Fatwapedia.com – Kandungan pokok surat Al Baqarah ayat 17-18, serta pelajaran penting bagi orang beriman dan faidah lainnya yang bisa dipetik dengan memahami tafsir dan penjelasan ayat 17-18 surat Al Baqarah ini.
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ ۞
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ ۞
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (QS. al-Baqarah (2): 17-18)
1. Orang Munafik Mencari Cahaya
مَثَلُهُمۡ كَمَثَلِ ٱلَّذِي ٱسۡتَوۡقَدَ نَارٗا
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,”
Ayat ini memberikan permitsalan orang-orang munafik. Mereka itu seperti orang yang menyalakan api dalam kegelapan.
Kegelapan dalam ayat ini ditafsirkan sebagai hidup dalam kekafiran. Hati mereka gelap tidak mengenal Allah, tidak memahami hakikat dunia, dan tidak percaya kepada hari akhir. Keadaan ini seperti orang yang hidup di malam hari tanpa lampu. Tidak bisa membedakan antara makanan dan kotoran, antara jalan dan jurang. Dia berusaha untuk mencari sinar dan cahaya, dan menyalakan api.
Api dalam ayat ini ditafsirkan dengan sesuatu yang menyinari, memberikan cahaya yang terang, sehingga orang bisa berjalan dan bisa membedakan antara jalan dan jurang, antara makanan dan kotoran. Sesuatu yang memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi orang yang hidup, khususnya ditengah-tengah kegelapan yang menyelimutinya.
Api disini ditafsirkan juga dengan ajaran Islam yang menyejukkan dan membuat pengikutnya nyaman dan aman serta selamat.
2. Orang Munafik di Dunia
فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُۥ
“maka setelah api itu menerangi sekelilingnya”
Orang munafik yang menyalakan api, menggambarkan orang munafik yang berpura-pura masuk Islam untuk mendapatkan keamanan diri dan hartanya. Dia bebas hidup di tengah-tengah umat Islam. Dia dianggap secara lahir sebagai bagian dari umat Islam pada umumnya. Menikah secara Islam, saling mewarisi, mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana umat Islam pada umumnya. Bahkan jika meninggal, disholatkan dan dikuburkan diperkuburan umat Islam.
3. Orang Munafik di Akhirat
ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِي ظُلُمَٰتٖ لَّا يُبۡصِرُونَ
“Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”
Ketika orang-orang munafik sedang bersenang-senang menikmati fasilitas di dunia di tengah-tengah masyarakat muslim, tiba-tiba Allah mencabut semua fasilitas yang mereka nikmati tersebut. Allah mencabut nyawa mereka, dan memindahkan mereka dari alam dunia ke alam kubur dan alam akhirat. Disitulah mereka berada di dalam kegelapan demi kegelapan, tidak bisa melihat sekitarnya.
Kesimpulannya :
– Orang munafik yang hidup bersama orang-orang beriman dan merasa nyaman karena terjaga harta dan jiwa mereka adalah seperti orang yang menyalakan api dan jiwa mereka adalah seperti orang yang sedang menyalakan api sehingga dia mendapatkan cahaya.
– Tetapi ketika mereka sudah mati dan berpindah ke alam kubur dan akhirat, mereka tidak mendapatkan cahaya di dalamnya. Karena semua amalan mereka di dunia yang kelihatan baik di mata manusia, tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala Ini seperti orang yang api di tangnnya tiba-tiba padam dan Allah biarkan dia dalam kegelapan tidak bisa melihat.
Bergaul dengan Orang-Orang Beriman
Sebagian ulama menafsirkan bahwa orang yang menyalakan api adalah permitsalan orang munafik yang bergaul dengan orang-orang beriman dan dekat dengan mereka. Dia mendapatkan manfaat banyak dari pergaulan tersebut.
Tetapi ketika dia meninggalkan orang-orang beriman dan berkumpul dengan orang-orang kafir, serta mengolok-olok orang beriman, hatinya tidak tenang dan dia dalam kebingungan dalam hidupnya.
Itulah makna Allah matikan cahayanya dan membiarkannya dalam kegelapan tidak bisa melihat apapun.
5. Tuli, Bisu dan Buta
صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡيٞ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ
“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar),” (Qs. Al-Baqarah (2) : 18)
Orang munafik digambarkan Allah dalam ayat ini sebagai orang yang tuli, bisu dan buta. Maksudnya mereka tuli tidak mau mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca, nasehat yang disampaikan. Mereka bisu maksudnya tidak mau berbicara dengan hal-hal yang baik, tidak mau membaca Al-Qur’an, memuji Allah dan mensucikan-Nya.
Maksud mereka buta adalah tidak mau melihat keagungan Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya yang sangat indah seperti gunung-gunung yang menjulang tinggi, sungai, lembah dan lain-lain. Mereka tidak mau melihat ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an dan membacanya.
Oleh karenanya, mereka tidak akan bisa kembali untuk mendapatkan Hidayah (petunjuk) Allah.
Ini seperti firman Allah Subhanahu Wa ta’ala :
وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs. Al ‘Araf (7) : 179)
Dan juga dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Qs. Al-Hajj ( 22): 46)
6. Hikmah Tidak Dibunuhnya Orang Munafik
Para ulama berbeda pendapat tentang hikmah tidak dibunuhnya orang munafik pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Pendapat pertama: Tidak ada yang tahu nama-nama orang munafik kecuali Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Dalam hukum fikih disebutkan bahwa seorang Qadhi (hakim) tidak boleh memutuskan hukuman mati kepada orang yang terpidana berdasarkan ilmu yang dimiliki oleh Qadhi (hakim) itu sendiri, bukan karena laporan orang lain. Oleh karenanya, Nabi Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam tidak boleh membunuh orang munafik karena tidak ada yang tahu tentang orang munafik tersebut kecuali beliau sendiri.
Pendapat kedua: Orang munafik (zindiq) tidak dibunuh, tetapi diminta untuk bertaubat.
Pendapat ketiga: Untuk maslahat “Ta’liful Qulub” agar umat Islam tidak lari dari Islam dan supaya tidak ada yag mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam membunuh temannya sendiri.
Di dalam hadist disebutkan bahwa beliau bersabda kepada Umar Radhiyallahu Anhu :
معاذ الله أن يتحدث الناس أني أقتل أصحابي
“Saya berlindung kepada Allah supaya manusia tidak mengatakan bahwa saya membunuh sahabat-sahabatku sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pendapat keempat : Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjaga keimanan para sahabat, sehingga keberadaan orang-orang munafik di tengah mereka tidak akan mempengaruhi keimanan yang ditanamkan Rasulullah kepada mereka. Wallahu A’lam.