Fatwapedia.com – Pada kesempatan kali ini, bi-idznilah kita akan melihat jalan-jalan hadits terkait keutamaan membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at. Hadits yang dijadikan bahasan utama adalah haditsnya Shahabi Jalil Abu Sa’id al-Khudri Rodhiyallahu ‘anhu. Berdasarkan data-data yang kami kumpulkan, maka haditsnya Abu Sa’id ini dapat dibagi berdasarkan jalan-jalan sanad dan matannya, menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
1. Jalan yang berisi lafadz keutamaan membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at secara marfu’ kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam. Jalan ini diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam “al-Mustadrok” (no. 3392), dan Imam Baihaqi dalam “as-Sunan as-Sughra” (no. 606), keduanya meriwayatkan dari jalan :
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُؤَمَّلِ، نا الْفَضْلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الشَّعْرَانِيُّ، نا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ، نا هُشَيْمٌ، نا أَبُو هَاشِمٍ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَّادٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ»
“(dari) Abu Bakar Muhammad bin al-Muammal, akhbaronaa al-Fadhl bin Muhammad asy-Sya’raniy, akhbaronaa Nu’aim bin Hammaad, akhbaronaa Husyaim, akhbaronaa Abu Haasyim, dari Abi Mijlaz, dari Qois bin ‘Abbaad, dari Abi Sa’id al-Khudriy Rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda : “Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan diberikan cahaya diantara dua jum’at”.
Kedudukan Sanad :
• Muhammad bin al-Muammal (w.372), asy-Syaikh Naayif bin Sholaah yang telah khusus menulis biografi para gurunya Imam al-Hakim, setelah beliau mengkaji data seputar profil guru Imam al-Hakim ini, beliau memberikan kesimpulan bahwa ia adalah perowi tsiqoh dan salah satu gurunya adalah al-Fadhl bin Muhammad berikut;
• Al-Fadhl bin Muhammad (w. 290 H), dinilai tsiqoh oleh Imam al-Hakim;
• Nu’aim bin Hammaad (w. 228 H), perowi Bukhori-Muslim. Al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya sebagai perowi shoduq banyak melakukan kesalahan;
• Husyaim bin Basyiir (w. 183), perowi Bukhori-Muslim, dinilai tsiqoh tsabat dan banyak melakukan tadlis dan memursalkan hadits, sebagaimana kesimpulan Al Hafidz Ibnu Hajar;
• Abu Haasyim Yahya bin Diinaar, perowi tsiqoh yang dijadikan hujjah oleh Bukhori-Muslim;
• Abu Mijlaz Laahiq bin Hamiid (w. 106 H), Tabi’i pertengahan, perowi tsiqoh yang dipakai juga oleh Bukhori-Muslim;
• Qois, dikatakan sebagai Mukhodrom yang termasuk dalam jajaran Tabi’i kabiir, perowi tsiqoh digunakan oleh Bukhori-Muslim.
Berdasarkan data perowi diatas, zhahirnya hadits dengan sanad diatas adalah minimalnya hasan, melihat Nu’aim bin Hammaad bukan berada pada jajaran perowi tsiqoh, kemudian tadlis yang dikhawatirkan terjadi pada Husyaim sudah hilang, karena beliau telah menjelaskan aktivitas periwayatannya. Bahkan Imam al-Hakim dalam kitabnya diatas menilai hadits ini :
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ
“hadits ini shahih sanadnya, sekalipun Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya”.
Akan tetapi penilaian Imam al-Hakim diatas, disanggah oleh Imam adz-Dzahabi yang mengatakan :
نعيم ذو مناكير
“Nu’aim memiliki hadits-hadits mungkar” –selesai-.
Barangkali nanti yang akan menunjukkan kemungkarannya adalah para perowi lainnya yang meriwayatkan dari Husyaim, hanya meriwayatkannya secara mauquf kepada Abu Sa’id Rodhiyallahu ‘anhu.
Namun Imam al-Baihaqi dalam kitabnya “Syu’abul Iman” (no. 2777), menemukan jalan lain :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي بْنُ قَانِعٍ الْحَافِظُ، حَدَّثَنَا أَسْلَمُ بْنُ سَهْلٍ الْوَاسِطِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الرُّمَّانِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَّادٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
“telah menceritakan kepada kami Abdul Baaqi bin Qooni’ al-Hafidz, telah menceritakan kepada kami Aslam bin Sahl al-Waasithiy, telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Khoolid, telah menceritakan kepada kami Husyaim dan seterusnya”.
Kedudukan sanad :
• Abdul Baaqiy (w. 351 H), al-Imam al-Hafidz;
• Aslam (w. 292 H), dinilai oleh Imam az-Zrekliy sebagai ulama hadits termasuk hufadz dan tsiqoh;
• Yaziid bin Khoolid (w. 232 H), perowi tsiqoh yang ahli ibadah, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz.
