Fatwapedia.com – Ini adalah tulisan dua tahun lalu, sebagai jawaban atas pertanyaan beberapa Ikhwan yang menanyakan adanya tudingan kelirunya kalimat wa’ fu ‘annii pada bacaan duduk di antara dua sujud. Mereka anggap tidak ada, bahkan sampai membuat meme dan menyebarkan meme tersebut.
Sesungguhnya tambahan kalimat Wa’ Fu ‘annii ADA, dalam kitab As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi:
قل اللهم اغفر لي وارحمني واهدني وارزقني وعافني واعف عني
Katakanlah: Allahummaghfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3979)
Doa ini merupakan kalimat yang diajarkan Nabi ﷺ kepada sahabatnya yang merasa tidak bagus bacaan Al Qurannya, Beliau meminta kepada Nabi ﷺ diajarkan kalimat yang bisa mencukupi kekurangannya itu, maka Nabi ﷺ mengajarkannya dan di antaranya adalah doa ini.
Kemudian, doa ini dipakai para ulama dan dimaknai oleh mereka sebagai bagian dari doa di antara dua sujud.
Imam Syihabuddin An Nafrawiy –seorang ulama madzhab Malikiy- berkata:
وَفِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُولُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافَنِي وَاعْفُ عَنِّي» .وَقَالَ ابْنُ نَاجِي: قِيلَ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ بِهَذَا الدُّعَاء
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ membaca di saat duduk di antara dua sujud: Allahummaghfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.
Ibnu Najiy berkata: “Dikatakan bahwa sunnah berdoa di antara dua sujud dengan doa ini.” (Al Fawakih Ad Dawaniy, 1/184)
Sementara dalam kitab Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhabil Malikiy tertulis:
يكره الدعاء في الركوع لأنه شُرِعَ للتسبيح، أما قبل الركوع وبعد الرفع منه فيجوز، وكذا بين السجدتين مطلوب أن يقول بينهما: “اللَّهم اغفر لي وارحمني واسترني واجبرني وارزقني وعافني واعف عني
Dimakruhkan berdoa saat ruku’, sebab yang disyariatkan adalah bertasbih. Ada pun sebelum ruku’ dan setelah bangun ruku’ boleh berdoa, demikian pula saat duduk di antara dua sujud diperintahkan membaca: Allahummaghfirliy warhamniy wasturniy wajburniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy. (Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhabil Malikiy, 1/170)
Dalam madzhab Syafi’iy pun, bacaan ini sunnah saat duduk di antara dua sujud.
Disebutkan:
وَيُسَنُّ فِي الْجُلُوسِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ الاِفْتِرَاشُ، وَوَضْعُ يَدَيْهِ قَريباً مِنْ رُكْبَتَيْهِ، وَنَشْرُ أَصَابِعِهِمَا وَضَمُّهَا قَائِلاً: رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِني وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّي
Disunnahkan saat duduk di antara dua sujud dengan cara iftirasy, dan melatakkan tangan dekat lutut, membuka jari jemari dan menggenggam lutut, lalu membaca: Rabbighfirliy warhamniy wajburniy warfa’niy warzuqniy wahdiniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy. (Imam Abu Bakar Bafadhal Al Hadhramiy, Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Hal. 71)
Sementara Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy mengatakan bahwa kalimat: wa’fu ‘anniy_ merupakan tambahan dari Imam Al Ghazaliy, karena kesesuaiannya dengan kalimat sebelumnya. (Al Minhaj Al Qawim, 1/105). Imam Al Ghazaliy menyebut doa ini dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin (1/161)
Dalam Ad Durar as Saniyah, kumpulan fatwa para ulama Najd (Arab Saudi), tertulis:
سئل الشيخ عبد الله بن الشيخ محمد، رحمهم الله: ما يقول بين السجدتين؟فأجاب: إذا جلس بين السجدتين، قال: رب اغفر لي، وارحمني، واهدني، وارزقني، وعافني، واعف عني.
Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya tentang bacaan duduk di antara dua sujud, Beliau menjawab: “Jika duduk di antara dua sujud, membaca: Rabbighfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.” (Ad Durar as Saniyah, jilid. 4, hal. 299)
Jk riwayat ini tdk ada, atau dhaif, atau tambahan dari manusia. Apakah ini sebuah kesalahan?
Dari Rifa’ah bin Raafi’, dia berkata;
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ فَقَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا
“Aku shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku bersin, dan aku berkata:
Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha (segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak lagi baik dan keberkahan di dalamnya, dan keberkahan atasnya, sebagaimana yang disukai Tuhan kami dan diridhaiNya). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat, dia bertanya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi kedua kalinya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi ketiga kalinya: “siapa yang yang mengatakan tadi dalam shalat?” maka, berkatalah Rifa’ah bin Rafi’ bin ‘Afra: “Saya wahai Rasulullah!” Beliau bersabda: “Bagaimana engkau mengucapkannya?” dia menjawab: “Aku mengucapkan: ” Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sebanyak tiga puluh Malaikat saling merebutkan siapa di antara mereka yang membawanya naik (kelangit).” (HR. At Tirmidzi No. 402, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 992)
Kita lihat dalam kisah ini, Rifa’ah bin Raafi’ Radhiallahu ‘Anhu, mengucapkan dzikirnya sendiri, yang tidak pernah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ menyetujuinya, bahkan memujinya. Ini istilahnya sunah taqririyah. Persetujuannya ini menunjukkan, tidak mengapa perbuatan ini, bahkan walau terjadinya dalam shalat.
Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير ماثور إذا كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه
Hadits ini merupakan dalil kebolehan menciptakan dzikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat jika tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur, dan menunjukkan kebolehan meninggikan suara dalam dzikir selama tidak mengganggu orang-orang yang bersamanya. (Fathul Bari, 2/287)
Imam Ibnu ‘Abdil Bar Rahimahullah menjelaskan:
في مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم لفعل هذا الرجل وتعريفه الناس بفضل كلامه وفضل ما صنع من رفع صوته بذلك الذكر أوضح الدلائل على جواز ذلك
Pujian Rasulullah ﷺ terhadap apa yang dilakukan laki-laki tersebut dan manusia mengetahui keutamaan perkataannya dan keutamaan apa yang dilakukannya berupa meninggikan suara dzikirnya, telah menjadi petunjuk bahwa hal itu memang BOLEH. (At Tamhid, 16/198)
Jadi, sebaiknya dikatakan oleh nara sumber tsb bahwa yang lebih utama adalah bacaan ini, ada pun bacaan yang itu boleh. Jadi, antara utama dan boleh, bukan salah dan benar. Hal ini sangat rentan disalahpahami oleh orang awam. Demikian. Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan