Tragedi Barbastro: Kota Pertama yang Menjadi Saksi Ketidakberdayaan Kaum Muslimin

Fikroh.com – Jauh sebelum kaum muslimin di Baghdad merasakan kehinaan melalui serangan Mongol. Sekitar dua ratus tahun sebelum itu, kaum muslimin di Barbastro telah lebih dulu merasakannya. 

Suatu tragedi yang kaum muslimin belum pernah merasakannya sampai saat itu. Salah seorang sejarawan barat menyebut ekspedisi ke Barbastro sebagai “Perang Salib Sebelum Perang Salib”, karena ekspedisi ini terjadi sekitar 30 tahun sebelum Perang Salib I meletus yang mengakibatkan Baitul Maqdis berhasil diduduki oleh Kaum Salibis. Ekpedisi ke Barbastro ini dipimpin oleh Guillaume de Montreuil -pemimpin pasukan Romawi dan kepausan-.

Tragedi Barbastro merupakan tragedi yang memperlihatkan kebengisan Normandia -yang mendiami wilayah barat Perancis- dan orang-orang yang datang dari sekitaran Perancis yang berkoalisi dengan kerajaan Kristen Aragon dan Catalan. Tragedi yang membuat hati bergetar setiap kali mengingatnya dan membuat pena terasa lelah dan menyesal menggoreskannya. Dimana puluhan ribu orang terbunuh hanya dalam sehari dan dinodainya ribuan wanita muslimah yang menjaga kehormatannya. Hal ini tergambarkan dalam potongan bait syair Al Faqih Ibn al ‘Assal “Wanita yang terjaga dalam tirai hijabnya, mereka singkapkan hingga tak ada lagi yang tertutupi”.

Pada waktu itu, Kekhalifahan Umayyah di Andalusia baru saja runtuh yang membuat kalimat dan barisan muslimin disana terpecah. Andalusia telah terbagi menjadi beberapa kerajaan kecil (Muluk At Thawâ’if) yang para penguasanya tamak akan dunia dan kekuasaan. Masing-masing dari mereka sibuk memperluas kekuasaannya dengan menyerang para penguasa Islam lainnya, dan kebanyakan dari mereka melakukan itu dengan meminta bantuan kerajaan Kristen di Utara -baik Aragon, Kastilia ataupun Navarre-.

Di wilayah Zaragoza yang merupakan ibukota dari dinasti Bani Hud -salah satu dari Muluk At Thawâ’if-, kekuasaan terbagi menjadi lima bagian sesuai jumlah keturunan Hud. Ahmad bin Sulaiman bin Hud memegang kekuasaan di Zaragoza dan sekitarnya, La Reda dan sekitarnya berada di tangan Yusuf, distrik Totila di tangan Al Mundzir, Lubb menguasai Wasyqah, dan Qal’ah Ayyub di tangan Ayyub.

Tahun 456 H/1064 M terjadilah sebuah malapetaka untuk menyadarkan kaum muslimin dan para penguasanya yang telah rusak. Sebanyak 40.000 ribu tentara Salib yang mayoritas berasal dari Koalisi Perancis-Italia dan Aragon mengepung kota Barbastro. Ahmad bin Hud yang berkuasa di Zaragoza menutup mata atas apa yang menimpa penduduk kota Barbastro karena ia merasa kota itu adalah tanggung jawab penguasa disitu, yang tidak lain saudaranya sendiri, Yusuf bin Hud. 

Pasukan koalisi kristen mengepung Barbastro selama empat puluh hari hingga para penduduk kota kekurangan suplai makanan. Begitu terjadi keributan di dalam kota akibat minimnya makanan, pasukan salib berusaha merangsek masuk ke dalam kota. Kaum muslimin pun melakukan perlawanan sambil mundur berlindung ke dalam kota. Dalam konfrontasi itu, sekitar 500 prajurit Kristen terbunuh. 

Setelah itu, saluran air yang mengalirkan air sungai di luar kota menuju rumah-rumah warga mengalami kerusakan disebabkan adanya batu besar yang menutupinya. Akibatnya air terputus sehingga penduduk di dalamnya mulai putus asa. 

Penguasa kota Barbastro akhirnya bersedia menyerahkan kota kepada pihak Kristen dengan syarat jaminan keamanan untuk semua kaum muslimin yang berada di dalamnya ketika nantinya keluar meninggalkan kota. Pihak Kristen pun menyanggupi. Namun begitu para penduduk mulai keluar dari kota, pasukan Kristen berkhianat dan membunuh semua orang yang mereka sanggup dapatkan, menodai kehormatan dan meluluhlantakkan kota. Tak ada yang selamat dari pedang mereka kecuali sebagian kecil saja. Tragedi memilukan ini terjadi pada tanggal 26 Sya’ban 456 H.

Situasi dan keadaan semacam ini belum pernah disaksikan dalam sejarah masa lalu kaum muslimin saat itu. Lebih dari 40.000 orang terbunuh dalam satu hari dan ribuan muslimah dinodai kehormatannya. Kaum Salibis juga memilih 7.000 gadis muslimah untuk dikirimkan sebagai hadiah kepada bangsawan di negeri mereka.

Orang-orang Kristen, saat mereka menguasai kota Barbastro, mereka merusak kehormatan seorang gadis di depan ayahnya, menodai seorang istri di depan suami dan anaknya. Jika mereka menemukan seorang wanita yang kurang menarik, maka orang-orang kafir salibis itu akan menyuruh budak mereka untuk menodainya. 

Al Faqih ibn al ‘Assal menggambarkan peristiwa tragis itu,

“Dengan kuda mereka, mereka merusak istana kehormatannya 

Tidak ada lagi gunung dan daratan yang tersisa

Mereka berjalan di sela-sela negeri 

Dan setiap hari mereka ciptakan kebengisan disana

Entah berapa tempat telah mereka rampas

Tanpa belas kasih kepada anak kecil, orang tua dan gadis perawan

Bayi yang menyusui mereka pisahkan dari ibunya 

Mungkin saja seorang bayi lahir, namun ayahnya tergeletak sekarat di tanah 

Wanita yang terjaga dalam tirai hijabnya 

Mereka singkapkan hingga tak ada lagi yang tertutupi

Andai bukan karena dosa-dosa kaum muslimin 

Dan karena mereka melakukan dosa besar 

Kaum Kristen itu takkan mungkin menang untuk selamanya 

Jadi dosa-dosa itu memang sumber malapetaka”… 

Kepiluan yang terjadi di Barbastro itu terdengar di Cordoba pada awal Ramadhan 456 H, mengguncang hati dan merobek jiwa. Ahmad bin Hud -penguasa Zaragoza- yang diliputi perasaan hina karena sebelumnya telah membiarkan kota tersebut akhirnya mengambil langkah awal dengan mengumumkan jihad ke Barbastro dan -dengan bantuan para ulama- meminta seluruh penguasa Muluk At Thawâ’if untuk bersatu. Kaum muslimin akhirnya bersatu kembali untuk mengembalikkan izzah yang telah tercoreng. Berkumpullah pasukan sukarela laksana gunung. Penguasa Sevilla, Al Mu’tamid bin Abbad memimpin sendiri pasukannya yang didalamnya berisi 500 pasukan kuda terbaik Sevilla. 

Maka bergeraklah pasukan Islam yang telah datang dari seluruh kawasan Andalusia itu pada bulan Jumadal Ula tahun 457 H. Kaum muslimin melakukan pengepungan terhadap kota Barbastro. Pertempuran sengit pecah antara pasukan muslimin yang ingin mengembalikan kehormatan islam dan dan pasukan Kristen yang ingin mempertahankan kota. Dalam peristiwa itu pasukan islam berhasil membunuh lebih dari 800 prajurit berkuda Kristen dan 500 pasukan infanterinya serta menawan ribuan lainnya. 

Barbastro akhirnya berhasil kembali ke dalam kekuasaan kaum muslimin setelah selama sembilan bulan berada di tangan Kristen dan menjadi saksi bisu kebengisan dan kebejatan mereka kepada kaum muslimin dan gadis-gadis muslimah.

Oleh: Abdurrahman Al Buthony

sumber:

– Qisho Al Andalus Min al Fath ila as Suquth, Dr. Raghib As Sirjani

– www.islamhitory.com

Leave a Comment