Oleh: Tommi Marsetyo
Fatwapedia.com – Diantara adab-adab adzan adalah berdoa setelahnya. Baik untuk muadzin itu sendiri maupun orang yang mendengarkannya. Di negeri kita, lafazh do’a setelah adzan yang banyak dikenal dan diketahui adalah:
Doa adzan dalam tulisan latin:
“Allaahumma Rabba haadzihid da’watit taammah, was shalaatil qaa’imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah was syarafa wad darajatal ‘aaliyatar rafii’ah, wab’atshu maqaamam mahmuudanilladzii wa’adtah, innaka laa tukhliful mii’aad.”
Terdapat tambahan lafazh “was syarafa wad darajatal ‘aaliyatar rafii’ah” dan “innaka laa tukhliful mii’aad.” Bagaimana status kedua tambahan ini?
Terlebih dahulu, lafazh do’a yang warid dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam Sahihnya no. 614 adalah :
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ
“Ya Allah, Rabb pemilik seruan yang sempurna dan shalat yang akan didirikan ini, karuniakanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan, serta bangkitkanlah beliau pada kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah Engkau janjikan.”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan sanad :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ
‘Ali bin ‘Ayyasy menceritakan kepada kami, ia berkata, Syu’aib bin Abi Hamzah menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir bin ‘Abdillah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,… (al-hadits).
Jalur sanad Jabir ini gharib (yakni hanya berasal dari seorang perawi saja) sebagaimana ditegaskan Imam At-Tirmidzi dalam catatannya (sekaligus ia menilainya hasan):
حَدِيثُ جَابِرٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ، مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ لَا نَعْلَمُ أَحَدًا رَوَاهُ غَيْرَ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، وَأَبُو حَمْزَةَ اسْمُهُ: دِينَارٌ
“Hadits Jabir ini hadits hasan gharib, berasal dari hadits Muhammad bin Al-Munkadir dan kami tidak mengetahui ada yang meriwayatkannya selain daripada Syu’aib bin Abi Hamzah, dari Muhammad bin Al-Munkadir. Nama Abu Hamzah ini adalah Dinar.” [Jami’ At-Tirmidzi no. 211]
Gambaran singkat dari jalur sanad yang gharib ini adalah : Jabir – Ibnul Munkadir – Syu’aib bin Abi Hamzah – ‘Ali bin ‘Ayyasy, barulah dari ‘Ali bin ‘Ayyasy hadits ini diriwayatkan oleh banyak perawi seperti Imam Al-Bukhari (yang memasukkannya ke dalam kitab Sahih), Imam Ahmad (Musnad no. 144403; Sunan Abu Dawud no. 529), ‘Amr bin Manshur (Sunan An-Nasa’i no. 680), Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli; Muhammad bin Abul Husain dan Al-‘Abbas bin Al-Walid Ad-Dimasyqi (Sunan Ibnu Majah no. 722), Musa bin Sahl Ar-Ramli (Shahih Ibnu Khuzaimah no. 413), Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi (Mu’jam Al-Ausath no. 4654), Ibrahim bin Al-Haitsam (Tarikh Dimasyq 43/115), serta beberapa perawi lainnya yang kalau disebutkan semuanya akan menjadi sangat panjang. Singkatnya yang kami sebutkan disini adalah para perawi tsiqah yang beberapa diantaranya tidak diragukan lagi status keimaman mereka di tengah kaum muslimin, dan mereka semuanya meriwayatkan dari ‘Ali bin ‘Ayyasy tanpa tambahan lafazh apapun di dalam matan haditsnya. Lalu darimanakah tambahan kedua lafazh tersebut?
1. Tambahan lafazh “innaka laa tukhliful mii’aad”.
Tambahan lafazh ini hanya ada dalam hadits Muhammad bin ‘Auf yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 1/409 :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو نَصْرٍ أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ أَحْمَدَ الْفَامِيُّ، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، ثنا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، ثنا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ الَّذِي وَعَدْتَهُ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي
Abu ‘Abdillah Al-Hafizh dan Abu Nashr Ahmad bin ‘Ali bin Ahmad Al-Fami mengabari kami, keduanya berkata, Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub menceritakan kepada kami, Muhammad bin ‘Auf menceritakan kepada kami, ‘Ali bin ‘Ayyasy menceritakan kepada kami, Syu’aib bin Abi Hamzah menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mengucapkan do’a ini ketika mendengar seruan adzan : Allaahumma innii as’aluka bi haqqi haadzihid da’watit taammah…(dan seterusnya, hingga)… innaka laa tukhliful mii’aad…”
Abu Ja’far Muhammad bin ‘Auf Ath-Tha’i Al-Himshi bersendirian meriwayatkan lafazh ini dari ‘Ali bin ‘Ayyasy, jadi ia menyelisihi banyak perawi tsiqah lainnya, namun Muhammad bin ‘Auf pun juga bukan perawi yang lemah.
Dalam Tahdzibul Kamal no. 5527 disebutkan : ia dianggap tsiqah oleh An-Nasa’i, sementara Abu Hatim menganggapnya shaduq, Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqat mengatakan bahwa ia seorang shahibul hadits dan hafizh, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : tak ada orang yang seperti Muhammad bin ‘Auf di Syam ini semenjak 40 tahun lalu, Ibnu ‘Adi mengatakan bahwa ia mengetahui hadits penduduk Syam baik yang sahih maupun yang dha’if.
Oleh karenanya sebagian ulama seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menerima tambahan lafazh ini sebagaimana keterangannya dalam Zadul Ma’ad 2/357, kemudian Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb. Sementara Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Al-Irwa’ 1/261 menganggap tambahan ini syadz karena mukhalafah terhadap riwayat-riwayat yang lebih banyak.
2. Tambahan lafazh “was syarafa wad darajatal ‘aaliyatar rafii’ah”.
Tambahan ini ternukil dalam riwayat Imam Ibnus Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 96, namun hanya dengan lafazh wad darajatar rafii’ah :
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَالدَّرَجَةَ الرَّفِيعَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Abu ‘Abdirrahman (yakni Imam An-Nasa’i, -pent) menceritakan kepada kami, ‘Amr bin Manshur mengabari kami, ‘Ali bin ‘Ayyasy menceritakan kepada kami, Syu’aib menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah wad darajatar rafii’ah…”
Imam As-Sakhawi dalam Maqashid Al-Hasanah no. 484 mengatakan :
حَدِيثٌ: ” الدَّرَجَةُ الرَّفِيعَةُ “، المدرج فيما يقال بعد الأذان، لم أره في شيء من الروايات
“Hadits : Ad-Darajatar rafii’ah, adalah mudraj (sisipan, yakni sanad atau matannya tersisipi sesuatu yang bukan bagian dari sanad/matan aslinya, -pent) dalam do’a yang diucapkan setelah adzan, aku belum pernah melihat tambahan tersebut di riwayat-riwayat manapun.”
Jadi, berdasarkan penjelasan Imam As-Sakhawi diatas, tambahan lafazh yang kedua ini tidak ada asal-usulnya dalam riwayat-riwayat hadits.
Demikian penjelasan tentang bacaan tambahan dalam lafadz doa setelah adzan yang dapat kami himpun. Wallahu a’lamu bish-shawwab.