Fatwapedia.com – Sekitar akhir tahun 30-an dan awal tahun 40-an para penuntut ilmu asal Suriah di Al-Azhar bertemu dengan Ustad Hasan Al-banna rahimahullah dan tertarik dengan dakwah Ikhwan. Diantara mereka yang kemudian menjadi ulama besar Syam dan mengembangkan dakwah Ikhwan di Suriah adalah Syeikh Al-‘Allamah Muhammad Mahmud Al-Hamid ‘Alim dan Mursyid kota Hama, kemudian Syeikh Al-Mujahid Dr. Musthafa Husni As-Siba’i dari Homs dan Al-‘Allamah Al-Muhaddis Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dari Aleppo (rahimahumullah).
Syeikh Muhammad Al-Hamid adalah yang paling tua diantara mereka dimana beliau lahir tahun 1910, kemudian Dr. Musthafa As-Siba’i tahun 1915 dan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah tahun 1917. Asy-Syahid Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi rahimahullah sendiri lebih muda dari mereka semua dimana beliau lahir tahun 1929.
‘Hama Wa ‘Alimuha Ar-Rahil’ (Kota Hama Dan ‘Alimnya Yang Pergi), begitulah judul maqalah* yang ditulis Syeikh Al-Buthi mengenang Syeikh Muhammad Al-Hamid dan kesannya terhadap Mursyid kota Hama sejak pertama kali Syeikh Al-Buthi melihat sosok yang menurut Syeikh Al-Buthi merupakan pribadi yang lengkap untuk seorang ulama islam.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Hama, Syeikh Al-Hamid memuntut ilmu pada para ulama besar Aleppo saat itu seperti Syeikh Najib Siradjuddin, Syeikh Ahmad Az-Zarqa (ayah Syeikh Musthafa Az-Zarqa), Syeikh Ahmad Al-Kurdi, Syeikh Isa Al-Bayanuni, Syeikh Ragib At-Tabbakh dll.
Tahun 1938 beliau belajar ke Al-Azhar, di Mesir ia bertemu dengan Mursyid Ikhwan Ustad Hasan Al-Banna, membersamainya dan berguru padanya dalam amal dakwah pergerakan hingga kemudian Syeikh Al-Hamawi ( begitu beliau dikenal di Mesir) pulang ke Hama tahun 1944 dan menyerukan jihad melawan kolonialisme Prancis di Suriah.
Ketika As-Syahid Hasan Al-Banna dibunuh tahun 1949 Syeikh Al-Hamid adalah salah seorang yang teramat berduka dengan kepergiannya.
“Sungguh ia (Al-Banna) adalah saudaraku melebihi saudara senasab. Ketika berita wafatnya sampai kepadaku kukatakan; sungguh kematian dua anakku (padahal saat itu aku hanya punya mereka berdua) lebih ringan bagiku ketimbang wafatnya Ustad Al-Mursyid.”
Syeikh Al-Hamid menambahkan:
“Sesungguhnya umat islam tidak melihat sosok seperti Hasan Al-Banna sejak ratusan tahun, dengan kumpulan sifat-sifat yang menghiasinya, yang tersembunyi tanda-tandanya di kepalanya yang mulia. Aku tidak mengingkari petunjuknya para mursyid, ilmunya orang-orang Alim, pengetahuannya para ‘arifin, keindahan kata-kata para orator dan penulis, kepemimpinan para panglima, aturannya para pengatur, kecerdikan para pemimpin, aku tidak mengingkari kelebihan mereka semua. Akan tetapi berkumpulnya semua sifat-sifat yang bercerai berai ini dalam sebuah kesempurnaan amatlah sedikit terdapat dalam diri seseorang seperti terdapat dalam diri Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah”.
Syeikh Al-Hamid sangat terpengaruh dengan As-Syahid Hasan Al-Banna dalam dakwahnya, tasawwufnya yang lurus serta kesalafiyahannya. Beliau berkata:
“Dia telah memberikan pengaruh khusus dalam jiwaku, yang sangat berjasa dalam membentuk kepribadianku, tuanku, saudaraku di jalan Allah serta guruku Al-Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah semoga Allah mencurahkan kepadanya limpahan kebaikan dan kemuliaan”
Dalam Hama Wa ‘Alimuha Ar-Rahil, Syeikh Al-Buthi berkata ketika menggambarkan sosok Syeikh Al-Hamid:
“Sesungguhnya yang menarik perhatianku dari kehidupan Syeikh Muhammad Al-Hamid rahimahullah dan membuat hal tersebut memenuhi hatiku dengan cinta dan penghormatan kepadanya adalah kesempurnaan yang unik yang terpancar dari kehidupan islaminya…”
“Engkau perhatikan kehidupannya, amal-amal keilmuannya maka kau akan menemukannya berjalan di sebuah jalan dimana ia mencurahkan semua konsentrasi dan pikirannya hingga engkau menduga bahwa ia telah bersikap melampaui batas, bahwa kehidupannya hanyalah sekedar kehidupan rasional yang kering semata-mata. Akan tetapi setelah semua itu kau akan melihatnya larut dalam keadaan berupa ibadah, sikap zuhud serta ketaqwaan jiwa, terhias dengan puncak hakekat-hakekat tasawwuf islami yang lurus, selalu tercermin dalam pencarian jalannya firman Allah Swt: Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan tersembunyi” (Q.S: Al-An’aam,120) hingga hampir saja engkau menduga bahwa Syeikh hanya melihat islam dari celah sudut wirid-wirid zikir dan latihan-latihan rohani tasawwuf semata-mata. Akan tetapi engkau memperhatikannya lalu menemukannya (dengan sikap sufinya tersebut) berontak terhadap semua bid’ah, mengingkari setiap yang dilebih-lebihkan, mewanti-wanti dari setiap penyimpangan, menantang didepan wajah setiap kemungkaran sekalipun datang berbungkus dengan apa yang dinamakan dengan hakekat-hakekat atau syathahat (shufiyah). Dan pada akhirnya kita menyangka bahwa inilah semua yang ada pada Syeikh berupa jalan hidup, pencarian dan pemahaman. Akan tetapi engkau melihat tiba-tiba semua karakter keilmuan dan jalan hidup ini tertumpah dalam jalan dakwah islami…”
Syeikh Muhammad Al-Hamid yang mengambil tariqat Naqsyabandi melihat bahwa salafiyah yang haq sama sekali tidak bertentangan dengan tasawwuf yang lurus. Sebagai sebuah manhaj yang komprehensif dimana semua sisi-sisinya saling melengkapi islam tidak boleh dipahami secara parsial, melupakan salah satu dari semua sisi-sisinya tersebut akan menimbulkan benturan dan kegoncangan antara satu sisi dengan yang lainnya. Karenanya, Syeikh Al-Buthi berkata:
“Tidak sepatutnya bagi seorang muslim jika ia berislam dengan jujur kecuali ia harus memberikan hak setiap sisi-sisi keislaman tersebut, menjaganya dengan pikirannya, darahnya dan hidupnya. Dan semoga makna inilah yang menjadikan Syeikh Al-Hamid seringkali mengulang-ngulang perkataannya yang populer: Sesungguhnya aku tidak berangan-angan untuk menjadi seorang penguasa, tapi aku berangan-angan untuk menjadi penasehat bagi seorang penguasa muslim.”
Barangkali, perkataan Syeikh Al-Hamid inilah salah satu hal yang menyebabkan Syeikh Al-Buthi mendekat ke penguasa Suriah. Walaupun memang disayangkan rezim inilah yang kemudian memerangi jama’ah Ikhwan; jama’ah yang dirintis dan dikembangkan Syeikh Al-hamid dan rekan-rekannya di Syam.
