Fatwapedia.com – Tarjih dalam tubuh Salafiyyin Kontemporer serta meninggalkan bermadzhab sebenarnya ada sangkut pautnya dengan kebangkitan salafi di tangan Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi.
Beliau ini berguru kepada Syah Waliyullah Ad-Dihlawi -Ulama India- yang dikenal Anti Madzhab sehingga sedikit banyak mempengaruhi pemikiran dari Sang Imam. Ditambah dengan jumudnya dan parahnya taashub di zaman beliau yang mendukung beliau untuk lebih cenderung pada Tarjih.
Ini semua bisa dilihat pada corak fikih beliau di tulisan-tulisan beliau. Namun, tarjih yang dilakukan beliau, secara umum tidak keluar dari tubuh madzhab Hanbali yang menjadi madzhab beliau. Kemudian, kencenderungan ini diikuti oleh ulama-ulama setelahnya.
Seperti Al-Anqiri dalam Hasyiah beliau pada Ar-Raudh Al-Murbi’. Kemudian, Hasyiah beliau ini disempurnakan oleh Al-Qasim menjadi Hasyiah Ibnu Qasim yang terkenal dengan “Hasyiah Raudhul Murbi'”. Kedua Hasyiah ini kental dengan Tarjihat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim serta menjadi kitab pegangan bagi banyak Masyayikh Saudi termasuk Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin.
Tarjihat Ibnu Taimiyah semakin terkenal di tubuh Salafiyyin lewat kedua Syaikh tersebut dan dikumpulkan nya Majmu Fatawa oleh Al-Qasim sang penulis Hasyiah. Kuatnya lstidlal Ibnu Taimiyah dalam mendukung pendapat fikih pribadinya dan melemahkan pendapat selainnya telah memberikan bekas kepada banyak Ulama kontemporer sehingga banyak yang mengikuti tarjihatnya dalam Majmu Fatawa.
Maka tida salah jika Syaikh Shalih Al-Ushaimi mengatakan bahwa tarjih atau pendapat rajih yang dianut oleh Salafiyyin Kontemporer pada hakikatnya adalah pendapat pribadi dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Kemudian, madzhab semakin kehilangan tempat ditubuh Salafiyyin kontemporer saat Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani memilih untuk meninggalkan Madzhab Hanafi dan memilih mengikuti corak Zhahiriyah pada fikih beliau. Beliau berfokus pada Zhahir Nash yang beliau anggap shahih dan meninggalkan banyak amalan jika beliau tidak menemukan dalil eksplisit yang mendukung amalan tersebut.
Corak fikih tarjih ditambah dengan ketergantungan yang kuat pada lafadz eksplisit dari Nash telah menjadi gaya umum fikih yang dianut oleh Salafiyyin kontemporer. Mereka pun semakin tidak berminat pada Mazhab karena kitab level pemula hingga menengah ternyata sangat sedikit yang menyajikan dalil, Istidlal, dan tarjih. Bahkan disebagian mazhab, tidak ada yang menyajikan dalil kecuali sudah level kitab yang advanced.
Salafiyyin Kontemporer semakin cenderung kepada tarjih karena tidaklah mereka mengetahui dalil suatu mazhab kecuali sampai pada level perbandingan antar madzhab seperti Al-Mughni, Al-Majmu, At-Tamhid, Al-Muhalla, dll. Namun, ini terjadi sebab kurangnya literasi pada mazhab. Mereka menganggap Mazhab kering dari dalil.
Padahal jika mereka mau, mereka akan dapati dalil dan istidlal dalam Mazhab jika mau mencari lebih tekun. Contohnya dalam mazhab Hanbali ada Al-Mumti Syarh Al-Muqni karya At-Tanukhi, Al-Mubdi Syarah Al-Muqni karya Ibnu Muflih, dan Syarhul Umdah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Ya benar. Ibnu Taimiyah memiliki sebuah kitab yang fokus membahas Istidlal Mazhab Hanbali tanpa tarjih sedikit pun di kitab beliau yang berjudul Syarhul Umdah. Kitab ini menjadi rujukan primer para Hanabilah dalam memahami kenapa dalil dan istidlal pendapat muktamad Mazhab.
Ulama kontemporer juga tak kalah ketinggalan. Syaikh Abdul Karim An-Namlah dalam tiga kitab beliau: Taisir Masailil Fiqh, Fathul Jalil, dan Irsyadus Shahib menunjukan juhud yang luar biasa dalam menunjukan dalil dan istidlal Ulama Mazhab Hanbali dalam membangun pendapat muktamadnya. Kita akan terkagum-kagum dengan pondasi dalil yang digunakan oleh Mazhab Hanbali pada setiap pendapatnya.
Jadi kesimpulannya, corak fikih yang tersebar secara umum pada Salafiyyin Kontemporer tidak bisa dilepaskan dari sisi sejarah kebangkitan nya dan perkembangan literasi fikih. Tidak dipungkiri literasi fikih Salafiyyin Kontemporer masih terbatas pada Tarjihat Ibnu Taimiyah yang menjadi pondasi sang Mujaddid dahulu.
Oleh karena itu, tidak elok rasanya ketika ada yang mulai meluas cakrawala fikihnya dengan mempelajari Mazhab dipaksa untuk mempersempit “fikihnya” pada pendapat “rajih” yang hakikatnya berputar pada satu person.
Kita tidak meragukan keimaman dari person tersebut dari berbagai keilmuan tetapi membatasi pendapat yang kuat dari yang dikuatkan oleh beliau, seakan-akan menafikan juhud ulama lainnya dan membatasi fikih pada pendapatnya.
Memang Ibnu Taimiyah sangat kuat dalam membawakan argumentasi beliau dalam mendukung pendapat yang beliau anggap benar dan melemahkan pendapat yang beliau anggap keliru. Namun, bukan berarti pendapat yang beliau lemahkan pasti lemah. Karena jika anda mulai menyelami lautan Mazhab, anda akan mulai melihat beberapa kelemahan dalam pendapat yang beliau kuatkan.
Mari mulai buka cakrawala fikih kita dengan mengikuti manhaj belajar fikih yang telah sukses menelurkan banyak ulama raksasa dan menjadi rujukan generasi selanjutnya. Mari belajar fikih mengikuti Mazhab yang merupakan Sunnah dari pada ulama terdahulu.
Penulis: Ust. Jihan Muhammad Salik