Fatwapedia.com – Mandi junub bagi wanita tidak berbeda seperti kewajiban mandi bagi laki-laki. Jika rambut mereka dikepang maka tidak harus mengurainya, yang terpenting pori-pori dan pangkal rambut kepalanya dapat disiram air. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Maimunah ketika ia bertanya kepada rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي، فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: «إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَيْهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ، ثُمَّ تُفِيضِي عَلَيْكِ مِنَ الْمَاءِ، فَتَطْهُرِينَ
“Wahai Rasulullah aku termasuk wanita yang mengepangkan rambut, apakah aku harusmenguraikannya ketika mandi junub? Rasulullah menjawab: Tidak, cukup dengan membilas-bilasnya dengan tangan kemudian mencucinya dengan air, maka engkau telahsuci.”
Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha :
كُنَّا نَغْتَسِلُ وَعَلَيْنَا الضِّمَادُ، وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحِلَّاتٌ وَمُحْرِمَاتٌ
“Dahulu kami mandi dalam keadaan mengenakan dhomad (sejenis pengikat rambut)sedangkan kami bersama rasulullah, baik dalam keadaan berihram atau tidak.” [Hadits Riwayat: Abu Daud (254) dan Al-Baihaqi (2/182). Hadits shahih]
Berkaitan dengan ini Aisyah menolak pendapat Abdullah Bin ‘Amr tentang harusnya menguraikan rambut bagi wanita ketika mandi junub. [Hadits Riwayat: Muslim (331), An-Nasa’i (1/203) dan Ibnu Majah (604)]
Sebab Mandi Junub Bertemunya dua jenis kelamin Laki-laki dan perempuan walaupun tidak mengeluarkan mani.
Kapan wanita wajib mandi junub? Jika seorang wanita telah dimasuki oleh ujung kelamin laki-laki ke dalam kelamin wanita secara sempurna, maka keduanya wajib mandi, baik keduanya telah mengeluarkan air mani (sperma) maupun tidak.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغَسْلُ
“Jika seseorang telah berada diantara keempat anggota tubuh (maksudnya adalah kedua tangan dan kaki) isterinya, lalu menggaulinya, maka wajib baginya mandi (meskipun belum keluar mani)”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (291) dan Muslim (348), tambahannya dari riwayat Muslim]
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata:
إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ؟ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ، أَنَا وَهَذِهِ، ثُمَّ نَغْتَسِلُ
“Bahwa seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang suami yang menggauli istrinya namun tidak sampai mengeluarkan mani: Apakah keduanya diwajibkan mandi? Pada saat itu, Aisyah sedang duduk (disamping Rasulullah). Rasulullah kemudian menjawab: Sesungguhnya aku sendiri dan isteriku (Aisyah) pernah melakukan hal itu, kemudian kami mandi.” [Hadits Riwayat: Muslim (350)]
Imam an-Nawawi berkata bahwa tidak ada lagi perbedaan dalam masalah ini. Pada masa shahabat dan setelahnya, ada perbedaan bagi sebagian mereka. Namun, kemudian tercapai ijma’ atas permasalahan tersebut.
Penulis berkata: Bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di masa Shahabat dalam masalah ini dikarenakan hadits dari Zaid bin Khalid:
Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid bahwa ia bertanya kepada Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhum:
أَرَأَيْتَ إِذَا جَامَعَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فَلَمْ يُمْنِ؟ قَالَ: عُثْمَانُ: «يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ وَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ» قَالَ عُثْمَانُ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَالزُّبَيْرَ بْنَ العَوَّامِ، وَطَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – فَأَمَرُوهُ بِذَلِكَ
“Menurut engkau, apa yang harus dilakukan jika seseorang menggauli isterinya tetapi belum sampai mengeluarkan mani? Utsman menjawab: Ia harus berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat, serta mencuci kemaluannya. Lalu Utsman berkata: Aku mendengar hal itu dari Rasulullah, kemudian aku tanyakan lagi kepada Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Ubay bin Ka’abradhiallahu ‘anhum. Seluruh mereka menyuruh dengan hal tersebut.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (292) dan Muslim (347)]
Daud Azh-zhahiri berpendapat bahwa tidak wajib mandi jika tidak keluar mani, berdasarkan hadits “Air itu disebabkan oleh air”[Hadits Riwayat: Muslim (343)] dan juga hadits dari Abu Said:
إِذَا أُعْجِلْتَ أَوْ قُحِطْتَ فَعَلَيْكَ الوُضُوءُ
“Apabila kamu tergesa-gesa atau belum keluar mani, maka wajib bagimu berwudhu’”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (180) dan Muslim (345)]
Namun, ada riwayat shahih yang akhirnya para Sahabat meninggalkan pendapat bahwa seseorang yang belum mengeluarkan mani ketika menggauli isterinya tidak wajib mandi. [Lihat atsar-nya di Jami’ Ahkam an-Nisa’ (1/89-90)]
Adapun pendapat Daud adz-Dzahiri, bertentangan dengan jumhur Shahabat, Fuqaha’ dari masa Tabiin dan setelahnya yang berpendapat bahwa hadits “air berasal dari air” ada di masa-masa awal Islam, kemudian di-naskh.
Imam Tirmidzi (1/185) berpendapat bahwa demikianlah riwayat dari para Shahabat, yang diantaranya adalah Ubay bin Ka’ab [Hadits dari Ubay shahih dengan jalannya, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Abu Amir al-Atsary dalam kitab Syifa al-Ay bi Tahqiq Musnad asy-Syafii (100)] dan Rafi bin Hudaij. Dan jumhur ulama mengamalkan pendapat ini, dan jika seseorang menggauli isterinya maka wajib bagi keduanya mandi walau tidak mengeluarkan mani.
Catatan tambahan: Para ulama sepakat bahwa jika kelamin laki-laki menyentuh kelamin wanita tanpa masuk kedalamnya, maka tidak diwajibkan mandi bagi keduanya. [Al-Mughni (1/204)] Riwayat dari Ibrahim an-Nakh’I bahwa ia ditanya tentang seseorang yang menggauli istrinya selain pada kelaminnya, lalu ia mengeluarkan mani. Ia pun menjawab bahwa laki-laki itu wajib mandi. Namun berbeda bagi wanita hanya diwajibkan mencuci apa yang mengenainya saja. [Hadits Riwayat: Abdurrazzaq (971). Lihat atsar seputar masalah tersebut dari salaf dalam Jami’ Ahkam an-Nisaa’ (1/95). Sanad shahih]
Jika seseorang menggauli isterinya, dan memasukkan kelaminnya selain ujungnya, lalu keluarlah mani ke dalam kelamin isterinya, sementara isterinya tidak mengeluarkan mani, maka tidak wajib bagi isterinya untuk mandi. Imam an-Nawawi berkata bahwa jika isteri memasukkan mani tersebut ke dalam kelaminnya atau ke dalam duburnya, lalu mani tersebut keluar, maka tidak wajib baginya untuk mandi. Ini pendapat yang benar yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama. [Al-Majmu’ (2/151) dan al-Muhalla (2/7)]
Jika seseorang menggauli istrinya lalu isteri tersebut mandi, setelah itu keluar mani suami dari kelaminnya, maka tidak wajib baginya mandi. Lantas, wajibkah baginya berwudhu’? Ya, wajib ia berwudhu’, sebagaimana pendapat jumhur ulama. [Al-Majmu’ (2/151)] Sebab, mani tersebut meskipun suci, keluar dari salah satu dari dua jalan. Ibnu Hazm berkata bahwa isteri itu hanya diwajibkan berwudhu’ karena hadas miliknya, bukan selainnya, dan air mani yang keluar dari kelamin isteri tersebut bukanlah keluar darinya, juga bukan hadas miliknya, maka tidak wajib baginya mandi atau berwudhu’.[Al-Muhalla (2/6)]
Penulis berkata: Bahwa kaidah diwajibkannya wudhu’ karena salah satu dari dua pintu keluar adalah tidak bisa diterima, dan tempat keluarnya mani dari wanita berbeda dari tempat keluarnya air seni, sehingga benar pendapat Ibn Hazm. Kecuali, dikhawatirkan mani laki-laki bercampur dengan mani wanita, maka lebih baik bagi isteri berwudhu’. Wallahu A’lam.
Jika seseorang menggauli isterinya yang masih remaja -yang belum haid- atau laki-lakinya masih remaja dan belum baligh, maka tetap wajib bagi keduanya mandi, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bahwa apakah Aisyah ketika digauli oleh Rasulullah tidak mandi? [Al-Mughni (1/206)]
Jika seorang suami mengajak isterinya jima’, maka tidak ada hal yang bisa menghalanginya untuk memenuhinya, meski tidak tersedia air untuk mandi. Syaikhul Islam berkata, “bahwa seorang isteri tidak bisa melarang suami dari menggaulinya. Setelah itu, jika tersedia air maka haruslah ia mandi, dan jika tidak ada maka bertayamum lalu melaksanakan shalat. [Fatawa Ibn Taimiyah (21/454)]
Mandi Karena Haid dan Nifas
Haid dan Nifas termasuk sebab diwajibkannya mandi. Kewajiban mandi karena haid dan nifas baru bisa dilakukan setelah keduanya berhenti.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah berkata kepada Fatimah binti jahsy:
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Jika haid telah datang kepadamu, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah usai haidmu, maka mandilah dan laksanakan shalat”.[1]
Para ulama sepakat bahwa hukum nifas dan haid adalah sama, dan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan kata nifas untuk mengungkapkan haid, begitu pula sebaliknya. Adapun perincian tentang hukum haid dan nifas akan dijelaskan pada bab tersendiri.
