Fatwapedia.com – Wacana tentang waktu shubuh kembali mewarnai media massa dan media sosial. Beberapa tahun lalu, wacana itu sudah muncul tetapi pemicunya karena interpretasi bahwa waktu shubuh mestinya saat fajar mulai menguning. Namun saat ini muncul lagi dengan beralasan dari hasil penelitian pengukuran cahaya langit. Benarkah waktu shubuh terlalu cepat? Untuk menentramkan ummat, saya jawab “Tidak benar, waktu shubuh di Indonesia sudah benar”. Berikut ini alasan saya:
1. Waktu shubuh adalah saat fajar shadiq yang pertama, berwarna putih, bukan fajar yang berwarna kuning
Dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah SAW shalat shubuh saat kelam pada akhir malam, kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadits dari Aisyah, “Perempuan-perempuan mukmin ikut melakukan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi SAW dengan menyelubungi badan mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih gelap.” (HR Jamaah). Itu menunjukkan bahwa waktu shubuh memang masih gelap, tetapi fajar sudah tampak di ufuk timur. Warnanya masih putih lembut.
Seperti apa perubahan warna fajar? Saya sudah memotretnya dari pesawat terbang, dari atas awan.
2. Fajar di Indonesia wajar lebih awal, karena atmosfer ekuator lebih tinggi
Waktu shubuh sesungguhnya termasuk fajar astronomi, saat cahaya bintang-bintang mulai meredup karena munculnya hamburan cahaya di ufuk Timur. Per definisi, fajar astronomi terjadi saat matahari berada pada posisi -18 derajat. Namun itu rata-rata. Fajar itu terjadi karena hamburan cahaya matahari oleh atmosfer atas. Di wilayah ekuator, atmosfernya lebih tinggi dari daerah lain, sehingga wajar bila fajar terjadi ketika posisi matahari -20 derajat.
3. Waktu shubuh semestinya diukur dalam kondisi langit cerah dan bebas polusi cahaya
Belakangan ini ada laporan penelitian yang mengklaim waktu shubuh terlalu cepat. Menurut klaim itu, mestinya saat posisi matahari agak tinggi dari kriteria yang digunakan Kementerian Agama (-20 derajat). Salah satu hasil penelitian menyatakan fajar terjadi pada posisi matahari -13 derajat. Benarkah? Penelitian waktu shubuh yang objektif memang harus menggunakan alat ukur cahaya langit. Metode yang biasa digunakan adalah dengan teknik fotometri (pengukuran kuat cahaya). Bisa dengan analisis fotometri citra ufuk timur. Bisa pula dengan alat ukur cahaya langit, misalnya SQM (Sky Quality Meter). Namun persyaratan teknik fotometri ini, langit harus benar-benar bersih dari awan, polusi udara, dan polusi cahaya. Fajar ditandai ketika cahaya mulai muncul, artinya intensitas cahaya langit mulai meningkat.
Awan tipis dan polusi udara bisa menghalangi cahaya fajar di ufuk Timur, sehingga fajar astronomi yang putih tipis tidak tampak. Fajar yang agak kuning akan tampak saat matahari mulai meninggi. Polusi cahaya juga sangat menggangu pengamatan fajar. Pengukuran fajar dengan SQM dari tengah kota dengan polusi cahaya yang cukup kuat bisa mengecoh, sehingga menyimpulkan fajar yang lebih lambat. Berikut ini ilustrasinya.
Kurva skematik cahaya langit (warna merah) menunjukkan kondisi hasil pengukuran waktu fajar:
Dalam kondisi langit cerah tanpa polusi cahaya (misalnya di daerah yang jauh dari lampu-lampu kota), waktu shubuh lebih awal. Misalnya pukul 04.30
Dalam kondisi langit terpolusi cahaya sedang (garis hijau), waktu fajar yang terdeteksi lebih lambat. Misalnya pukul 04.40.
Dalam kondisi langit terpolusi cahaya parah (garis kuing), waktu fajar yang terdeteksi lebih lambat lagi. Misalnya pukul 04.50.
Prof. Thomas. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN, Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementerian Agama