Fatwapedia.com – Apakah Terdapat Riwayat Bahwa Orang Mati Akan Diuji Di Kuburnya Selama tujuh Hari Sehingga Disunahkan Memberi Makan Orang Lain (Sedekah) Selama Hari-Hari Itu?
Pertanyaan:
Jawaban:
Alhamdulillah. Segala puji milik Allah. Tuhan alam semesta.
Pertama:
Atsar yang berbicara tentang adanya ujian bagi orang mati di kuburnya selama tujuh hari, setelah kami teliti ada tiga riwayat;
Pertama; Dari Thawus Al-Yamani rahimahullah (wafat tahun 101H) dia berkata,
“Sesungguhnya orang mati diuji di kuburnya selama tujuh hari. Mereka menyatakan sunah memberi makanan atas nama orang mati itu selama hari-hari tersebut.”
Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam kitab “Az-Zuhd”, sebagaimana dikutip oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitab ‘Al-Mathalib Al-Aliyah (5/330) juga oleh As-Suyuthi dalam kitab “Al-Hawi Lil Fatawa (2/216)
Akan tetapi saya tidak dapatkan dalam teks cetakannya. Dia meriwayatkan dari jalur Imam Ahmad Al-Hafiz Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Aulia, 4/11, yaitu dari jalur Hasyim bin Qasim, telah meriwayatkan kepada kami Al-Asyja’i, dari Sufyan, dia bekata, Thawus berkata, lalu dia menyebutkan hadits tersebut.
Hadits ini sanadnya shahih hingga Thawus, Al-Asyja’i adalah Ubaidullah bin Ubaidurrahman, dikenal tsiqah dan terpercaya, sebagaimana tercantum dalam Tahzib At-Tahzib (7/35), dan Sufyan Ats-Tsauri, seorang Imam Al-Hafiz yang terkenal.
Imam Suyuthy rahimahullah berkata, “Para perawi dalam sanad ini adalah shahih, Thawus termasuk tokoh tabiin, Abu Nu’aim berkata dalam kitab Al-Hilyah, ‘Dia termasuk lapisan pertama dari penduduk Yaman, Abu Nu’aim meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, ‘Aku menemui limapuluh orang shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Sedang Sufyan adalah Ats-Tsaury, dia bertemu dengan Thawus, karena Thawus wafat pada seratus sebelasan menurut salah satu pendapat, sedang Sufyan lahir pada tahun 97, akan tetapi riwayat beliau darinya kebanyakan melalui perantara. (Al-Hawi, 2/216)
Atsar kedua: Dari Ubaid bin Umair bin Qatadah Al-Laitsy rahimahullah (wafat tahun 68 H) dia berkata,
“Dua orang akan diuji, mukmin dan munafik, adapun orang mukmin akan diuji selama tujuh hari, sedangkan munafik akan diuji selama empat puluh hari.”
(Riwayat Ibnu Juraij dalam Al-Mushannaf dari Harits bin Abil Harits, dari Ubaid bin Umair, demikian As-Suyuthi berkata dalam kitab Al-Hawi, 2/2160
Al-Harits bin Abil Harits tidak kami kenal siapakah dia dalam sanad ini, jika yang dimaksud adalah Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dziyab Ad-Dausy, sebagaiman dikatakan oleh As-Suyuthy dalam Al-Hawy (2/216), maka dalam hal ini patut dikritisi, karena Abu Hatim berkata tentang dia, ‘Dia tidak kuat’ tapi Ibnu Hibban menganggapnya tsiqah, sedangkan Abu Zur’ah berkata, ‘Tidak ada apa-apa padanya.’
Adapun Ubaid bin Umair kebanyakan para ulama hadits menganggap bahwa beliau adalah tabi’in, bukan shahabat, karena tidak ada bukti bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lihat terjemahnya dalam Tahzib At-Tahzib (7/71). Al-Ajaly rahimahullah berkata, “Tokoh tabi’in.” (Kitab Ats-Tsiqat, 321)
Ibnu Abdul-Bar rahimahullah berkata bahwa dia (Ubaid) berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sedangakan Muslim bin Hajjaj menyebutkan bahwa dia terlahir pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dia terhitung sebagai tokoh kalangan tabi’in.” (Al-Isti’ab, 3/1018, lihat Al-Ishabah, 5/47)
Kesimpulannya bahwa atsar ini termasuk marasil (kumpulan hadits mursal sanadnya hanya sampai shahabat saja) Ubaid bin Umari, dan dalam sanadnya terdapat kritikan.
“Sesungguhnya orang yang wafat diuji di kuburnya selama tujuh hari. Mereka menganjurkan untuk memberi makan atas nama mayat.”