Syeikh Al-Buthi melanjutkan:
“Kesempurnaan ini (seperti Syeikh Al-Hamid) dalam keilmuan, pemahaman dan jalan keislaman adalah puncak yang jika seorang ulama islam di sebuah negeri mampu mencapainya niscaya ia telah berdiri di sebuah derajat dimana tak ada yang membedakannya dengan kenabian kecuali derajat wahyu, dan tidaklah seorang ‘alim menjadi pengganti dan pewaris seorang Nabi kecuali dalam makna ini, dengan ikatan dan syarat ini”.
Tahun 1969, Syeikh Muhammad Al-Hamid wafat dikota kelahirannya Hama.
Diantara jasanya yang besar semasa hidupnya adalah mendamaikan kota Hama dan lainnya saat terjadi bentrokan bersenjata tahun 1964 antara sekelompok pemuda Hama yang dipimpin Marwan Hadid yang bertahan dalam mesjid jami’ As-Sulthan dengan pasukan pemerintah. Bentrokan ini membuat mesjid As-Sulthan rusak berat bahkan menara azannyapun roboh. Syeikh Al-Hamidpun memimpin utusan para ulama Hama menenangkan pemerintah dan mendamaikan dua kelompok yang bertikai.
(Sayangnya tahun 80-an ketika Syeikh telah wafat dan Partai Ba’ts dikontrol oleh sekte Alawi/Nushairi kota Hama hancur dalam pembantaian Hama yang terkenal).
Mencintai dan mengagumi seorang ulama tentu saja tak harus berarti menyepakatinya dalam semua yang ia katakan dalam jalan yang ia pilih. Syeikh Ali At-Thanthawi berkata:
“Aku berbeda dengan Syeikh Al-Hamid dalam banyak permasalahan fiqih, beliau berjalan (dan condong) untuk mempersempit (bersikap ketat) terhadap manusia dan dalam argumen-argumen syariat yang sebenarnya luas seperti hukum nyanyian (dan jenggot) atau beliau sangat ketat berpegang pada perkara-perkara furu’ yang sebenarnya hanya merupakan (bagian) dari kesempurnaan (agama), bukan sebab-sebab keselamatan dan bukan pula termasuk hal-hal yang diharamkan. Meskipun demikian, aku bersaksi bahwa Syeikh telah bersikap jujur dengan Allah dan dengan dirinya, dan sungguh Allah telah menjadikan dengannya pengaruh/bekas terhadap banyak manusia apa yang tak mampu dilakukan oleh puluhan orang sepertiku”.
Manusia dan para ulamanya diciptakan dan berkembang dengan naluri berbeda-beda. Sebagian mereka bertipikal keras, berani, tegas dan tanpa basa-basi terhadap kemungkaran. Jika harus memilih, mereka akan memilih hidup dipengasingan dan terusir dari kampung halaman ketimbang harus berbasa-basi dengan penguasa zalim. Sebagiannya lagi bertipikal malaikat, berhati lembut, menginginkan kedamaian dan hidayah untuk semua makhluk-Nya. Kedua naluri ini kadang berjalan seimbang dan tak jarang salah satunya mendominasi atas yang lain hingga kita yang tergesa-gesa menyimpulkan bahwa dua pribadi ini amatlah kontradiksi; Pemberontak dan penjilat.
Hari ini, sebagian murid-murid Syeikh Al-Hamid mungkin amat membenci Syeikh Al-Buthi sebagaimana sebagian murid-murid Syeikh Al-Buthi mungkin membenci Ikhwan, persis seperti konflik abadi antara pengikut Imam Syafi’i dan pengikut Imam Ahmad rahimahumullah lalu melupakan betapa ulama yang menjadi panutan mereka saling mencintai karena Allah. Wallahu A’lam.
*Note: Makalah ini ditulis oleh Syeikh Al-Buthi pada tahun 1969 dalam majalah Hadharah Al-Islam (Jilid ke 10 edisi ke 3) yang didirikan Muraqib Am Ikhwan Suriah Dr. Musthafa Husni As-Siba’i. Juga bisa di cek di web: naseemalsham.
Penulis: Taufik M Yusuf Njong