Mandi setelah Haid dan Nifas
Mandi dari haid dan nifas tidak berbeda seperti mandi karena junub. Namun, ada beberapa hal yang harus dilakukan:
Memakai sabun dan pembersih lainnya selaian air. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Asma’ bertanya kepada Rasulullah tentang mandi wajib seorang wanita haid. Beliau bersabda:
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ، فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى يَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ” قَالَتْ أَسْمَاءُ: وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ قَالَ: ” سُبْحَانَ اللهِ، تَطَهَّرِي بِهَا ” فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ: تَتَبَّعِي أَثَرَ الدَّمِ
“Hendaklah seorang diantara kalian mengambil air dan perasan daun bidara lalubersucilah dengannya secara sempurna. Dan basuhlah kepalanya dengan menggosoknya dengan kuat lalu membasuhnya dengan air sampai ke pangkal rambut. Kemudian mengambil kapas yang diberi minyak wangi dan bersihkanlah dengannya. Asma kemudian ’ bertanya: bagaimana cara bersucinya ya Rasulullah. Rasulullah menjawab: Subhanallah, bersucilah kalian dengannya. ‘Aisyah berkata: dengan kapas itu kalian membersihkan bercak-bercak darah.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (314) dan Muslim (332), dan lafadznya dari Muslim]
Menguraikan rambut yang dikepang agar air dapat menembus akar-akarnya. Ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya; Dan basuhlah kepalanya kemudian menggosok-gosok kepalanya dan membasuhnya dengan air sampai ke akar-akar rambutnya. Hadits ini menjadi alasan tidak cukupnya mandi karena haid atau nifas dengan hanya meratakan air pada badan seperti mandi junub. Terlebih dalam hadits berikut sahabat Maimunah bertanya juga pada Rasulullah tentang mandi junub dan Rasulullah pun menjawab; Dan basuhlah kepalanya kemudian menggosok-gosok kepalanya dan mencucinya dengan air sampai ke akar-akar rambutnya. Dalam hadits ini, Rasulullah tidak menyebutkan dengan redaksi “menggosok dengan keras” disini terlihat perbedaan antara mandi junub biasa dengan mandi karena haid.
Para ulama berbeda pendapat tentang penguraian rambut yang dikepang saat mandi karena haid. Imam Syafi’I, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa penguraian disini hukumnya dianjurkan [Al-Mughni (1/227), al-Muhalla (2/38), Nail al-Authar (1/311) dan Tahdzib as-Sunan (1/293)], mereka berdalil dengan:
Hadits tersebut tidak menegaskan perintah menguraikan rambut yang dikepang.
Hadits ‘Aisyah ketika Rasulullah berhaji
فَأَدْرَكَنِي يَوْمُ عَرَفَةَ، وَأَنَا حَائِضٌ، لَمْ أَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِي، فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «دَعِي عُمْرَتَكِ، وَانْقُضِي رَأْسَكِ، وَامْتَشِطِي، وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ
“Tibalah hari Arafah sementara aku sedang haid, kemudian aku bertanya pada Rasulullah dan beliau pun menjawab: tinggalkan ibadah umrahmu, uraikanlah rambutmu (ketika mandi) dan bersiap-siaplah melaksanakan ibadah haji.”[Hadits Riwayat: Al-Bukhari (317) dan Muslim (1211)]
Dalam pandangan mereka, mandi dalam hadits ini adalah mandi untuk ihram bukan dari haid, sehingga tidak dapat menjadi dalil wajib penguraian rambut.
Hadits ‘Aisyah ketika Rasulullah berkata kepadanya dan ia sedang haid
انْقُضِي شَعْرَكِ، وَاغْتَسِلِي
“Uraikanlah kepangan rambutmu dan mandilah.” [Hadits Riwayat: Ibnu Majah (641). Lihat al-Irwa (1/167). Sanadnya shahih]
Dalam Pandangan mereka, hadits ini tak lain adalah pelengkap dari hadits sebelumnya dan sebenarnya hadits yang sama. Mereka menilai kata واغتسلى adalah cacat dan memahaminya sebagai mandi untuk ihram.