Oleh sebab itu, Yaziid bisa sebagai mutabi’ bagi Nu’aim bin Hammaad diatas, dengan kata lain jalan hadits secara marfu’ ini shahih. Akan tetapi sebagian Aimah kritikus hadits menilai riwayat yang mauquf berikut ini yang lebih kuat :
2. Jalan yang mauquf (yakni hanya sebagai perkataan) Abu Sa’id al-Khudri Rodhiyallahu ‘anhu. Haditsnya diriwayatkan oleh Imam ibnu adh-Dhoriis (w. 294 H) dalam kitabnya “Fadhoil al-Qur’an” (no. 211) dari gurunya yang bernama Ahmad bin Kholaf al-Baghdadiy, Imam Nu’aim bin Hammaad dalam kitabnya “al-Fitan” (no. 1579) dari gurunya yang bernama Wakii’ dari Sufyan, Imam al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (no. 8562) melalui jalan Nu’aim bin Hammaad dari Abdur Rahman bin Mahdiy dari Sufyan, dan Imam Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” (no. 2220) melalui jalan Sa’id bin Manshuur, semuanya meriwayatkan dari :
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ
“telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim dari Abi Mijlaz, dari Qois bin ‘Ubaad dari Abi Sa’id al-Khudriy Rodhiyallahu ‘anhu beliau berkata : “al-Atsar”.
Kedudukan sanad :
Kita hanya perlu melihat status murid-muridnya Husyaim yang meriwayatkan darinya secara mauquf sebagai berikut :
• Ahmad bin Kholaf al-Baghdadiy, Imam al-Khothiib al-Baghdadiy menilainya sebagai seorang syaikh yang tidak masyhur;
• Imam Waaki’ adalah Imam Ahlus Sunnah yang sudah sangat masyhur dalam hadits, demikian juga gurunya Imam Sufyan dan yang dimaksud disini adalah Sufyan ats-Tsauriy, juga Imam yang masyhur dengan ketsiqohannya. Dalam riwayat Imam Baihaqi muridnya Sufyan adalah Imam Abdur Rahmad bin Mahdiy, juga sama Imam ahli hadits yang masyhur. Husyaim adalah salah satu diantara deretan guru-gurunya;
• Sa’id bin Manshuur, Imam yang masyhur yang memiliki beberapa tulisan dalam bidang hadits dan lainnya, Imam yang tsiqoh.
Sebagian ulama sebagaimana kami sampaikan mengunggulkan riwayat yang mauquf ini, karena mereka lebih menggunggulkan Imam Sufyan ats-Tsauriy dalam meriwayatkan hadits dari Husyaim dan seterusnya keatas, sebagaimana Imam Baihaqi dalam kitabnya “Syu’abul Iman” berkomentar :
وهَذَا هُوَ الْمَحْفُوظُ مَوْقُوفٌ
“riwayat ini yang mahfudz yaitu jalan yang mauquf”.
Begitu juga penilaian Imam adz-Dzahabi dalam at-Talkhis bahwa yang mauquf ini yang shahih.
3. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Rodhiyallahu ‘anhu secara marfu namun dengan lafadz membaca surat Al Kahfinya secara umum tidak dikaitkan dengan waktu hari Jum’at. Haditsnya ditulis oleh Imam an-Nasaa’i dalam “as-Sunan al-Kubra” (no. 10722) dari jalannya sampai kepada Imam Syu’bah, meriwayatkan dari :
حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ كَمَا أُنْزِلَتْ كَانَتْ لَهُ نُورًا مِنْ مَقَامِهِ إِلَى مَكَّةَ، وَمَنْ قَرَأَ بِعَشْرِ آيَاتٍ مِنْ آخِرِهَا فَخَرَجَ الدَّجَّالُ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ»
“telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim dari Abi Mijlaz, dari Qois bin ‘Ubaad, dari Abi Sa’id al-Khudriy Rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda : “barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi sebagaimana ia diturunkan maka ia akan mendapatkan cahaya dari tempat tinggalnya sampai ke Mekkah dan barangsiapa yang membaca 10 ayat terakhirnya maka ketika Dajjal keluar si Dajjal tidak akan bisa menundukkannya”.
4. Lafadz diatas datang juga melalui jalan mauquf, yang dikeluarkan haditsnya oleh Imam Nasaa’i dalam “as-Sunan al-Kubra” (no. 10724) dari jalannya sampai kepada Imam Sufyan meriwayatkan dari :
عَنْ أَبِي هَاشِمٍ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ
“dari Abu Haasyim dari Abi Mijlaz, dari Qois bin ‘Ubaad, dari Abi Sa’id al-Khudriy Rodhiyallahu ‘anhu beliau berkata : “al-Atsar”.
Sebagian ulama kontemporer mencoba melemahkan jenis hadits pada point pertama dan kedua, ketika mereka adu dengan jenis hadits point ketiga dan keempat. Akan tetapi bisa saja kita katakan bahwa jenis hadits point ketiga dan keempat ini adalah keutamaan lain dari membaca surat Al Kahfi, sebagaimana juga ada keutamaan yang disebutkan dalam hadits yang telah disepakati keshahihannya bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda :
مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ
“barangsiapa yang menjaga 10 ayat awal surat Al Kahfi, maka ia akan dijaga dari Dajjal” (Muttafaqun ‘alaih).