Ibnu Rajab dalam kitabnya Ahwal Al-Kubur (hal. 16) mengaitkan riwayat ini kepada Mujahid tanpa menyebut sumbernya dan tidak kami dapatkan sanadnya. Demikian pula As-Suyuthi rahimallah berkata demikian, “Tidak kami dapatkan sanadnya.” (Ad-Dibaj Syarhul Muslim, Shahih Muslim, 2/491)
Kedua:
Sebagian ulama berdalil dengan atsar ini bahwa masa ujian bagi orang-orang beriman di kubur mereka yaitu selama tujuh hari, sehingga Asy-Suyuthi mengarang kitab kecil dengan judul “Ats-Tsurayya Fi Izhar Maa Kaanat Khafiyya” menyimpulkan bahwa riwayat ini dapat digunakan sebagai dalil berdasarkan dua alasan;
Pertama: Bahwa riwayat ini terdiri dari beberapa riwayat mursal yang saling menguatkan jika dikumpulkan.
Kedua: Ini adalah perkara akhirat dan gaib yang tidak ada peluang bagi akal untuk menyimpulkan, maka riwayat ini dianggap sebagai marfu (tidak mungkin mereka mengatakannya kecuali dari Raulullah shallallahu alaihi wa sallam).
As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Salah satu kesimpulan dalam ilmu hadits dan Ushul adalah bahwa riwayat terkait dengan perkara yang tidak mungkin disimpulkan akal di dalamnya seperti perkara alam barzakh dan akhirat, maka dia dihukumi sebagai marfu (bersambung hingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) tidak dihukumi mauquf (hanya sampai para sahabat Nabi), meskipun tidak disebutkan secara jelas disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Al-Hawi, 2/217)
Kemudian beliau secara panjang lebar mengutip dari para ahli hadits tentang kesimpulan dari kaidah ini, kemudian dia berkata, “Ini jika riwayat tersebut bersumber dari para sahabat, maka dia dianggap sebagai riwayat marfu yang bersambung. Jika ternyata bersumber dari tabi’in, maka dia dianggap sebagai marfu mursal, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Shalah dalam masalah yang sama. Baihaqi menjelaskan lagi masalah ini secara khusus, dia bahkan meriwayatkan dalam kitab Syu’abul Iman dengan sanadnya dari Abu Qilabah, dia berkata, “Di surga terdapat istana bagi mereka yang berpuasa Rajab.”
Ini pendapat dari Abu Qilabah dan dia dari kalangan tabi’in, orang seperti dia tidak mengucapkan perkara seperti itu kecuali dia mendapatkan dari orang di tasnya yang bersumber dari wahyu.
Imam Malik berkata dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya bin Said dia berkata, “Orang yang shalat akan shalat selama belum habis waktunya. Jika telah habis waktunya, maka dia lebih besar dan lebih utama dari keluarganya dan hartanya.”
Ibnu Abdulbar berkata, “Riwayat ini memiliki hukum marfu, karena mustahil pembicaraan dalam masalah ini hanya sekedar berdasarkan ra’yu (akal), dan Yahya bin Said merupakan tabi’in yunior.
Atsar yang kita kaji ini berbicara tentang alam barzakh yang tidak ada peluang bagi akal dan ijtihad untuk menyimpulkannya, tidak ada jalan untuk sampai pada kesimpulan tersebut kecuali berdasarkan wahyu dan berita yang bersumber dari wahyu. Kesimpulan ini telah dikatakan oleh Ubaid bin Umair dan Thawus, keduanya merupakan tokoh tabi’in, maka hukum riwayat ini dapat dianggap sebagai marfu mursal, dan jika ternyata terbukti bahwa Ubaid adalah sahabat, maka hukumnya adalah hukum marfu muttashil (bersambung hingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam)… kesimpulannya, menghukumi riwayat seperti ini sebagai riwayat marfu merupakan perkara yang disepakati oleh Ahli Hadits.
Jika telah disimpulkan bahwa atsar Thawus hukumnya adalah riwayat marfu mursal dan sanadnya hingga tabi’in adalah shahih, maka dia menjadi dalil bagi ketiga imam; Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Adapun menurut Imam Syafii radhiallahu anhu, maka dia berpendapat bahwa berdalil dengan mursal jika dikuatkan oleh salah satu perkara yang telah disepakati dalam bidangnya, di antaranya adalah adanya orang lain atau sahahat yang menyetujuinya sedangkan penguat di sini ada, karena riwayat serupa diriwayatkan dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair, keduanya merupakan tabi’in, jika Ubaid bukan merupakan shahabat, maka kedua riwayat mursal tersebut menguatkan riwayat mursal pertama.
Jika ada yang berkata, “Tidak terdapat dalam seluruh hadits pernyatakan tegas tentang tujuh hari. Maka kami katakan, ‘Juga tidak ada pernyataan tegas yang meniadakannya, tidak bertentangan bahwa ujian tersebut sekali atau lebih, jika ternyata telah disebutkan jumlah tujuh dari jalur yang dipercaya, maka harus diterima. Menurut ahli hadits hal ini termasuk tambahan riwayat dari perawi tsiqah yang diterima, sedangkan menurut Ahli Ushul (Fikih) hal ini termasuk dalam bab mutlak dibawa kepada yang terikat.