Penolakan ‘Aisyah terhadap pendapat sahabat Abdullah Bin ‘Amr tentang harusnya menguraikan rambut bagi wanita ketika bermandi besar.
Sedangkan Imam Ahmad, Hasan, Thawus berpendapat bahwa mengurai rambut yang dikepang saat mandi selesai haid hukumnya wajib berdasarkan hadits yang telah lalu, dan ini pendapat yang rajih seperti yang telah ditahqiq oleh Ibnu Qayyim. [Tahdzib as-Sunan (1/293)] Mereka membantah pendapat mayoritas ulama dengan dalil-dalil berikut:
Pendapat jumhur ulama tentang mandi yang tertera dalam hadits dari Aisyahketika haji dikarenakan ihram memang benar. Namun, sebenarnya mandi karena haid lebih ditekankan. Karena Rasul telah memerintahkan saat mandi tersebut apa yang tidak ditekankan pada selainnya seperti penekanan bersuci di dalamnya. Karenanya diperintahkan penguraian rambut supaya membantu menghilangkan hadas.
Hadits dari Aisyah yang kedua yaitu: “uraikanlah kepangan rambutmu dan mandilah”. Bukanlah hadits ketika Rasulullah haji. Dan ini banyak diriwayatkan oleh para perawinya.
Penolakan Aisyah terhadap Abdullah bin Amr adalah karena ia memerintahkan para wanita untuk menguraikan rambutnya ketika mandi junub. Aisyah berkata:
يَا عَجَبًا لِابْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ. أَفَلَا يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ، «لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ.
“Aku heran dengan Abdullah bin ‘Amr, ia memerintahkan para wanita untuk menguraikan rambutnya. Tidakah lebih baik jika memerintahkan mereka untuk mencukurnya?! Kami dulu bersama Rasulullah mandi dalam satu bejana.” [Hadits Riwayat: Muslim (331), An-Nasa’i (1/203) dan Ibnu Majah (604)]
Hadits ‘Aisyah di atas yang menyebutkan bahwa beliau mandi bersama Rasulullah adalah mandi yang disebabkan junub bukan haid. Karenanya, wajib bagi wanita menguraikan rambutnya saat mandi yang disebabkan haid dan nifas. Ini yang lebih selamat di amalkan. Wallahu A’lam.
Membersihkan bercak darah dengan sepotong kapas yang dibubuhi minyak wangisetelah mandi junub. Disunahkan pula membersihkan anggota badan yang terkena bercak darah dan menggunakan wewangian supaya tidak meninggalkan bau yang tidak sedap. Hal ini telah disebutkan secara shahih dalam hadits ‘Aisyah yang telah lalu.
Boleh bagi wanita yang dalam masa berkabung atas kematian suaminya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Atiyyah.
وَلاَ نَتَطَيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا، إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ، وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ
“Kami tidak boleh memakai minyak wangi, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian yang biasa di pakai untuk bekerja. Namun kami diberi keringanan jika salah seorang diantara kami mandi setelah ia suci dari haidnya untuk menggunakan sepotong kapas yang dibubui minyak wangi”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (313)]
Menyeka Badan Setelah Mandi
Telah disebutkan sebelumnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Maimunah mengenai tata cara mandi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; aku memberinya kain (sejenis handuk, dalam riwayat lain disebutkan sejenis sapu tangan) namun tidak mengambilnya dan menyeka air di badannya dengan kedua tangannya.
Hadits ini dijadikan dalil menyeka badan setelah mandi adalah makruh. Namun, kurang tepat karena beberapa alasan [Fath al-Bari (1/432) . al-Majmu (1/459)]:
Sikap nabi dengan tidak mengambil kain yang disodorkan oleh Maimunah ada berbagai keumungkinan, tidak hanya berarti hukumnya makruh menyeka badan. Mungkin karena keadaan beliau yang sedang terburu-buru atau karena sebab lain.
Hadits diatas menunjukan bahwa Rasul memang terbiasa menyeka badan setelah mandi. Jika saja tidak demikian, maka tidak mungkin Maimunah menyodorkannya handuk.
Menyeka badan dengan tangan menunjukan bolehnya menyeka setelah mandi. Karena menyeka, baik dengan tangan atau dengan handuk, fungsinya sama-sama meratakan dan mengeringkan badan. Kesimpulannya, boleh menyeka badan setelah selesai mandi. Wallahu a’lam.