Fatwapedia.com – Ada pertanyaan dari seorang wanita bahwa dia dinyatakan positif hamil oleh dokter, kemudian tidak berapa lama terjadi keguguran. Suaminya menyuruhnya untuk tetap shalat, tetapi dia ragu dan mengatakan: “Bukankah saya jelas-jelas hamil dan keguguran? Mengapa tidak dihukumi seperti nifas? Jika dianggap keguguran, bagaimana cara saya meng-qadha shalat yang sudah saya tinggalkan selama 10 hari dan puasa Ramadhan selama 6 hari?”
Jawabannya bahwa status darah keguguran wanita dibagi menjadi beberapa keadaan:
1. Keadaan Pertama
Jika terjadi keguguran sebelum 80 hari usia kandungan yang terdiri dari fase pertama (masih berbentuk nuthfah) dan fase kedua (masih berbentuk ‘alaqah /segumpul darah) Dalam keadaan seperti ini, maka para ulama sepakat bahwa status darahnya tidak dihukumi sebagai darah nifas, tetapi dihukumi sebagai DARAH ISTIHADHAH.
Oleh karenanya, wanita yang mengalami keguguran seperti ini dianggap seperti wanita yang suci dari haidh dan nifas, wajib baginya untuk melaksanakan sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya.
2. Keadaan Kedua
Jika keguguran terjadi setelah 80 hari, yang merupakan fase ketiga umur kandungan, yaitu fase mudghah (gumpalan daging). Pada fase ini mulai terjadi pembentukan anggota badan seperti tangan, kaki, wajah dan lainnya. Ini berjalan sejak 81-120 hari pada masa kehamilan. Jika pembentukan badan tersebut belum jelas dan belum menggambarkan seorang manusia, maka hukumnya seperti wanita yang ISTIHADHAH. Tetapi jika pada fase ini sudah berbentuk manusia secara jelas, maka status kegugurannya seperti wanita yang nifas.
Ini pendapat Hanabilah dan Hanafiyah. Berkata al-Mardawai di dalam al-Inshaf (1/275): “Hukum nifas diukur dengan sesuatu yang keluar dari rahim jika sudah berbentuk manusia. Ini pendapat shahih dalam madzhab.”
Berkata as-Sarkhasi di dalam al-Mabsuth (3/389): “Jika terjadi keguguran dan jelas bentuk manusianya, maka wanita tersebut telah nifas. Jika tidak terlihat bentuk manusia, maka bukan darah nifas.”
Berkata Syeikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi:
إن أسقطت ما فيه صورة الخلقة متخلق ولو لم يكن كاملاً ؛ لكن فيه صورة الخلقة فإن جميع ما يجري معها بعد إسقاطها يأخذ حكم الولادة ويجري عليه ما يجري على الولادة على أصح قولي العلماء
“Jika seorang wanita keguguran dalam keadaan kandungan sudah terbentuk badan manusia walupun belum sempurna, maka seluruh yang terjadi padanya setelah keguguran, dihukumi seperti wanita yang melahirkan menurut yang benar dari dua pendapat ulama.”
Adapun menurut Syafi’iyah, sebagaimana apa yang disebutkan an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (2/532): “ Berkata sahabat-sahabat kami: “Tidak disyaratkan di dalam menentukan nifas, bahwa bayi tersebut sempurna bentuknya dan tidak pula disyaratkan hidup. Bahkan jika lahir dalam keadaan mati atau berupa daging yang berbentuk manusia, atau belum berbentuk manusia, tetapi para Qawabil (orang-orang yang sering membantu wanita dalam melahirkan ) mengatakan bahwa itu daging manusia, maka kegugurannya dianggap nifas.” Berkata al-Mawardi: “Kriterianya jika wanita tersebut melahirkan seperti masa selesainya iddah (90 hari), dan dengannya dia menjadi Ummu Walad.”
Adapun menurut Malikiyah sebagaimana disebutkan ad-Dardiri di dalam Syarh Mukhtashar Khalil bahwa wanita yang keguguran dalam bentuk daging yang jika dituangkan diatasnya air panas, ia tidak meleleh, maka kegugurannya dianggap nifas.
3. Keadaan Ketiga
Jika keguguran terjadi pada fase keempat, yaitu setelah ditiup ruh pada janin, tepatnya setelah berumur 4 bulan/120 hari, dalam keadan seperti ini maka status darahnya dianggap DARAH NIFAS menurut kesepakatan ulama.
Pembagian di atas berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan sabdanya, “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (zygot), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jika wanita tersebut terlanjur meninggalkan shalat setelah kegugurannya yang belum berbentuk manusia secara jelas, yaitu ketika belum berumur 81 hari karena ketidaktahuannya, maka dia berkewajiban untuk mengcqadha’nya, dengan cara melaksanakan shalat yang ditinggalkannya setiap selesai shalat lima waktu. Jika dia telah menyelesaikan shalat Maghrib umpamanya, maka hendaknya dia melakukan sholat Maghrib lagi dari shalat yang pernah ditinggalkan. Dan jika dia telah menyelesaikan shalat Isya, maka hendaknya dia melakukan shalat Isya lagi dari shalat yang pernah ditinggalkan, dan begitu seterusnya sampai semua shalat yang dtinggalkannya terbayar.
Adapun cara mengqadha puasa, sebagaimana cara mengqadha’ puasa Ramadhan yang ditinggalkan orang-orang yang terkena udzur seperti wanita yang haidh dan nifas serta orang-orang yang sakit, jika sudah sembuh dan orang-orang yang melakukan perjalanan, jika sudah kembali ke tempat tinggalnya lagi.
Apakah boleh suaminya menggauli istrinya setelah keguguran?
Jawabannya sebagaimana yang disebutkan oleh Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (5/422-423):
إذا كان الجنين قد تخلق , بأن ظهرت فيه أعضاؤه من يد أو رجل أو رأس حرم عليه جماعها مادام الدم نازلا إلى أربعين يوما , ويجوز أن يجامعها في فترات انقطاعه أثناء الأربعين بعد أن تغتسل , أما إذا كان لم تظهر أعضاؤه في خلقه فيجوز له أن يجامعها ولو حين نزوله , لأنه لا يعتبر دم نفاس , إنما هو دم فاسد تصلي معه وتصوم .
“Jika janin sudah berbentuk manusia, dan telah nampak anggota badannya seperti tangan, kaki, kepala, maka diharamkan bagi suaminya untuk menggauli istrinya, selama darahnya masih keluar sampai 40 hari lamanya. Dan dibolehkan bagi suaminya untuk menggaulinya jika darahnya tidak keluar atau terputus dalam masa 40 hari tersebut, itupun setelah wanita tersebut mandi besar terlebih dahulu.
Adapun jika janin yang gugur tersebut belum berbentuk manusia (belum nampak anggota badannya), maka boleh bagi suaminya untuk menggauli istrinya walaupun darahnya masih mengalir, karena darah tersebut bukan darah nifas, tetapi darah rusak, di mana dia tetap berkewajiban melaksanakan shalat dan puasa.” Wallahu A’lam.
DR. Ahmad Zain An-Najah, MA