Oleh: Syaikh Muhammad Husain Abdullah
Fatwapedia.com – Allah ta’ala mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seluruh manusia, untuk mengatur semua dimensi hubungan manusia hingga hari kiamat, sehingga tidak boleh dan bahkan haram menyebut dalam Islam ada perkara yang tidak ada hukumnya, berdasarkan firman-Nya:
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3).
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl [16]: 89).
Seorang muslim diharamkan menyebut suatu perbuatan atau benda dengan halal atau haram tanpa bersandar pada dalil syara’, berdasarkan firman-Nya:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl [16]: 116).
Ketika kaum muslim belum menemukan hukum suatu perbuatan atau benda dalam dalil syariah, hal ini bukan berarti dalil syariah memiliki kekurangan atau kelemahan, tetapi disebabkan karena keterbatasan kemampuan kaum muslim sendiri dalam menggali hukum.
Berdasarkan kajian ulama ushul terhadap nash-nash yang dibawa wahyu, mereka mendapati dalil-dalil syariah yang bersifat global yakni sumber syariat Islam, ada yang bersifat keyakinan pasti yang disepakati sebagai sumber hukum, yaitu al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Dan ada yang diperselisihkan argumentasinya sebagai sumber hukum, seperti al-Qiyas, al-Ijma’, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, syariat sebelum umat Islam, al-‘Urf (tradisi) dan lain sebagainya.
Berdasarkan hukum syara’ kaum muslim diperintahkan mengambil wahyu Allah yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7).
Allah melarang dengan tegas kepada kita mengambil selain Islam:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 85).
Maka mengambil satu saja hukum selain Islam, statusnya haram berdasarkan ayat tersebut.
Sebuah hukum yang sesuai syariah tentu harus diambil dari sumber syariah, yang ditunjukkan dalil secara pasti bahwa sumber tersebut berasal dari Allah. Karena sumber tersebut jika statusnya tidak pasti alias asumsi, akan menimbulkan keraguan bisa saja diambil dari selain-Nya, padahal Allah melarang mengikuti asumsi dalam kaitan dasar agama, karena bagian dari akidah seorang muslim, Allah berfirman:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285).
Selama iman didefinisikan sebagai pembenaran yang pasti sesuai realitas berdasarkan dalil, maka harus mencapai keyakinan bahwa rujukan pengambilan hukum adalah wahyu dari Allah, sesuai firman-Nya:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 36).
إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yûnus [10]: 36).
Sumber hukum syariah adalah pondasi bagi berbagai hukum, pondasi ini harus kokoh dan pasti, agar menjadi landasan bangunan yang benar dan sekecil apapun tiada cela, jika tidak memenuhi kriteria tersebut tentu bangunan bakal berpeluang runtuh. Jiwa seorang muslim pun harus merasa tentram terhadap sumber yang menjadi rujukan berbagai hukum syariah yang bersifat praktis, agar menguatkan ketaatan kepada-Nya melalui sumber tersebut, demi mewujudkan tujuan hidupnya yakni meraih keridha’an Allah subhanahu wa ta’ala.
Berdasarkan pengantar ini, kita akan mengkaji topik seputar tradisi, baik ia dianggap sebagai sebuah sumber hukum, maupun tidak dianggap sebagai sebuah sumber hukum syariah Islam.
Pengertian Tradisi
Secara bahasa al-‘urf (tradisi) adalah lawan dari kata an-nakir (tidak diketahui), artinya tradisi adalah perkara yang diketahui alias bukan sesuatu yang tidak diketahui, bisa pula bermakna bagian puncak sesuatu, maka biasa disebutkan ‘urf al-jabal (puncak gunung), ‘urf al-faras (pundak kuda) dan ‘urf ad-dik (jengger ayam).
Secara istilah, tradisi adalah perkataan atau perbuatan yang dibiasakan dan disenangi manusia. Imam al-Ghazali rahimahullah (w. 505 H) mendefinisikan tradisi dengan sesuatu yang sudah menetap dalam jiwa yang diakui akal dan diterima tabiat manusia.
Maksud tradisi yang kita bahas adalah adat kebiasaan suatu komunitas, yakni perkataan atau perbuatan yang dibiasakan dan disenangi suatu masyarakat, serta berlaku dalam kehidupan mereka.
Realitas Tradisi
Tradisi realitasnya merupakan hasil dari pemikiran dan pemahaman yang dominan di tengah masyarakat, juga merupakan hasil dari sistem dan undang-undang yang diterapkan manusia dalam waktu yang sangat lama; sehingga pemikiran dan sistem tadi menjadi kebiasaan dan standar bagi manusia, serta menjadi rujukan berbagai hukum, perbuatan dan solusi konflik mereka, terlepas apakah mereka mengetahui ataupun tidak sumber pemikiran dan sistem tersebut.
Jadi bagi kaum muslimin misalnya, tradisi merupakan hasil pemikiran dan hukum Islam yang diadopsi dan diterapkan umat selama beberapa abad, seperti sebagian tradisi yang masih ada hari ini, misal mengunjungi kerabat pada hari raya, menyuguhkan makanan kepada ahli mayit, aktivitas walimatul ‘urs dan lain-lain, semua ini tradisi dan kebiasaan yang bersandar pada dalil syariah.
Hanya saja, ada tradisi yang berubah dan malah bertentangan dengan syariat Islam, hal ini disebabkan akibat hilangnya daulah Islam dan kehidupan masyarakat yang berhukum dengan selain Islam, seperti sekularisme, fanatisme kesukuan, fanatisme kebangsaan dan sistem buatan manusia lainnya.
Sikap Para Ulama Terhadap Tradisi
Para ulama yang mengambil tradisi sebagai dalil, menyatakan: “Sebenarnya tradisi itu ada yang benar dan ada yang salah, tradisi yang benar adalah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, sedangkan tradisi yang salah adalah yang bertentangan dengan syariat Islam.”
Sebagian diantara mereka menganggap tradisi yang benar sebagai sumber syariat Islam, yang bisa digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam mencari petunjuk suatu hukum bagi fakta yang dianggap tidak ada nashnya.
Sebagian lagi menggunakan tradisi sebagai pengkhusususan bagi dalil umum dan pembatasan bagi dalil mutlak, atau menjadikan tradisi sebagai penentu pada sebagian keadaan, untuk menerima pernyataan salah satu pihak yang bersengketa ketika tidak ada bukti syar’i yang bisa dihadirkan kedua belah pihak.
Semua ulama tadi, konon menyandarkan pendapatnya itu kepada pandangan sebagian imam madzhab terdahulu, misalnya:
- Imam Malik rahimahullah yang membangun sebagian hukumnya berdasarkan perbuatan penduduk Madinah, yakni kebiasaan dan tradisi penduduk Madinah Munawwarah.
- Perbedaan pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan ulama madzhab Hanafi setelahnya, terhadap sebagian hukum syariah yang disebabkan perbedaan tradisi yang ada.
- Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika tinggal di Mesir, mengubah sebagian hukum hasil ijtihad beliau saat di Baghdad, yang disebabkan perubahan tradisi yang ada di Mesir berbeda dengan tradisi Baghdad, sehingga melahirkan dua pendapat, pendapat lama (qadîm) dan pendapat baru (jadîd).
Begitu pula mereka mencoba menarik kesimpulan argumentasi keabsahan tradisi, sebagai berikut:
Pertama, dari ayat al-Qur’an, firman-Nya:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A‘râf [7]: 199).
Kedua, dari as-Sunnah an-Nabawiyyah, menggunakan riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
“Apa pun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu pun baik di sisi Allah.”
Serta pembiaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sebagian tradisi Arab sebelum beliau diutus, seperti praktik mudhârabah dan ketentuannya. Terdapat riwayat al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib jika menyerahkan harta secara mudhârabah, memberikan syarat kepada pengelola yang ada, agar tidak membawa harta melewati laut, jangan menuruni lembah dan jangan menggunakan harta itu membeli makhluk yang bernyawa, jika ia melakukan itu wajib menanggung resikonya, perbuatan al-‘Abbas itu sampai kepada Rasulullah maka beliau menganggapnya perbuatan baik.
