Fatwapedia.com – Pandangan tentang citra guru sebagai orang yang wajib digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani) tidak perlu diragukan kebenarannya, konsep keguruan klasik tersebut mengandaikan pribadi guru serta perbuatan kependidikan atau keguruan adalah tanpa cela, sehinga pantas hadir sebagai manusia model yang ideal. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, guru wajib digugu dan ditiru tersebut perlu disikapi secara kritis dan realistis. Benarlah bahwa guru dituntut menjadi tauladan bagi siswa dan orang-orang sekelilingnya, tetapi guru adalah orang yang tidak pernah bebas dari cela dan kelemahan, justru salah satu keutamaan guru hendaknya diukur dari kegigihan usaha guru yang bersangkutan untuk menyempurnakan diri dan karyanya. Guru yang sempurna, ideal, selamanya tetap merupakan suatu cita-cita.
Atas pemikiran di atas, maka upaya menyiapkan tenaga guru merupakan langkah utama dan pertama yang harus dilakukan. Dalam arti formal tugas keguruan bersikap profesional, yaitu tugas yang tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang.[1] Dalam artian, guru tersebut harus mempunyai kemampuan untuk mengerahkan dan membina anak didiknya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur dan bermanfaat menurut pandangan agama.
Pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua (ayah dan ibu), karena adanya pertalian darah yang secara langsung bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses anaknya merupakan sukses orang tua juga. Orang tua disebut pendidik kodrati. Apabila orang tua tidak punya kemampuan dan waktu untuk mendidik, maka mereka menyerahkan sebagian tanggungjawabnya kepada orang lain atau lembaga pendidikan yang berkompetensi untuk melaksanakan tugas mendidik.
Seorang guru dituntut mampu memainkan peranan dan funginya dalam menjalankan tugas keguruannya. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, membagi tugas guru ada dua; Pertama, membimbing anak didik mencari pengenalan terhadap kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Kedua, menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu suatu keadaan dimana tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan hasil memuaskan.
Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah mudah, karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya. Pontensi dasar itu adalah milik individu sebagai hasil proses yang tumbuh karena adanya inayah Allah SWT, personifikasi ibu waktu mengandung dan situasi yang mempengaruhinya baik langsung maupun melalui ibu waktu mengandung atau faktor keturunan. Hal inilah yang digunakan sebagai pijakan bagi individu dalam menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dalam ajaran Islam, guru mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang amat tinggi. Penghormatan dan kedudukan yang tinggi ini amat logis diberikan kepadanya, karena dilihat dari jasanya yang demikian besar dalam membimbing, mengarahkan, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak dan menyiapkan anak didik agar siap menghadapi hari depan dengan penuh keyakinan dan percaya diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi dengan baik.
Sifat yang dimiliki guru adalah harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak sesuai dengan pendapat Mohammad Athiyah Al-Abrosyi, salah satu dari mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya:
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepada-Mu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Yasin: 21)[2]
Ini tidak berarti bahwa seorang guru harus hidup miskin, melarat, dan sengsara, melainkan boleh ia memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang lain dan ini tidak berarti pula bahwa guru tidak boleh menerima pemberian atau upah dari muridnya, melainkan ia boleh saja menerimanya pemberian upah tersebut karena jasanya dalam mengajar, tetapi semua ini jangan diniatkan dari awal tugasnya. Pada awal tugasnya hendaklah ia niatkan semata-mata karena Allah. Dengan demikian, maka tugas guru akan dilaksanakan dengan baik, apakah dalam keadaan punya uang atau tidak ada uang.
Selanjutnya dijumpai pula pendapat Al-Ghazali bahwa hendaknya seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. [3] Mengenai masalah gaji guru, menurutnya, sosok guru ideal adalah yang memiliki motivasi mengajar yang tulus ikhlas. Dalam mengamalkan ilmunya semata-mata untuk bekal di akhirat bukan untuk dunianya, sehingga tidak mengharapkan imbalan, dan menjadi panutan serta mengajak pada jalan Allah dan mengajar itu harganya lebih tinggi dari pada harta benda.
Selanjutnya menurut pendapat Zakiah Daradjat, untuk menjadi guru yang baik yaitu yang dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan padanya, salain bertakwa kepada Allah, sehat jasmaninya, baik akhlaknya dan berjiwa sosial, seorang guru juga dituntut berilmu pengetahuan, yaitu dengan memiliki ijazah sebagai tanda bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan, yang selanjutnya harus berusaha mencintai pekerjaannya. Dan kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas ini, karena boleh jadi itu sebenarnya tidak sengaja mengajar, akan tetapi ia menjadi guru hanyalah untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru dinilai dari segi material. Apabila yang dipandang material atau hasil langsung yang diterimanya tidak seimbang dengan beban kerja yang dipikulnya, maka ia akan mengalami kegoncangan. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal itupun dapat merusak nilai pendidikan yang diterima oleh anak didik.[4]
Dengan melihat sekilas pemaparan atau uraian tentang sosok guru, bahwa sosok guru selalu mengalami perkembangan, begitu juga sosok guru Al-Ghazali dan Zakiah Daradjat ternyata ada perbedaan dan persamaan.
[1] Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.
[2] DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., hlm 708.
[3] Al-Ghazali, Terj., Ismail Yakub, Ihya’ Ulumuddin, Cet VI, (Semarang: C.V. Faizan, 1979), hlm. 214.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 41-