Fatwapedia.com – Dalam kitabnya Ihya’ Ulumu ad-Din, al-Imam al-Ghazali, -rahimahullah- menuliskan sebuah bab khusus yang menerangkan masalah deskripsi akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam salah satu judul, Imam al-Gahzali menulis “Mengetahui bahwa Dzat Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi hanyalah satu”. Beliau membagi domain menjadi 10 bagian, dan pada bagian ke 8 al-Ghazali menjawab pertanyaan kita. Apa makna “Istiwa’” bagi Allah Ta’alaa?.
Beliau menjawab:
“Makna dari Istiwa’ (bersemayam) bagi Allah ‘Azza wajalla adalah makna yang tidak menegasikan sifat kebesaran Allah ‘Azza wajalla dan yang tidak memasuki ranah fana dan sifat kemakhlukan. Yang dimaksud Istiwa yang menyerupai makhluk adalah memaknai ayat istiwa’ dengan bersemayam di atas langit. Allah berfirman dalam al-Quran :
ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﻫﻲ ﺩﺧﺎﻥ
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap…” (Al Fushilat: 11)
Maka tidak ada cara makna lain kecuali “Menaklukkan dan Pengambilihan”. Sebagaimana dikatakan oleh penyair Arab:
ﻗﺪ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺑﺸﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺍﻕ # ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺳﻴﻒ ﻭﺩﻡ ﻣﻬﺮﺍﻕ
“Seorang telah menundukkan (menaklukkan) Negara Iraq, tanpa pedang (peperangan) ataupn darah yang dialirkan”.
Para Ulama ahlul Haq dan Ulama Batin merasa darurat untuk mentakwil ayat di berikut:
ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺍﻳﻨﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ
“Dia bersamamu dimanapun berada “(Al Hadid : 4)
Maka makna kebersaaan Allah adalah Maha menyeluruh dan Maha mengetahui, Allah mengetahui gerak gerik makhluknya. Kemudian hadis Nabi SAW:
ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻣﻦ ﺑﻴﻦ ﺃﺻﺒﻌﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﺻﺎﺑﻊ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ
“Hati seorang Mu’min berada di “dua jari” di antara “jari-jari” Allah” .
Maka maknanya adalah “Takluk dan Berkuasa”, hati seorang mukmin ada dalam kekuasaan Allah ‘Azza wajalla. Kemudian hadis :
ﺍﻟﺤﺠﺮ ﺍﻷﺳﻮﺩ ﻳﻤﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﺭﺿﻪ
“Batu Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di bumi”.
Maka maksudnya adalah bentuk pemulyaan Allah terhadap batu itu, karena jika dibiarkan atas makna secara leterleg maka akan rancu, dan hal itu sangat mustahil. Maka demiakian juga dengan makna “Istiwa’”, jika dipahami dengan maknanya secara leterleg atau tekstual, yakni bermakna bersemayam layaknya mausia di atas kursi, maka yang konsekuensinya adalah Allah berupa badan yang menyentuh kepada Ars (Singgasana) -Tidak mungkin- ataupun akan imbul pertanyaan lebih besarkah atau lebih kecilkah antara kursi dan Allah, dan ini semuanya mustahil. Apa saja yang berkonsekuensi pada hal yang mustahil maka itu mustahil.” (Ihya’ Ulumuddin hlm. 181 Dar-Al Quds, cet pertama Th. 2012)
Oleh: Ali Afifi Ibrahim