Ketiga, dari ijma’ yakni transaksi al-ishtishnâ’ dan as-salam, yang keduanya sudah menjadi tradisi tanpa ada pengingkaran dari sahabat, maka hal ini masuk kategori ijma’, dan ijma’ sahabat termasuk salah satu sumber tasyri’.
Perbandingan Sikap Terhadap Tradisi
Sebagian fuqaha kaum muslimin, seperti maliki dan hanafi, menganggap tradisi sebagai dalil. Sehingga kemunculan sebagian hukum yang diambil dari kebiasaan dan tradisi masyarakat pada zamannya, diselaraskan bersama hukum syariah, sebab masyarakat Islam di Madinah Munawwarah dan ibu kota Islam lainnya, adalah kaum muslimin yang hidup dengan kehidupan Islam, baik di rumah, di jalan, di ranah ilmu, dan di seluruh urusan kehidupan. Mereka lahir dan tumbuh berkembang sebagai kaum muslimin dalam naungan daulah khilafah, yang berhukum dan menjaga mereka dengan Islam, tiada sedikitpun selain Islam. Jadi tentu wajar kebiasaan dan tradisi mereka lahir dari pemikiran dan hukum Islam, meskipun sebagian mereka tidak mengetahui dalil syariah bagi tradisi tersebut.
Adapun pasca daulah khilafah runtuh di awal abad ke dua puluh masehi, maka kaum kafir memerangi kaum muslim menggunakan budaya sekularisme dan kapitalisme, serta memerintah umat dengan sistem mereka, yang menyebabkan kebiasaan dan tradisi kaum muslim berubah menjadi bertentangan dengan syariat Islam, misalnya:
- Mudahnya campur baur antara kerabat laki-laki dan wanita di dalam kehidupan privat, padahal hukum syara’ yang sudah diketahui secara pasti bagian dari agama, mewajibkan pemisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan privat, tanpa memperhatikan lagi hubungan kerabat, selama mereka bukan termasuk mahram: bapak, saudara lelaki, paman dari ibu atau ayah dan lainnya.
- Kemunculan mayoritas wanita di dalam kehidupan publik yang tidak berbusana syar’i.
- Menganggurnya kaum muslimin dari pekerjaannya pada hari jum’at, terlebih pasca shalat jum’at, dimana hal itu menjadi tradisi mayoritas kaum muslim, padahal Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10).
- Membatasi kewajiban mengemban dakwah dan mengubah kemunkaran hanya dipikul laki-laki saja, tanpa melibatkan peran wanita kecuali hanya sedikit. Padahal sudah diketahui mengemban dakwah itu kewajiban semuanya, tidak ada perbedaan antara laki-kali dan wanita, inilah yang ditunjukkan nash-nash syariah, sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ sahabat. Allah berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 104).
Redakasi ayat ini berbentuk umum, meliputi setiap muslim baik laki-laki maupun wanita, dan inilah yang dilakukan Khadijah, Sumayyah, Asma’, ‘Aisyah dan sahabiyah yang meluruskan ijtihad khalifah ‘Umar serta sahabiyah yang lainnya.
Ketika masyarakat masih Islami dan hidup dalam kehidupan Islam, para ulama madzhab maliki dan hanafi menyatakan “sesuatu yang dibenarkan tradisi shahih sama dengan sesuatu yang dibenarkan dengan dalil syariah,” sebagian ulama tersebut juga menetapkan kaidah universal “adat kebiasaan bisa menjadi hukum,” dan mereka belum menyadari bahwa berbagai tradisi dan kebiasaan pada masa mereka masih bersandar pada dalil-dalil syariah.
Demikianlah sikap sebagian fuqaha kaum muslimin terhadap tradisi, sedangkan bagi non muslim tradisi mereka anggap sebagai sumber primer bagi pembuatan undang-undang, sebagaimana yang terjadi di Britania dan negara lainnya. Sehingga setelah mengadopsi sistem kapitalisme, orang-orang barat membuat undang-undang yang mengatur kehidupan dan semua interaksi mereka.
Karena itu, hukum bagi barat berpeluang mengalami perubahan dan amandemen, serta berpeluang terjadi perselisihan dan kontradiksi, karena mengikuti perubahan tradisi dan kebiasaan. Sehingga hukum yang legal bagi suatu komunitas, kadang menjadi ilegal di komunitas lainnya, dan hukum yang berlaku pada suatu masa, kadang menjadi tidak berlaku di masa lainnya.
Misal, majelis umum Britania sebagai kekuasaan legislatif bagi mereka, semenjak beberapa tahun silam membolehkan homoseksualitas, padahal perbuatan tersebut sebelumnya ilegal bagi masyarakatnya, jadi akhirnya pebuatan itu dilegalkan berdasarkan kebiasaan dan tradisi seksual yang berkembang di masyarakat Britania.
Sistem barat melegalkan masyarakatnya mengonsumsi narkotika, setelah barang haram itu tersebar dan menjadi kebiasaan konsumsi masyarakat, padahal sebelumnya peredarannya terlarang. Sebagian mereka melegalkan aborsi, setelah sebelumnya menjadi tindakan populer dan diterima publik, sebagai hasil kebiasaan dan tradisi yang berkembang yang berasal dari pemikiran liberalisme dalam sistem kapitalisme.
Jadi hukum merupakan konsekuensi dari tradisi, berjalan bersama tradisi, karena itu kita melihat perubahan dan amandemen sesekali dialami undang-undang konvensional di negeri kami (timur tengah) dan negeri lainnya; menyesuaikan dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat yang pada waktu lain tentu mengalami perubahan, hal ini disebabkan hilangnya sistem Islam, sistem yang kokoh dan menyeluruh, yang diridha’i Rabb semesta alam bagi manusia hingga hari kiamat.
Sikap yang Benar Terhadap Tradisi
Pertama, ayat yang digunakan sebagai argumentasi tradisi (QS. Al-A‘râf [7]: 199), tidak ada hubungannya sama sekali, karena ayat tersebut ayat Makiyyah, kebiasaan dan tradisi Arab pada masa jahiliyyah bertentangan dengan Islam, dan Allah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengubahnya. Perintah mengerjakan kema’rufan di dalam ayat, bermakna perintah yang sesuai dengan apa yang Allah turunkan, karena kema’rufan disitu maknanya perkataan dan perbuatan yang baik, kebaikan menurut Islam adalah sesuatu yang dianggap baik oleh syariah, dan tidak bermakna kebaikan yang ada pada perbuatan jahiliyyah, seperti berkata keji, mengubur hidup anak-anak, zina, riba, dan fanatisme kesukuan. Jadi di dalam ayat tadi, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerintahkan kepada masyarakat berbuat kebaikan, seperti menyembah Allah, berbakti kepada orang tua, serta memenuhi timbangan dan takaran, berdasarkan indikasi firman-Nya: “Serta berpalinglah dari pada orang-orang jahiliyyah,” artinya jauhilah segala penyembahan berhala dan perbuatan munkar yang bersumber dari mereka, karena ‘urf dalam ayat tersebut adalah kema’rufan yang merupakan lawan dari kemunkaran, sebagaimana firman Allah:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 110).
Kedua, mengenai ungkapan “apa pun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu pun baik di sisi Allah,” sebenarnya itu merupakan perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dan bukanlah hadits nabi, jadi ungkapan tersebut tidak bisa menjadi argumentasi dalam hukum syariah, maka apalagi menjadi argumentasi sumber tasyri’. Ungkapan tadi juga tidak ada relevansi dengan tradisi, karena dinyatakan “apa pun yang dianggap baik oleh kaum muslimin” dan tidak dinyatakan “apa pun yang menjadi tradisi dan kebiasaan mereka.” Sebab, tradisi adalah kebiasaan masyarakat yang berulang-ulang dan bukanlah “apa pun yang dianggap baik oleh kaum muslimin” sebagai seorang muslim, dimana mereka berpegang pada Islam untuk menilai baik dan buruknya perbuatan dan benda, dan bukan berpegang pada adat kebiasaan.
Ketiga, mengenai beberapa perbuatan yang didiamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dianggap termasuk tradisi dan kebiasaan di masa jahiliyyah, seperti syirkah al-mudhârabah, al-istishnâ’ dan sebagian jual-beli seperti salam, maka jika pun semua itu diambil, statusnya dianggap mengambil dalil syariah yaitu diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap semua itu, dan tidaklah dianggap mengambil tradisi. Karena diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap suatu perbuatan adalah dalil syar’i atas bolehnya perbuatan itu; mengingat Islam sendiri menolak banyak kebiasaan dan tradisi Arab atau selain Arab, seperti riba, minum khamr, thawaf telanjang sekitar Ka’bah, ba’i al-hashâh (jual-beli dengan spekulasi lemparan kerikil), serta Baginda bersabda mengenai tradisi bangsa Persia:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Al-Bukhari).
Jadi tradisi Persia mengangkat wanita memimpin pemerintahan diharamkan, sedangkan bidang lain wanita dibolehkan menjadi qadhi atau anggota majelis syura’.
Berdasarkan poin ini, tradisi budaya (al-‘urf al-‘amali) alias adat kebiasaan masyarakat, wajib tunduk kepada syariah. Jadi, tradisi budaya yang bersandar kepada dalil syariah, maka kita mengambil dan melakukannya bukan karena adat kebiasaan dan tradisi itu sendiri, namun karena hal tersebut memiliki dalil syara’. Dan Tradisi budaya yang tidak bersandar kepada dalil syariah, maka kita tolak dan meninggalkannya. Sebab menurut syara’, sudah menjadi kepastian, kaum muslim wajib terikat dalam seluruh perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah, bukan terikat dengan tradisi yang ada.
Pada dasarnya dalil syariah yang bersifat global, yakni sumber tasyri, adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang terwakili al-Kitab dan as-Sunnah, keduanya merupakan dalil primer dalam tasyri’ Islam. Sesuatu yang terbukti pasti melalui dua dalil tadi sebagai sumber tasyri’, semisal ijma’ sahabat dan qiyas, maka kita mengambil dan berpegang kepadanya dalam mengeluarkan hukum. Dan sesuatu yang tidak terbukti pasti melalui al-Kitab dan as-Sunnah, sebagai sumber tasyri’, semisal tradisi dan syariat umat terdahulu, maka kita tinggalkan dan tidak terikat dengannya.
Karena nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang bersifat pasti, tidak menunjukkan bahwa tradisi budaya sebagai sumber tasyri’ dan sumber kaidah syariah, maka tradisi tidak digunakan sebagai dalil dalam mengeluarkan hukum syariah. Ini berkaitan dengan tradisi budaya, yakni kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang di masyarakat.
Tradisi Lisan: Istilah dan Ukuran
Adapun berkaitan dengan tradisi lisan (al-‘urf al-qauli), yakni istilah dan ukuran, maka dua hal ini berbeda statusnya dengan masalah tradisi budaya yang dijelaskan sebelumnya.
Istilah merupakan redaksi yang disebutkan manusia, untuk menunjukkan suatu makna diluar makna awal bahasa bagi redaksi tersebut. Seperti penduduk suatu negeri yang saling menyebutkan kata “daging” yang ditujukan untuk daging unta, sapi atau kambing saja. Kata “daging” tersebut tidak ditujukan untuk daging ikan atau burung. Ketika salah satu penduduk berkata: “Aku membeli atau memakan daging,” maka penduduk lain memahami maksudnya adalah daging yang sudah mereka kenali tersebut.
Contoh lain, seseorang bersumpah tidak akan pernah meletakkan kakinya di rumah si fulan, maka arti tradisi ungkapan “meletakkan kakinya” otomatis bermakna memasuki rumah dengan tubuhnya, baik dengan jalan kaki ataupun berkendara. Maka orang itu akan melanggar sumpahnya, ketika memasuki rumah si fulan, walaupun kakinya tidak menyentuh tanah rumahnya. Dan orang itu tidak akan melanggar sumpahnya, ketika dia berhenti di luar area rumah meski memanjangkan kakinya hingga masuk ke dalam rumah, karena perbuatan ini tidak termasuk kategori memasuki rumah.
Contoh lain juga, penutur bahasa Arab menggunakan kata ad-dâbbah untuk menyebut hewan selain manusia, padahal penggunaan awal bahasa, kata itu meliputi seluruh hewan yang berjalan pelan di atas permukaan bumi termasuk juga manusia, lalu kata tersebut berubah menjadi realitas bahasa konvensi, makna konvensi kata tersebut diprioritaskan ketika menerapkan hukum syariah. Maka andai seseorang bersumpah dia tidak pernah memberi minum hewan, tentu ia tidak akan melanggar sumpahnya ketika memberi minum manusia, karena istilah konvensi tadi mengecualikan manusia dari kata ad-dâbbah.
Ada pula istilah konvensi khusus bagi setiap spesialis disiplin ilmu, misalnya istilah dalam ilmu ushul fikih; contohnya secara bahasa kata ‘illat asalnya bermakna sakit, lalu ulama ushul menggunakannya untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi motif kemunculan hukum syara’, sehingga mereka berkata “’illat keharaman berjualan saat shalat jum’at adalah melalaikan shalat jum’at,” lalu ulama mengharamkan berenang, menulis, berbekam dan aktivitas lainnya di waktu shalat jum’at sebagai analogi atas aktivitas berjualan, karena ada keserupaan ‘illat yang sama dengan berjualan, yakni melalaikan shalat jum’at. Demikian seterusnya, spesialis di bidang falak, kedokteran, insinyur, nahwu dan lain sebagainya, masing-masing menggunakan istilah-istilah khusus, untuk menunjukkan makna spesifik dalam disiplin ilmu-ilmu tersebut.
Mengenai ukuran (at-taqdîr), yang diklaim sebagian ulama termasuk mengambil tradisi; justru sebenarnya, sebagian nash-nash syariah-lah yang menjadikan ukuran sebagian perkara –baik kualitas maupun kuantitas– agar selalu merujuk kepada apa yang dikenal di masyarakat, seperti ukuran upah, mahar dan nafkah, yang dibuktikan dengan firman-Nya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233).
Dan berdasarkan Sabda shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun istri Abu Sufyan, yang mengeluhkan kekikiran suaminya:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. al-Bukhari).
Jadi ukuran yang telah Allah serahkan kepada orang yang pakar di tengah masyarakat tersebut, merupakan objek penerapan hukum syara’, dan bukanlah hukum syara’ itu sendiri. Ma’ruf dalam ayat sebelumnya adalah jumlah atau ukuran nafkah yang lazim bagi seorang istri manapun, semuanya sesuai standar kebiasaan hidupnya di tengah keluarga tempat ia tumbuh.
Artinya, istilah dan ukuran diperlukan untuk membuktikan realitas hukum, yakni diperlukan mujtahid untuk mengetahui fakta yang akan dihukumi, dan setelah itu barulah dicari dalil syariah yang relevan dengan fakta tadi, untuk mengeluarkan hukum syara’ yang diimplementasikan kepada fakta secara presisi.
Mengetahui fakta yang ditunjukkan oleh istilah atau ukuran, syariah menyerahkannya kepada manusia, sedangkan hukum bagi fakta tersebut merupakan otoritas syara’, Allah berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 48).
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’âm [6]: 57).
Andai seorang istri mengklaim kepada suaminya, belum menerima mahar, dan terdapat bukti syar’i kebenaran klaimnya, maka hukum syara’ akan mewajibkan suami menyerahkan maharnya. Jika kedua pihak berselisih mengenai jumlah maharnya, maka yang menjadi rujukan menentukan nilai mahar adalah orang yang pakar, sehingga mahar sang istri mereka hitung berdasar mahar yang sepadan bagi seorang wanita. Artinya hukum mahar menjadi kewenangan Allah, sedangkan mengetahui realitas jumlah mahar diserahkan kepada manusia.
Kesimpulan
Di penghujung artikel ini, kami simpulkan apa yang sudah dibahas sebelumnya, sebagai berikut:
Pertama, hukum syara’ bagi suatu masalah di setiap masa, hanya ada satu bagi seorang muslim, artinya ia ambil hukum itu dari dalil-dalil syara’ yang tetap. Sedangkan tradisi dan kebiasaan manusia mengalami perubahan dari masa ke masa, inilah yang membuat hukum itu berubah mengikuti perkembangan tradisi, dimana jelas bertentangan dengan hukum syara’ yang bersifat tetap.
Kedua, dalil-dalil yang digunakan kalangan yang mendukung tradisi, sebetulnya tidaklah ada hubungannya. Karena dalil-dalil terebut digunakan dalam konteks hukum syara’ yang bersifat praktis, yang dalilnya dibolehkan bersifat zhanni (tidak pasti). Jadi bagaimana bisa, dalil-dalil zhanni tersebut meningkat menjadi argumen dan dalil bagi sumber tasyri’, yang tentunya dalil sumber tasyri’ harus bersifat pasti!.
Ketiga, tradisi dan kebiasaan yang mendominasi masyarakat Islam pada masa tabi’in dan masa setelahnya, dikala daulah khilafah masih berdiri menerapkan hukum Islam dalam semua segi kehidupan, adalah kebiasaan dan tradisi yang lahir dari pemikiran, hukum dan pemahaman Islam semata, yang mendorog sebagian fuqaha untuk merujuk kepada tradisi dan kebiasaan tersebut demi mengetahui sebagian hukum, seperti imam Malik yang merujuk kepada perbuatan penduduk Madinah Munawwarah, yang penduduknya berkomitmen memegang teguh ajaran Islam dalam setiap keadaan, sehingga berbagai hukum yang lahir berkesesuaian dengan dalil-dalil syariah yang ada dalam al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas.
Sedangkan masa kini, tradisi dan kebiasaan yang dimiliki kaum muslimin telah rusak, yang secara umum akibat penerapan hukum buatan manusia terhadap umat Islam, artinya merupakan hasil dari campuran berbagai pemikiran dan pemahaman: kapitalisme, sosialisme, fanatisme kesukuan, kebangsaan, serta Islam dan lain sebagainya. Artinya secara garis besar tradisi dan kebiasaan tersebut bertentangan dan kontradiksi dengan Islam, maka statusnya sama dengan berhukum dengan selain Islam, dan ini jelas haram.
Keempat, mengambil berbagai istilah dan ukuran untuk membuktikan realitas penerapan hukum, yakni dalam rangka mendalami fakta, boleh berdasarkan syara’. Justru pengetahuan ini memang diperlukan mujtahid, agar presisi dalam mengeluarkan hukum syara’ dan bisa diterapkan hukum atas fakta yang ada.
Kelima, propaganda mengambil tradisi yang ada hari ini, sebagai sumber hukum ajaran Islam, dan menggunakan berbagai kaidah yang lahir darinya semodel “adat kebiasaan bisa menjadi hukum,” lalu “sesuatu yang dibenarkan tradisi sama dengan sesuatu yang dibenarkan nash”, merupakan propaganda yang problematis dan menyesatkan, karena sama artinya mendorong mengambil selain Islam dengan anggapan berasal dari Islam, padahal Allah sudah memperingatkan rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari penyesatan semacam ini:
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 49).
Seruan Allah dalam ayat ini ditujukan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya seruan ini ditujukan pula bagi seluruh kaum muslimin, serta berlaku hingga hari kiamat. Wallahu a’lam. (Mafâhîm Islâmiyyah, Darul Bayariq – Beirut, cet pertama: II/162-178).
Ditulis oleh: Yan S. Prasetiadi , 25 Rajab 1443 H.