Fatwapedia.com – Jinayat adalah hukum pidana islam terhadap Tindak Kejahatan pada jiwa yaitu bertindak sewenang-wenang kepada manusia dengan membunuh atau menghilangkan nyawa, merusak sebagian anggota tubuhnya, atau melukai tubuhnya.
Hukum Kejahatan pada Jiwa seperti Membunuh nyawa seseorang, atau merusak sebagian anggota tubuhnya, atau melukai dengan cara apa pun pada tubuhnya tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka hukumnya adalah haram. Oleh sebab itu, tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekufuran kecuali membunuh seorang mukmin. Berdasarkan firman Allah :
“Siapa saja yang dengan sengaja membunuh seorang mukmin, maka hukumannya adalah neraka Jahanam. Pembunuh itu kekal di dalam neraka. Allah murka kepadanya dan melaknatnya. Allah menyediakan adzab yang sangat berat bagi pembunuh itu.” (An-Nisa: 93)
Macam-macam Tindakan Kejahatan pada Jiwa
Tindakan kejahatan pada jiwa terdiri dari tiga macam, yaitu:
Pertama, Tindakan yang Disengaja (Al-‘Amdu),
Al’amdu yaitu pelaku kejahatan yang dengan sengaja ingin membunuh seorang mukmin atau menyakitinya, lalu dia sengaja mendekatinya dan memukulnya dengan besi, atau tongkat, atau batu, atau melemparnya dari tempat tinggi, menenggelamkannya ke air atau membakarnya dengan api, mencekiknya, atau memberinya makanan yang beracun sampai meninggal, atau dengan merusak anggota badannya atau melukai tubuhnya.
Hukum tindakan kejahatan yang disengaja ini adalah wajib ditegakkannya qishash (dihukum dengan hukuman yang sepadan) atas pelakunya. Berdasarkan firman Allah:
“Kami telah menurunkan syari’at dalam Taurat kepada kaum Yahudi, bahwa menghilangkan nyawa dibalas dengan menghilangkan nyawa, merusak mata dengan merusak mata, melukai hidung dengan melukai hidung, melukai telinga dengan melukai telinga, mematahkan gigi dengan mematahkan gigi sebagai hukuman yang setimpal. Siapa saja yang memaafkan pelaku kejahatan atas dirinya dari tuntutan hukuman, maka dosa orang yang memaafkannya diampuni oleh Allah. Siapa saja yang tidak mau menetapkan qishash, hukuman setimpal dalam perkara pembunuhan dan penganiayaan sesuai syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, maka mereka itu adalah orang-orang zhalim.” (Al-Maidah: 45)
Kedua, Syibhul ‘Amdi (Menyerupai disengaja),
Syibhul ‘Amdi yaitu pelaku sengaja berbuat jahat bukan untuk membunuh atau melukai, seperti memukulnya dengan tongkat dengan ringan yang biasanya tidak dapat mematikan, atau memukul dengan tangannya, atau memukul kepalanya, atau melemparnya ke dalam air yang sedikit, atau berteriak di depan mukanya, atau menterornya (menakut-nakutinya). Akan tetapi dengan tindakannya tersebut, yang bersangkutan meninggal dunia.
Hukum tindakan kejahatan ini yaitu pelaku kejahatannya wajib membayar diyat kepada keluarganya serta membayar kafarat kepadanya. Berdasarkan firman Allah:
“Seorang mukmin sama sekali tidak patut membunuh mukmin lainnya kecuali karena keliru. Siapa saja yang membunuh seorang mukmin karena keliru, hukumannya adalah memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar denda kepada keluarganya, kecuali bila keluarganya mau memaafkannya. Wahai kaum mukmin, apabila yang terbunuh itu seorang mukmin dari kaum yang ada permusuhan dengan kalian, hukumannya adalah membebaskan seorang budak mukmin. Apabila yang terbunuh berasal dari kaum yang ada perjanjian damai dengan kalian, hendaklah si pembunuh memberikan denda yang diserahkan kepada keluarga yang terbunuh dan membebaskan seorang budak mukmin. Bagi pembunuh yang tidak mampu memenuhi ketentuan Ini, ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tanda bertaubat kepada Allah. Allah Maha Mengetahui kelemahan kalian dan Mahabijaksana mengatur syari’at untuk kalian.” (An-Nisa: 92)
Ketiga, Khatha’ (salah atau tidak disengaja),
Khatha’ yaitu apabila seorang muslim melakukan suatu perbuatan yang dibolehkan baginya seperti memanah, berburu, atau memotong-motong daging hewan misalnya. Kemudian, alat yang digunakannya itu meleset dan mengenai seseorang yang menyebabkan orang itu meninggal atau terluka.
Hukuman tindakan kejahatan ini seperti halnya hukum yang kedua (syibhul ‘amdi), hanya saja diyatnya itu lebih ringan, dan pelakunya tidak berdosa, berbeda dengan syibhul ‘amdi, karena diyatnya lebih berat dan pelakunya berdosa.
Syarat-syarat Wajibnya Qishash
Qishash dalam pembunuhan, atau tindakan melukai pada anggota badan (kedua tangan, kaki dan kepala) tidak wajib dilaksanakan, kecuali setelah terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Korban yang terbunuh adalah orang yang dilindungi darahnya (haram untuk dibunuh). Jika dia adalah seorang pezina yang muhshan, atau orang yang murtad (keluar dari agama Islam), atau orang kafir, maka tidak ada qishash, karena mereka itu darahnya halal disebabkan kejahatan mereka.
2. Pembunuhnya adalah seorang mukallaf, yakni baligh dan berakal. Jika pembunuhnya anak kecil atau Orang gila, maka tidak ada qishash, karena mereka tidak terkena taklif (beban hukum). Berdasarkan sabda Nabi:
“Qalam (pencatat amalan) diangkat dari tiga orang: dari anak kecil hingga dia dewasa, orang gila hingga dia sadar, dan dari orang tidur hingga dia bangun.” (HR. Ahamad: 943)
3. Orang yang dibunuh dan yang membunuh sama (sederajat) dalam hal agama, Status merdeka atau budak. Karena orang muslim tidak boleh dibunuh oleh orang kafir, dan orang merdeka tidak boleh dibunuh oleh budak. Berdasarkan sabda Nabi:
لا يقتل مسلم بكافر
“Orang muslim tidak dibunuh (di qishash) oleh karena dia membunuh orang kafir.” (HR. Ahmad: 1/79, dan At-Tirmidzi: 1412, 1413, hadits hasan)
Seorang budak bisa dibeli, maka bisa dibayar dengan harga yang telah ditentukan. Berdasarkan perkataan sahabat Ali r.a. “Termasuk sebagian dari sunnah adalah orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak.” Dan hadits Ibnu Abbas, “Orang merdeka tidak dibunuh oleh karena membunuh budak.” (HR. Al-baihaqi (8/35) dengan sanad hasan, dan Ad-Daruquthni (3/133).
4. Pembunuhnya bukan orang tua dari yang terbunuh, baik ayah atau ibu, kakek atau nenek. Berdasarkan sabda Nabi,
لا يقتل والد بولده
“Orang tua tidak dibunuh (diqishash) oleh karena dia membunuh anaknya.” (HR. Ahmad: 1/49)
Syarat-syarat Pelaksanaan Qishash
Seorang yang menuntut hak atas qishash tidak akan dapat melaksanakan haknya kecuali setelah memenuhi persyaratan berikut:
1. Penuntut hak atas qishash harus mukallaf. Jika dia masih anak kecil atau orang gila, maka pelaku kejahatannya ditahan sampai anak kecil itu baligh, atau orang gila itu sadar. Kemudian setelah itu mereka berdua boleh melaksanakan qishash atau mengambil diyat atau mengampuni. Dan pendapat ini diriwayatkan dari para shahabat.
2. Semua wali (keluarga) korban sepakat untuk dilaksanakan qishash. Jika sebagian mereka mengampuni, maka tidak ada qishash dan wali (keluarga) korban yang tidak memaafkannya berhak mendapatkan bagian diyat.
3. Memberikan jaminan keamanan ketika sedang dilaksanakan qishash bahwa mereka tidak berlaku melampaui batas, yaitu tidak melampaui kadar yang telah ditentukan, dan tidak membunuh selain pelaku pembunuhnya, tidak membunuh perempuan yang dalam kandungannya ada janin sebelum dia melahirkannya serta menyapihnya. Berdasarkan sabda Nabi ketika ada seorang perempuan yang telah melakukan pembunuhan dengan disengaja,
“Dia tidak dibunuh hingga dia melahirkan (bayi) yang ada dalam kandungannya jika dia sedang hamil, dan hingga dia menyapihnya.” (HR. Ibnu Majah: 2694)
4. Qishash tersebut harus dilaksanakan dengan menghadirkan pengusa atau wakilnya sehingga dapat menjamin keamanan dari tindakan kesewenang-wenangan.
5. Qishah dilakukan dengan alat yang tajam. Berdasarkan sabda Nabi,
لا قود الا بالسيف
“Tidak ada qishash kecuali dengan pedang.” (HR. Ibnu Mijah: 2667, 2668, Dan Imam As-Suytthi tidak berkomentar mengenai status hadits ini.
Jelaslah bagi kita, bahwa syariat islam telah mengatur sedemikian rupa hukuman kejahatan terhadap jiwa seorang mukmin. Islam begitu perhatian terhadap keselamatan dan menjamin keberlangsungan hidup seorang muslim dengan ditetapkankannya hukuman setimpal bagi pelaku kejahatan terhadap jiwa seorang mukmin.