Jika ada yang bertanya, apa hikmah jumlah bilangan itu secara khusus? Maka jawabnya bahwa tujuh dan tiga memiliki kedudukan dalam syariat, karena ujian tersebut merupakan ujian terberat bagi seorang mukmin, maka dijadikan pengulangannya sebanyak tujuh kali, sehingga dia merupakan pengulangan yang lebih kuat. (Dikutip dengan ringkas dari Al-Hawi, 2/220-222)
Demikian pula Imam As-Safarini rahimahullah berkata seraya menyatakan shahihnya sanad dalam atsar Thawus, “Sanadnya shahih, kecuali dia riwayat mursal, diriwayatkan pula dari jalur bersambung, hukumnya adalah marfu, karena dalam masalah ini tidak ada peluang berijtihad.” (Lawami Al-Anwar Al-Bahiyah, 2/9)
Ketiga: Kami katakan bahwa kesimpulan Imam As-Suyuthi adalah lemah karena tiga alasan;
Pertama: Bahwa hanya atsar Thawus Al-Yamani rahimahullah saja yang sanadnya selamat. Adapun yang diriwayatkan dari Ubaid bin Umair, dalam sanadnya terdapat kelemahan, sedangkan atsar Mujahid tidak adalah asalnya. Karena itu yang tersisa hanya atsar Thawus, maka dengan demikian kekuatan atsar ini kehilangan kekuatannya secara keseluruhan.
Kedua: Jika sebuah atsar bertentangan dengan hadits-hadits nabi shahih, maka yang lebih kuat adalah kita menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai penentu. Maka kita tidak dapat memberikan hukum marfu terhadap atsar tersebut dan sebagai dalil. Karena banyak hadits yang berbicara tentang fitnah kubur dan pertanyaan malaikat menunjukkan dalil yang jelas bahwa hal tersebut hanya terjadi sekali saja, tidak berlangsung selama tujuh hari, atau tidak berulang selama tujuh kali. Yang paling terkenal adalah hadits Barra bin Azib radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang ciri ujian terhadap orang mukmin di alam kubur, yaitu;
“Dua malaikat mendatanginya dan mendudukkannya lalu berkata kepadanya, ‘Siapa Tuhanmu?’ Dia berkata, ‘Tuhanku Allah’ Keduanya bertanya kepadanya, ‘Apa agamamu?” Dia berkata, ‘Agamaku Islam,’ Keduanya bertanya kepadanya, ‘Siapakah orang yang diutus kepada kalian?’ Dia berkata, ‘Dia adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,’ Keduanya berkata, ‘Darimana engkau tahu?’ Dia berkata, ‘Aku membaca Kitabullah, maka saya beriman kepadanya dan membenarkannya.” (HR. Abu Daud, no. 4753, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)
Demikian pula halnya, banyak hadits yang berbicara tentang fitnah kubur, tidak ada satupun di dalamnya yang menunjukkan bahwa hal tersebut berlangsung selama tujuh hari penuh terhadap orang beriman dan empatpuluh hari terhadap orang munafik. Karena itu memberlakukan kaidah ‘Hukum marfu terhadap atsar shahabat dan tabi’in’ tidak memiliki alasan kuat dalam kasus ini, bahkan yang lebih utama dan lebih benar adalah tidak memberikan komentar sebagaimana sunah tidak berkomentar dalam masalah ini, kita beriman cukup dengan yang terucap dan pernyataan jelas.
Alasan ketiga: Kita tidak mendapatkan pernyataan dalam kitab-kitab fiqih yang terpercaya adanya nash yang menganjurkan memberi makan atas nama mayat selama tujuh hari berturut-turut, sebagaimana tidak kita dapatkan seorang dari kalangan ulama yang berpendapat sebagaimana pendapat Imam Suyuthi, sehingga kesimpulannya itu mengundang keraguan yang sangat.
Keempat: Kemudian, jika kesimpulan Imam Suyuthi tersebut diambil, maka sesungguhnya dia tidak menyimpulkannya dalam bentuk tekad dan keyakinan sampai pada derajat pengingkaran terhadap orang yang menentangnya atau menghukummi dosa dan lalai terhadap orang yang tidak memberi makan atas nama mayat selama tujuh hari penuh. Akan tetapi dia menguatkan anjuran tersebut bagi orang yang memiliki kecukupan dan kemampuan melakukannya. Adapun jika memberi makan tersebut menyulitkan ahli mayat dan menyebabkan mereka menjadi celaan masyarakat apabila tidak melakukannya, maka tidak kami dapatkan ada seorang ulama pun yang menerima sikap ini. Wallahua’lam.