian, kekuasaan Dinasti Ayyub berakhir dan digantikan dinasti Mamluk di Mesir hingga 1517.
Kemampuannya berdiplomasi Shajarat tidak diragukan mampu menempatkan dirinya relevan dalam dinamika politik Mesir. Shajarat adalah seorang pribadi yang hampir sempurna. Perempuan pemberani, terpelajar dan teladan dalam pendidikan. Selain cantik dan jenaka, dia juga seorang penulis yang cakap, pembicara yang fasih dan politikus cerdik. Dia mendirikan beberapa madrasah atas namanya.
Sebagai perempuan istimewa justru menjadi sisi kelemahan yang menghancurkan dirinya. Kuatnya pengaruh Shajarat dalam politik Mesir telah mendorong dirinya tidak menoleransi budaya poligami pada saat itu. Secara geopolitik, Sultan harus mempunyai banyak isteri. Ketika suaminya memutuskan untuk menikahi anak perempuan Atabeg Badruddin dari Mosul, Shajarat menentang keras. Shajarat sama sekali tidak bisa menerima jika dirinya harus berbagi suami dan kekuasaan dengan orang ketiga.
Api kecemburuan telah merusak akal sehatnya, seperti api yang membakar ranting kering. Shajarat merencanakan pembunuhan terhadap suaminya. Izzudin dibunuh ketika sedang mandi. Namun plot pembunuhan tadi diketahui para jenderal Mamluk. Dia dibunuh dan dibuang di Benteng Kairo. Jasadnya kemudian dimakamkan di salah satu madrasah yang didirikannya.
Sejarah mencatat beberapa perempuan kuat dalam pergulatan politik, seperti Shajaratud Duur di Mesir dan Razia Sultanah di India. Namun, kecemburuan Shajarat telah menutupi talenta politik untuk berpikir rasional. Alih-alih, bernegosiasi dengan tantangan dan membuat pilihan-pilihan rasionalnya, Shajarat menempuh jalan pendek dan emosional yang mengantarkan kepada kejatuhannya.
Penulis: Ahmad Dzakirin