Fiqih Hadits :
Berdasarkan keterangan diatas, maka kita akan membicarakan jenis hadits pada point pertama dan kedua yang lafadznya menunjukkan keutamaan membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at. Seandainya kita unggulkan riwayat yang mauquf, sebagaimana ini juga diunggulkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, maka tidak berpengaruh terhadap kehujahhannya sebagai amalan mustahab, karena tidak mungkin ini adalah hasil pendapat pribadi semata dari Shahabi Jaliil Abu Sa’id al-Khudri Rodhiyallahu ‘anhu. Al-‘Alamah ibnu Baz Rahimahullah berkata ketika menjawab pertanyaan seputar hadits diatas :
في ذلك أحاديث مرفوعة يشد بعضها بعضا، تدل على شرعية قراءة سورة الكهف في يوم الجمعة.وقد ثبت ذلك عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – موقوفا عليه، ومثل هذا لا يعمل من جهة الرأي بل يدل على أن لديه فيه سنة.
“terkait hal tersebut terdapat hadits yang marfu’ yang satu sama lainnya saling menguatkan yang menunjukkan disyariatkannya membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at. Dan telah tsabit bahwa hal tersebut berasal dari Abi Sa’id al-Khudriy Rodhiyallahu ‘anhu secara mauquf, maka semisal hal ini bukanlah berasal dari pendapat beliau semata, bahkan menunjukkan bahwa ini asalnya dari sunah nabawi” (Majmu Fatawa ibnu Baz (XXV/196).
Al-‘Alamah ibnu Utsaimin melengkapi keterangan gurunya diatas dalam kitabnya “asy-Syarah al-Mumti’” (V/92) :
“hadits diatas diriwayatkan secara marfu’ dan mauquf, sebagian ulama mencacat riwayat yang marfu dan yang benar adalah mauquf. Maka kami katakan, jika perowi yang memarfu’kannya tsiqoh, maka cacat ini tidaklah merusak dan tidak mengharuskan haditsnya dhoif, cacat (ilat) yang menyebabkan haditsnya dhoif adalah cacat yang merusak, sedangkan dalam case ini tidak merusak, karena orang yang meriwayatkan hadits dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam terkadang meriwayatkannya tanpa menisbahkannya kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam dan ini sering terjadi, terlebih lagi pada momen bukan untuk berdalil, adapun pada saat momen berdalil maka harus memarfu’kannya. Namun jika diasumsikan bahwa ini adalah perkataannya Abu Said Rodhiyallahu ‘anhu, maka ucapan semisal ini tidaklah bersumber dari pemikiran pribadinya, sehingga hukumnya adalah marfu’, karena Abu Sa’id Rodhiyallahu ‘anhu tidak mengetahui pahala ini, maka ini adalah marfu’ secara hukum kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam”.
Bahkan Imam besar dalam bidang hadits, seperti Imam asy-Syafi’i Rahimahullah menganjurkan untuk membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at. Imam Nawawi Rahimahullah dalam kitabnya “al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab” (IV/548) berkata :
قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَالْأَصْحَابُ وَيُسْتَحَبُّ قِرَاءَةُ سُورَةِ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا
“Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm dan Ashabnya berkata, dianjurkan membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at dan malamnya”.
Catatan :
Terkait dalil membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, Imam ad-Darimi dalam “as-Sunan” (no. 3450) meriwayatkan :
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: «مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ»
“telah menceritakan kepada kami Abu an-Nu’maan, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim dari Abi Mijlaz, dari Qois bin ‘Ubaad dari Abi Sa’id al-Khudriy Rodhiyallahu ‘anhu beliau berkata : “barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan diberikan cahaya antara dirinya sampai ke baitul atiiq (Masjidil haram)”.
Pentahqiq kitab Sunan ad-Darimi, yakni asy-Syaikh Husain Salim Asad menilai hadits ini :
إسناده صحيح إلى أبي سعيد وهو موقوف عليه
“sanadnya shahih sampai kepada Abu Sa’id dan ini adalah mauquf kepadanya”.
Adapun kapan membacanya pada hari Jum’at, maka waktunya bebas mulai dari terbit fajar pada hari Jum’at sampai tenggelamnya matahari pada hari tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang membaca surat Al Kahfi setelah Ashar pada hari Jum’at apakah terdapat haditsnya?, beliau menjawab :
“membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at terdapat padanya atsar sebagaimana disebutkan oleh ahli hadits dan ahli fiqih, namun ia mutlak pada hari Jum’at, aku belum pernah mendengar hal tersebut dikhususkan setelah Ashar” (Majmu’ al-Fatawa (XXIV/214). Wallahu a’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono