Waspada! Hadits Populer tentang Ramadhan Ini Palsu dan Dhaif

Waspada! Hadits Populer tentang Ramadhan Ini Palsu dan Dhaif

Fatwapedia.com – Melanjutkan penjelasan hadits-hadits lemah dan palsu seputar puasa ramadhan bagian pertama. Berikut ini daftar hadits palsu yang sangat populer di kalangan penceramah saat ramadhan atau menjelang ramadhan.

6. Hadits, Puasa Ramadhan tergantung zakat Fitrah.

Ada dua riwayat tentang hal ini disebutkan oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah, riwayat Anas dan riwayat Jarir.

a. Riwayat Anas

Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Baqiyyah bin Walid, Abdurrahman bin Utsman menceritakan kepadaku dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يُرْفَعُ إِلا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya bulan Ramadhan itu masih digantung antara langit dan bumi, tidak diangkat kecuali kalau sudah ditunaikan zakat fithri.”

Dikeluarkan pula oleh Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad 9/121 pada biografi Sahl bin Ismail Abu Thahir Al-Jauhari Ath-Tharsusi juga melalui jalur Baqiyyah bin Walid.

Juga dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq jilid 43 hal. 93 dalam biografi Ali bin ‘Asakir bin Surur Abu Hasan Al-Maqdisi Al-Kasysyab, juga melalui jalur Baqiyyah bin Walid, tapi dengan redaksi (حتى يؤدي زكاة ماله) (sampai ditunaikan zakat hartanya) bukan menggunakan redaksi zakat fithri sebagaimana riwayat Ibnu Al-Jauzi dan Al-Khathib.

Jadi semua sanad hadits ini bermuara kepada Baqiyyah bin Walid dari Abdurrahman bin Utsman. Di sini Baqiyyah menggunakan shighat tahdits, tapi ‘an’anah pada riwayat dari Abdurrahman bin Utsman ke Anas, padahal dia mudallis tadlis taswiyah, sehingga masih mengandung kelemahan.

Tapi menurut Ibnu Al-Jauzi pangkal kelemahannya terletak pada Abdurrahman bin Utsman yang dikatakan oleh Imam Ahmad, “Orang-orang membuang haditsnya”. Lalu ada Ibnu Hibban yang mengatakan, “Tidak boleh berhujjah dengannya.”[1]

Tapi Syekh Al-Albani meragukan kalau Abdurrahman di sini adalah yang diperbincangkan oleh Imam Ahmad di atas karena yang itu satu thabaqah dengan Baqiyyah bin Walid.[2] Bila benar diam aka diapun mungkin tak bertemu dengan Anas. Kalau bukan dia berarti orang yang majhul ‘ain, dan majhul ‘ain bila bersendirian begini maka kelemahannya parah.

b. Riwayat Jarir

Dikeluarkan oleh Ibnu Al-Jauzi dalam Al-‘Ilal setelah hadits Anas di atas dengan sanadnya:

“Abu Qasim bin Hushaih menceritakan kepada kami, dia berkata, Ali bin Ali Al-Bashri mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abu Bakr bin Muhammad bin Ibrahim bin Hamdan Ad-Diir mengabarkan kepada kami, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ishaq Al-Faqih mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abdullah bin Ali bin Ubaidah Al-Muaddib menceritakan kepadaku, dia berkata, Muhammad bin Ubaid Al-Bashri menceritakan kepada kami, dia berkata, Mu’tamir menceritakan kepada kami, dia berkata, Ismail bin Abi Khalid menceritakan kepada kami. Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah yang berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

“إِنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يُرْفَعُ إِلا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya bulan Ramadhan itu akan tergantung antara langit dengan bumi, tidak diangkat kecuali dgn zakat fithri.”

Dalam sanad ini ada nama Muhammad bin Ubaid Al-Bashri yang dikatakan oleh Ibnu Al-Jauzi “majhul”. Pernyataan Ibnu Al-Jauzi ini disetujui oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Lisan Al-Mizan 7/334 dan menjadikan hadits di atas sebagai hadits riwayatnya yang tidak ada penguatnya (laa yutaba’ ‘alaih).

Katanya pula hadits ini ada dalam Al-Muhtaarah karya Adh-Dhiya` Al-Maqdisi tapi saya belum menemukan di kitab yang tercetak. Ada kemungkinan masih belum tercetak, mengingat versi yang tercetak sekarang baru setengah dari kitab aslinya. Wallahu a’lam.

Dengan demikian hadits ini lemah dan tidak bisa saling menguatkan, sehingga zakat fithri bukanlah penentu diterimananya amalan puasa Ramadhan atau tidak. Dia hanyalah kewajiban tersendiri dan punya konsekuensi yang terpisah dari ibadah puasa. Wallahu a’lam.

7. Ramadhan diawali rahmat

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda,

أول شهر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار

“Awal bulan Ramadhan itu adalah rahmat, tengahnya adalah ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Fadha`il Ramadhan (hal. 65, no. 37), Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa`, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil fid Dhu’afa, semua Ketika menyebut biografi Salam bin Sawwar. Semua melalui Salam bin Sawwar, dari Maslamah bin Shalt, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah.

Sebab kelemahan hadits ini adalah semua sanadnya bermuara kepada Salam bin Sawwar dan Maslamah bin Shalt.

Salam bin Sawwar, Ibnu ‘Adi menganggapnya munkarul hadits, Al-‘Uqaili mengatakan haditsnya tidak terjaga (ghairu mahfuzh) dan maksudnya adalah hadits di atas, tidak benar berasal dari Az-Zuhri. Adz-Dzahabi menyebutnya dalam Mizan Al-I’tidal (2/178) dan riwayat-riwayat munkar yang dia riwayatkan, hadits di atas adalah salah satunya.

Maslamah bin Shalt dikatakan oleh Abu Hatim munkarul hadits (Al-Jarh 8/269). Sementara Ibnu ‘Adi mengatakannya tidak dikenal (Al-Kamil 4/325).

Hadits senada yang lebih Panjang dan terdapat kalimat di atas adalah hadits Salman di bawah ini.

8. Hadits Salman tentang khutbah Rasulullah di akhir Sya’ban.

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam shahihnya,

(8) بَابُ فَضَائِلِ شَهْرِ رَمَضَانَ، إِنَّ صَحَّ الْخَبَرُ1887 – ثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ، ثَنَا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ، ثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ سَلْمَانَ قَالَ:

خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ، فَقَالَ:

“أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ”. قَالُوا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ. فَقَالَ: “يُعْطِي اللَّهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ، أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخَصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا، سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لَا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ”.

“Ali bin Hujr As-Sa’di menceritakan kepada kami, Yusuf bin Ziyad menceritakan kepada kami, Hammam bin Yahya menceritakan kepada kami, dari Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’id bin Musayyib, dari Salman yang berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam berkhutbah (di hadapan) kami pada hari terakhir bulan Sya’ban, beliau bersabda: “Wahai manusia, telah menaungi kalian bulan nan agung, bulan penuh barokah, bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Allah telah menjadikan berpuasa di dalamnya suatu kewajiban, dan qiyamul lail sebagai sunnah, barangsiapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan satu kebaikan maka dia bagaikan menunaikan kewajiban pada bulan lainnya, dan barangsiapa yang menunaikan kewajiban di dalamnya, maka dia bagaikan menunaikan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Ia adalah bulan kesabaran, dan pahala sabar adalah surga, ia bulan saling mengasihi, bulan saat rezeki orang mukmin bertambah. Barangisapa memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka dosa-dosanya akan terampuni, dibebaskan dari neraka. Dan dia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun juga.

Shahabat bertanya: “Tidak semua dari kita memiliki apa yang dapat diberikan untuk memberi buka bagi orang yang berpuasa?”. Beliau bersabda: ”Allah akan memberikan pahala ini bagi orang yang memberikan buka orang yang berpuasa, walau dengan kurma, seteguk air, atau segelas susu. Ia adalah bulan yang permulaannya rahmah, pertengahannya ampunan, dan akhirnya kebebasan dari siksa neraka. Barangsiapa yang meringankan budaknya (pembantunya) maka Allah akan mengampuninya  dan memerdekakannya dari neraka.

Maka hendaklah kalian memperbanyak empat kebaikan. Dua kebaikan yang membuat Tuhan rida terhadap kalian, dan dua kebaikan lagi yang tidak dapat kalian abaikan. Sementara dua kebaikan yang membuat Tuhan kalian rida adalah persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan kalian memohon ampun kepada-Nya. Sementara dua kebaikan yang tidak dapat kalian abaikan adalah  memohon surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari siksa neraka. Dan siapa yang di bulan ini mengenyangkan orang yang berpuasa (memberi makan berbuka), maka Allah akan memberinya  seteguk minuman dari telagaku yang membuatnya tidak akan haus hingga masuk surga”.

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 3336, Ibnu Abi -Ad-Dunya dalam Fadha`il Ramadhan, Ibnu Syahin dll, semua bermuara pada Yusuf bin Ziyad.

Kemudian Al-Baihaqi juga meriwayatkan mutabi’ bagi jalur Yusuf bin Ziyad yaitu dari jalur Abu Bakar As-Sahmi, dari Iyas bin Abdul Ghaffar, dari Ali bin Zaid bin Jud’an.

Dengan demikian ada dua jalur: jalur Yusuf bin Ziyad, dari Hammam dari Ali, dan jalur Iyas bin Abdul Ghaffar dari Ali bin Zaid.

Yang menjadi pangkal kelemahan adalah tiga orang yaitu Yusuf bin Ziyad, Iyas bin Abdul Ghaffar dan Ali bin Zaid bin Jud’an. Kesemua jalur muaranya adalah Ali bin Zaid bin Jud’an, sehingga banyak yang menjadikannya sebagai pangkal terakhir kelemahan riwayat ini.

Ali bin Zaid bin Jud’an sendiri memang masih diperselisihkan kredibilitasnya, tapi jumhur ulama jarh wat ta’dil menganggap riwayatnya dha’if dalam hadits meski dia orangnya jujur dan shaleh.

Beberapa pendapat ulama tentangnya disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal 3/127, dan juga Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (20/434 – 444). Intinya dia dhaif bila meriwayatkan hadits bersendirian hanya saja kelemahannya tidak parah dan masih bisa dijadikan i’tibar.

Tapi kalau saya perhatikan pangkal utama kelemahan riwayat ini bukan pada ali bin Zaid, bahkan bisa jadi ini tidak shahih dari Ali bin Zaid. Pangkal utama adalah Yusuf bin Ziyad dan Iyas bin Abdil Ghaffar dan keduanya tidak bisa saling menguatkan.

Yusuf bin Ziyad Abu Abdillah Al-Bashri dianggap oleh Al-Bukhari “munkarul hadits”, Abu Hatim mengatakannya, “munkarul hadits”, Ad-Daraquthni mengatakan, “dia terkenal meriwayatkan yang bathil”. (Lihat Mizan Al-I’tidal 4/465).

Iyas bin Abdul Ghaffar atau Iyas bin Abi Iyas dikatakan oleh Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu’afa` (1/151) di aini majhul dan haditsnya tidak mahfuzh (terjaga, tidak dipastikan benar), lalu Al-Uqaili menyebutkan hadits di atas sebagai contoh haditsnya.

Adz-Dzahabi menyebutnya dalam Al-Mizan (1/282) dan mengatakan tidak dikenal dan khabarnya munkar.

Yang lebih parah adalah bahwa Ibnu Abi Hatim menyebutkan dalam kitab Al-‘Ial (1/249):

“Aku bertanya kepada ayahku ttg hadits yang diceritakan kepada kami oleh Hasan bin Arafah, dari Abdullah bin Bakr As-Sahmi, dia berkata, Iyas menceritakan kepadaku, dari Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’id bin Musayyib, bahwa Salman Al-Farisi berkata, “Rasulullah ﷺ berkhutbah di hadapan kami di hari terakhir bulan Sya’ban…..

Ayahku menjawab, “Ini adalah hadits munkar! Abdullah bin Bakr salah sebut di dalamnya, sebenarnya dia adalah Aban bin Abi Ayyasy, bukan Iyas.”

Bila benar apa yang dikatakan Abu Hatim bahwa itu adalah Aban bin Ayyasy maka lebih lemah lagi, karena Aban ini matruk, sampai-sampai Syu’bah pernah mengatakan, “Aku lebih baik minum kencing keledai daripada menceritakan hadits darinya.”

Dengan demikian pangkal kelemahan riwayat ini bisa jadi bukan gara-gara Ali bin Zaid bin Jud’an, melainkan dari perawi sebelumnya yaitu Yusuf bin Ziyad dan juga Iyas bin Abi Iyas atau mungkin dia adalah Aban bin Abi Ayyasy. Wallahu a’lam.

9. Tidak puasa maka kafir dan halal darahnya

Abu Ya’la meriwayatkan, Abu Yusuf Al-Jiizi menceritakan kepada kami, Muammal menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami, Amr bin Malik an-Nukri menceritakan kepada kami, dari Abu al-Jauza`, dari Ibnu Abbas, Hammad berkata, Aku rasa dia memarfu’nya (mengatakan Rasulullah bersabda),

عُرَى الْإِسْلَامِ وَقَوَاعِدُ الدِّينِ ثَلَاثَةٌ عَلَيْهِنَّ أُسِّسَ الْإِسْلَامُ مَنْ تَرَكَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً فَهُوَ بِهَا كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَالصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَصَوْمُ رَمَضَانَ

“Akar Islam dan pondasi agama itu ada tiga, di atasnyalah Islam dibangun, dan siapa yang meninggalkan salah satu darinya maka dia kafir halal darahnya: Syahadat tiada ilah selain Allah, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.”

Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Yazid al-Qarathisi, Asad bin Musa menceritakan kepada kami, Mu`ammal menceritakan kepada kami. Jadi semua bermuara kepada Mu`ammal bin Ismail.

Mu`ammal bin Ismail ini diperselisihkan. Adz-Dzahabi menyebutkan penilaian para ulama terhadapnya dalam Mizan Al-I’tidal: Ibnu Ma’in menganggapnya tsiqah, Abu Hatim mengatakan, “dia jujur, kuat mempertahankan sunnah tapi suka salah (dalam hadits), Al Bukhari mengatakannya “munkarul hadits”, Abu Zur’ah mengatakan, “Dalam haditsnya banyak yang keliru. Sementara Abu Daud mengangungkannya.

Lalu Adz-Dzahabi menyebutkan satu riwayatnya sampai kepada Ibnu Abbas tentang mut’ah dan Adz-Dzahabi mengesankan dialah penyebab dari riwayat munkar itu. Lihat Mizan Al-I’tidal 4/228-229.

Kemudian di sana ada pula nama ‘Amr bin Malik an-Nukri yang tidak ditemukan tautsiqnya kecuali dari Ibnu Hibban, itupun dengan catatan “Dia sering salah dan bersendirian dalam meriwayatkan.” Inilah yang dijadikan Syekh Al-Albani dalam kitab Tamam Al-Minnah (hal. 138) melemahkan hadits ini.

Dengan demikian hadits ini lemah dan tak bisa jadi sandaran hukum untuk mengkafirkan dan menghalalkan darah orang yang tidak puasa.

Sementara segini dulu haditsnya, semoga ada waktu bisa disambung lagi.

Leave a Comment